Di suatu sore hari, aku pergi ke rumah tetanggaku dekat pos satpam menaiki sepeda milikku, karena Ibu menyuruhku untuk membayar arisan. Di dalam perjalanan, aku berhenti di ujung gang dan aku melihat ke arah kiri dan kanan sebelum menyeberang perempatan. Saat aku melihat ke arah kanan, aku melihat rumah di pojokan yang kosong dan sepi. Rumah itu mempunyai pintu pagar besar berwarna merah marun dengan motif harimau dan sebuah pintu pagar kecil di pojok kanan rumah. Halaman rumah tersebut kotor karena banyak dedaunan kering dan sampah berserakan, beberapa tanaman terlihat layu.
Saat melihat rumah itu, membuatku teringat pada kenangan saat berumur sekitar tiga tahun. Dulu, rumah itu terlihat tidak sepi, ada yang tinggal di sana. Mereka adalah keluarga yang berjumlah empat orang, suami, istri dan dua anak. Salah satu anak dari keluarga itu adalah sahabat pertamaku, Putu.
Putu adalah seorang anak laki-laki yang sangat ramah, polos, dan sering tertawa. Usianya satu tahun lebih muda dariku. Aku sering sekali bermain sepeda dengannya di halaman luas rumah itu. Dia tidak mempunyai sepeda, jadi kami menggunakan sepeda milikku dan kadang boncengan atau bergantian menggunakannya. Sepedaku berwarna merah muda dengan motif buah stroberi, dan beroda empat. Dua roda besar, satu berada di depan dan satu berada di belakang. Dua roda lagi berbentuk roda kecil dan berada di sebelah kiri dan kanan roda besar bagian belakang, agar aku dan Putu tidak jatuh saat menaiki sepeda.
Sebenarnya rumah berhalaman luas itu bukan milik keluarga Putu. Ayah Putu bekerja sebagai penjaga di rumah itu. Ayahnya bertugas untuk menyapu halaman, menanam tanaman seperti bunga, menyiram tanaman, mencabut rumput, dan menyapu lantai rumah. Semua pekerjaan itu dilakukan setiap hari, sehingga rumah itu terlihat bersih, tanaman berbunga, dan rumah terlihat asri.
Ayah Putu rajin dan serius dalam melakukan pekerjaan, walaupun badannya kurus dan memiliki kecacatan di kaki kirinya. Kata Ayahku, Ayah Putu mengalami penyakit Polio di kaki kirinya waktu masih kecil. Menurut tulisan yang aku baca di internet, penyakit polio adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus yang menular. Virus ini menyebabkan cedera saraf yang berisiko menyebabkan kelumpuhan pada kaki.
Ibu Putu biasa memasak makanan untuk keluarga, selain itu dia juga membantu tetangga-tetangga sekitar untuk mencuci dan menyetrika pakaian, termasuk di rumahku.
Putu juga mempunyai seorang Adik Perempuan. Namanya Kadek. Umurnya sekitar enam bulanan. Ibuku pernah menyumbangkan kereta bayi milikku kepada mereka untuk Kadek. Saat bosan bermain sepeda kami juga mendorong Kadek yang ada di kereta bayi. Tapi, saking brutalnya Putu, dia mendorongnya dengan kuat sampai di sisi rumput, membuat kereta bayi terjungkal dan Kadek menangis secara histeris. Oeeeek!!! Mendengar suara tangisan Kadek, Ibunya yang sedang memasak panik dan langsung datang untuk menenangkannya sambil memarahi Putu. Aku dan Putu bengong memandangi Ibu Putu, walaupun aku tidak dimarahi.
Kejadian seru lainnya adalah saat merayakan ulang tahun Putu yang ke tiga. Aku dan Ibuku datang sekitar jam tujuh malam, untuk ikut merayakannya bersama keluarga Putu di sebuah Bale Bengong tempat tinggalnya. Disana ada kue Ulang Tahun untuk Putu, dan kami semua menyanyikan lagu Happy Birthday dan Selamat Ulang Tahun. Setelah itu Putu meniup lilin di kue ulang tahunnya dan memotong kue. Kami makan kue tersebut. Kami senang sekali, rasa kuenya juga enak. Aku ingin sekali merayakan ulang tahun seperti itu. Jadi aku meminta ibuku untuk merayakan ulang tahunku nanti. Tetapi kata ibuku tidak bisa, karena kue ulang tahun katanya mahal. Aku merengek-rengek empat kali sehari, akhirnya orang tuaku menjanjikanku untuk merayakannya saat aku sudah sekolah TK, agar ada teman-teman yang bisa kuundang.
Aku juga teringat kejadian seru lainnya. Saat itu dia pergi ke rumahku di sore hari dan bermain bersamaku dengan waktu yang cukup lama. Kami bermain dengan Krayon milikku. Kami mencorat-coret tembok dekat halaman belakang, tembok dekat kamar Orang Tuaku, dan tembok dekat tangga menuju lantai atas. Tembok-tembok tersebut dipenuhi oleh coretan krayon berbentuk bulat tidak beraturan, kotak yang aneh, dan garis-garis tidak jelas. Orang Tuaku tidak memarahi kami, melainkan membiarkannya dan menasehati kami untuk tidak mencoret-coret tembok.
Tetapi sekarang sudah berbeda, aku sudah kelas 6 SD, banyak sekali hal yang berubah. Ada bangunan baru dan tetangga baru. Sayangnya, Putu dan keluarganya sudah tidak ada di rumah itu lagi. Mereka pergi dari rumah itu karena rumah itu akan dijual oleh sang pemilik rumah. Karena itu mereka sekeluarga terpaksa harus kembali ke kampung asal mereka; Buleleng. Mereka pindah sebelum aku berulang tahun, padahal aku sangat ingin mengundangnya.
Setelah bertahun-tahun mereka kembali ke Buleleng, rupanya rumah itu tidak dijual. Sang pemilik rumah masih sering kulihat mampir atau menginap di sana selama beberapa hari.
Oh iya, aku harus membayar Arisan Ibuku! Kira-kira, sekarang Putu bagaimana kabarnya, ya?
Suatu pagi saat aku pergi ke sekolah diantar bapak dengan motor, aku melihat ada empat ekor kucing kecil di gang sebelah dekat kos-kosan. Kucing-kucing tersebut sedang bermain di tengah jalan, aku tidak melihat induk mereka. Mungkin induknya tidak memperdulikan mereka, atau mungkin sibuk ngerumpi sama induk kucing lain sampai lupa anak-anaknya. Tapi bisa jadi karena anaknya tidak mendengarkan omongan induknya dan bermain jauh-jauh lalu tersesat di gang ini.
Aku menceritakan tentang empat kucing itu kepada ibuku saat pulang sekolah. Aku menjelaskannya bahwa merasa kasihan dan ingin memeliharanya. Karena kupikir tidak ada yang punya. Tapi ibuku tidak memberiku izin untuk memelihara empat kucing itu, karena kami mempunyai banyak sekali hewan peliharaan.
Suatu hari, saat ibuku memberi makan anjing liar yang tinggal di rumah kosong dekat "Kembang Kepah Residence", dia menemukan seekor kucing kecil berumur setengah bulan berwarna hitam putih di tempat sampah, kucing itu kedinginan, lalu ibuku memungutnya dan membawanya pulang. Kucing kecil tersebut kemungkinan dibuang sama pemilik yang memelihara induknya, atau ditinggal sama induknya.
Di rumah, Ibuku merawatnya dengan memberi makan makanan lembut dan susu. Ibuku menamai kucing kecil itu Loki. Dia diberi nama Loki karena nama itu lucu buat anak kucing yang imut. Loki diberikan sebuah tempat tidur yang terbuat dari kardus kosong dengan isian kain bekas.
Saat pertama kali melihat Loki, aku ingat kalau pernah melihatnya di gang sebelah kos-kosan, tapi terakhir kali dia bersama ketiga temannya. Lalu kenapa sekarang hanya ada dia seekor? Dimana teman-temannya yang lain?
Setiap hari saat pulang sekolah atau hari libur, aku terkadang bermain dengan Loki. Aku senang sekali bermain dengannya, walau saat dia naik ke kakiku dengan cakar kecilnya, itu membuat kakiku terasa sakit. Tapi tidak apa-apa, aku masih sayang kepadanya. Aku suka menggulungnya dengan kain sehingga terlihat seperti bayi, kemudian aku bersenandung lagu "Terima Kasihku". Walaupun lagu tersebut bukan tentang kucing, tapi aku menyukainya. Aku berharap Loki juga menyukainya, walaupun dia tidak mengerti itu lagu tentang apa.
Di rumahku, tidak hanya ada Loki saja, ada juga kucing-kucing lain, anjing-anjing, dan juga seekor burung. Semuanya adalah anak-anak pungut kami seperti Loki. Pergaulan Loki dengan kakak-kakak tirinya, si Sapturia dan Jupiteria kurang baik. Loki sering dipukuli oleh mereka saat dia berusaha mendekati salah satu dari mereka. Sementara itu, pergaulannya dengan kakak tiri lainnya, si Gaga lumayan baik. Awalnya, Gaga sering menjahili Loki dengan cara bergelut. Tapi lama kelamaan Loki jadi terbiasa dan Gaga menjadi kalem terhadap Loki.
Pada hari minggu, aku mengundang temanku; Gek Santika, untuk bermain di rumahku. Lalu aku memperkenalkan Loki kepadanya. Dia sangat menyukai Loki, karena memang suka dengan kucing, bahkan yang masih kecil.
Saat sekitar jam 4 sore, aku dan Gek Santika bermain sepeda di luar. Saat sedang bermain, ibuku memanggilku,
“Upa! Sini dulu!” aku langsung menghampirinya.
“Kenapa mak?” tanyaku
“Bawa Loki kedepan ya. Mau tak kasi makan.” kata ibuku. lalu aku pergi ke belakang dan membawa Loki ke depan. Saat ibuku memberi makan Loki, dia memakannya dengan sangat bersemangat.
Saat sedang asik kembali bermain, aku melihat anjing tetangga yang berwarna hitam bernama Lira membawa sesuatu di mulutnya. Kupikir dia membawa sampah, karena anjing-anjing di sekitar rumahku suka mengorek-orek sampah. Tapi, rupanya yang dibawa Lira bukan sampah, melainkan Loki!
Aku memberitahu Gek Santika dan kami mengejar Lira sambil berteriak-teriak. Saat kami berhasil mengejar, aku meneriaki Lira untuk melepaskan Loki. Lira berhenti dan melepaskannya. Gek Santika membawa Loki untuk menyelamatkannya, tapi saat berusaha untuk membersihkan lukanya, Loki telah menghembuskan nafas terakhirnya dan mengeong “ngeek”, dia mati. Aku dan Gek Santika terkejut sekali, lalu aku memanggil dan memberitahu ibuku kalau Loki telah mati. Ibuku membawa Loki ke halaman belakang, lalu membungkus mayat Loki dengan koran, setelah itu menaruhnya di kardus tempat Loki tidur. Aku dan temanku sangat sedih. Aku memutar lagu untuk Loki dan untuk menghibur diri dari rasa sedih.
Ibuku meminta bantuan Kakak Sepupuku, Bli Dode, untuk mengubur Mayat Loki. Aku disuruh ibuku untuk mengambil satu canang dan dupa. Canang dan dupa tersebut ditaruh di galian tanah tempat Loki akan dikubur. Setelah itu, Bli Dode menimbun mayat Loki dengan tanah. Setelah dikubur, Aku, Ibuku, dan Gek Santika berdoa agar nyawa Loki tenang di alam atas.
Malam itu setelah Loki dikubur, aku masih merindukannya. Saat aku akan tidur, aku menangis sampai kebawa tidur. Untuk Lira, jangan makan kucing tetangga, karena nanti saudaranya akan sedih.
Denpasar, 16 Desember 2023.
untuk nenekanda
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.
Oktober 1942
Chairil Anwar
sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua
waktu hari hampir lengkap, menunggu senja
putih, kita pun putih memandangnya setia
sampai habis semua senja
1967
Sapardi Djoko Damono
Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia
Maret 1943
Chairil Anwar
siapa menggores di langit biru
siapa meretas di awan lalu
siapa mengkristal di kabut itu
siapa mengertap di bunga layu
siapa cerna di warna ungu
siapa bernafas di detak waktu
siapa berkelebat setiap kubuka pintu
siapa terucap di celah kata-kataku
siapa mengaduh di baying-bayang sepiku
siapa tiba menjemputku berburu
siapa tiba-tiba menyibak cadarku
siapa meledak dalam diriku
: siapa Aku
1968
Sapardi Djoko Damono
untuk Karinah Moordjono
Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi memberi warna
Benda usang dilupa
Ah! tercebar rasanya diri
Membubung tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya; Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
19 April 1943
Chairil Anwar
walau kita sering bertemu
di antara orang-orang melawat ke kubur itu
di sela-sela suara biru
bencah-bencah kelabu dan ungu
walau kau sering kukenang
di antara kata-kata yang lama tlah hilang
terkunci dalam baying-bayang
dendam remang
walau aku sering kau sapa
di setiap simpang cuaca
hijau menjelma merah menyala
di pusing jantra
: ku tak tahu kenapa merindu
tergagap gugup di ruang tunggu
1968
Sapardi Djoko Damono
Mulai kelam
belum buntu malam,
kami masih saja berjaga
—Thermopylae? —
—jagal tidak dikenal? —
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam
hilang....
1945
Chairil Anwar
Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dan daun-daun bougencil basah yang
teratur mengetuk jendela? Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun
di selokan?
Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, emmbayangkan rahasia
daun basah serta ketukan yang berulang.
“Tak ada. Kecuali baying-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan
itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air
menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan
mengantarmu tidur.”
Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya.
1969
Sapardi Djoko Damono
........................................................
Tidak perempuan! yang hidup dalam diri
masih lincah mengelak dari pelukanmu gemas gelap,
bersikeras mencari kehijauan laut lain,
dan berada lagi di kapal dulu bertemu,
berlepas kemudi pada angin,
mata terpikat pada bintang yang menanti.
Sesuatu yang mengepak kembali menandungkan
Tai Po dan rahsia laut Ambon
Begitulah perempuan! Hanya suatu garis kabur
bisa dituliskan
dengan pelarian kebuntuan senyuman
Cirebon 1946
Chairil Anwar
Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia
di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam
dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau
bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari
daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di
pekarangan rumah, dan kembali ke bumi.
Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang
panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan
kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus
mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini.
bercakap tentang lautan.
Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan.
Selamat tidur.
1969
Sapardi Djoko Damono
Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!
1947
Chairil Anwar
dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan
1969
Sapardi Djoko Damono
Karya Sapardi Djoko Damono
ia pun berjalan ke barat, selamat malam, solo,
katanya sambil menunduk.
seperti didengarnya sendiri suara sepatunya
satu persatu.
barangkali lampu-lampu ini masih menyala buatku, pikirnya.
kemudian gambar-gambar yang kabur dalam cahaya,
hampir-hampir tak ia kenal lagi dirinya, menengadah
kemudian sambil menarik nafas panjang
ia sendiri saja, sahut menyahut dengan malam,
sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautan
yang memberontak terhadap kesunyian.
sunyi adalah minuman keras, beberapa orang membawa perempuan
beberapa orang bergerombol, dan satu-dua orang
menyindir diri sendiri; kadang memang tak ada lelucon lain.
barangkali sejuta mata itu memandang ke arahku, pikirnya.
ia pun berjalan ke barat, merapat ke masa lampau.
selamat malam, gereja, hei kaukah anak kecil
yang dahulu duduk menangis di depan pintuku itu?
ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari natal
dalam gereja itu, dengan pakaian serba baru,
bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekali
bertemu yesus, tapi ayahnya bilang
yesus itu anak jadah.
ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya.
barangkali malam ini yesus mencariku, pikirnya.
tapi ia belum pernah berjanji kepada siapa pun
untuk menemui atau ditemui;
ia benci kepada setiap kepercayaan yang dipermainkan.
ia berjalan sendiri di antara orang ramai.
seperti didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernah diajar berdoa.
ia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa,
tapi tak pernah mengetahui
awal dan akhir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapa
barangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang panjang.
katanya sendiri; ia merasa seperti tenteram
dengan jawabannya sendiri:
ia adalah doa yang panjang.
pagi tadi ia bertemu seseorang, ia sudah lupa namanya,
lupa wajahnya: berdoa sambil berjalan…
ia ingin berdoa malam ini, tapi tak bisa mengakhiri,
tak bisa menemukan kata penghabisan.
ia selalu merasa sakit dan malu setiap kali berpikir
tentang dosa; ia selalu akan pingsan
kalau berpikir tentang mati dan hidup abadi.
barangkali tuhan seperti kepala sekolah, pikirnya
ketika dulu ia masih di sekolah rendah. barangkali tuhan
akan mengeluarkan dan menghukum murid yang nakal,
membiarkannya bergelandangan dimakan iblis.
barangkali tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga,
pikirnya malam ini, mengawasi seorang yang selalu gagal berdoa.
apakah ia juga pernah berdosa, tanyanya ketika berpapasan
dengan seorang perempuan. perempuan itu setangkai bunga;
apakah ia juga pernah bertemu yesus, atau barangkali
pernah juga dikeluarkan dari sekolahnya dulu.
selamat malam, langit, apa kabar selama ini?
barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya…
ia pernah membenci langit dahulu,
ketika musim kapal terbang seperti burung
menukik: dan kemudian ledakan-ledakan
(saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoa
dan terbawa pula namanya sendiri)
kadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara saja
ke tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dingin
ia ingin lekas kawin, membangun tempat tinggal.
ia pernah merasa seperti si pandir menghadapi
angka-angka…ia pun tak berani memandang dirinya sendiri
ketika pada akhirnya tak ditemukannya kuncinya.
pada suatu saat seorang gadis adalah bunga,
tetapi di lain saat menjelma sejumlah angka
yang sulit. ah, ia tak berani berkhayal tentang biara.
ia takut membayangkan dirinya sendiri, ia pun ingin lolos
dari lampu-lampu dan suara-suara malam hari,
dan melepaskan genggamannya dari kenyataan;
tetapi disaksikannya: berjuta orang sedang berdoa,
para pengungsi yang bergerak ke kerajaan tuhan,
orang-orang sakit, orang-orang penjara,
dan barisan panjang orang gila.
ia terkejut dan berhenti,
lonceng kota berguncang seperti sedia kala
rekaman senandung duka nestapa.
seorang perempuan tertawa ngeri di depannya, menawarkan sesuatu.
ia menolaknya.
ia tak tahu kenapa mesti menolaknya.
barangkali karena wajah perempuan itu mengingatkannya
kepada sebuah selokan, penuh dengan cacing;
barangkali karena mulut perempuan itu
menyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanya
seperti gula-gula yang dikerumuni beratus semut.
dan ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk itu.
kepada siapa gerangan tuhan berpihak, gerutunya.
ia menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiri
atau membawa perempuan, atau bergerombol,
wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal,
wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman,
wajah-wajah yang ia cinta dan ia kutuk.
semua sama saja.
barangkali mereka mengangguk padaku, pikirnya;
barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama berpisah
atau setelah terlampau sering bertemu. ia berjalan ke barat.
selamat malam. ia mengangguk, entah kepada siapa;
barangkali kepada dirinya sendiri. barangkali hidup adalah doa yang panjang,
dan sunyi adalah minuman keras.
ia merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga;
ia pun bergegas.
barangkali hidup adalah doa yang….
barangkali sunyi adalah….
barangkali tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke barat
1964
Dari Buku Hujan Bulan Juni
Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.
14 Juli 1943
Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
Kita — anjing diburu — hanya melihat sebagian dari
sandiwara sekarang
Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, cuma kenangan berdebu;
Kita memburu arti atau diserahkan kepada anak
lahir sempat.
Karena itu jangan mengerdip, tatap dan penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering
sedikit mau basah!
1946
buat Sri Ajati
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
1946
Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu + coca cola.
Isteriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa
— ketika kita bersepeda kuantar kau pulang —
Panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara,
Mimpi tua bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu
Aku dan Tuti + Greet + Amoi... hati terlantar,
Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar.
1947
Terbaring di rangkuman pagi
— hari baru jadi —
Ina Mia mencari
hati impi,
Teraba Ina Mia
kulit harapan belaka
Ina Mia
menarik napas panjang
di tepi jurang
napsu
yang sudah lepas terhembus,
antara daun-daunan mengelabu
kabut cinta lama, cinta hilang
Terasa gentar sejenak
Ina Mia menekan tapak di hijau rumput,
Angin ikut
— dayang penghabisan yang mengipas —
Berpaling
kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di tekongan.
1948
Kenapa takkan percaya pada Tuhan?
Sama sedihnya dengan sajak
Bersama kita ia tak berpegangan
Kecuali dalam duka tak mau beranjak
Bila kita mati
Ia pun didera sepi
1953
Sitor Situmorang
cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Chairil Anwar
ketika jari-jari bunga terbuka
mendadak terasa: betapa sengit
cinta Kitacahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit.
menyisih awan hari ini: di bumi
meriap sepi yang purba;
ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi
dis ayap kupu-kupu, di sayap warna
swara burung di ranting-ranting cuaca,
bulu-bulu cahaya: betapa parah
cinta Kita
mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah
1968
Sapardi Djoko Damono
Menulis puisi membutuhkan keutuhan kerja tubuh, jiwa, hati dan otak. Tapi dia bisa dikerjakan secara bertahap, terutama bagi pemula seperti saya. Saya pernah menulis puisi, namun belum pernah mendengar paparan tentang bagaimana kerja seorang penyair sungguhan. Beruntung pada Sabtu 13 Mei 2023, saya mendengar pengantar penulisan puisi dari penyair sungguhan, Made Adnyana Ole dalam program Membaca Film Merangkai Kata, kerja sama Minikino Film Week dan Tatkala May May May 2023.
Tatkala May May May merupakan festival tahunan Tatkala Media, yang diselenggarakan setiap bulan Mei di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja.
Membaca Film Merangkai Kata merupakan program menonton film sebagai inspirasi menulis puisi. Program ini sebagai upaya mendorong apresiasi film pendek dalam bentuk yang lebih luas. Minikino sejak awal melihat film pendek sebagai sarana untuk merangsang sikap dan pikiran kritis terhadap tontonan, dengan harapan setelah menonton akan muncul ide-ide baru yang dituangkan dalam karya-karya baru, apapun bentuknya.
Program ini dimulai jam 7 malam waktu Buleleng, dengan menyajikan dua film pendek Indonesia berjudul Jamal dan Annah La Javanaise, yang akan menjadi inspirasi penulisan puisi. Bagi saya, dua film ini sama-sama bicara tentang "TKI". Bedanya, pada film pertama seorang ayah pergi mencari penghidupan ke negeri orang sementara pada film Annah La Javanaise, si Annah tidak pernah tahu dirinya akan dipekerjakan dan terdampar di negeri asing sebagai "TKI" yang tidak pernah mendapat upah.
JAMAL
Muhmad Heri Fadli / Fiction / 14:30 / Indonesia / 2020
Suami Nur baru beberapa bulan berangkat ke Malaysia sebagai TKI. Dia tiba-tiba dipulangkan dalam kondisi tak bernyawa.
ANNAH LA JAVANAISE
Fatimah Tobing Rony / Animation / 05:59 / Indonesia / 2020
Pada tahun 1893, seorang gadis berusia 13 tahun bekerja untuk pelukis Prancis Paul Gauguin di Paris sebagai pembantu dan modelnya. Ini adalah konsep ulang dari kisahnya.
"Kita malam ini menulis puisi itu santai saja, jangan gawat-gawat. Kalau mendengar sesama penyair berdiskusi mungkin kelihatannya gawat, karena kadang menggunakan kata-kata yang tidak dipahami awam." ungkap Ole mengantar sesi menulis puisi setelah menonton film selesai.
Walau sudah dibilang santai, wajah-wajah hadirin tampak gawat darurat ketika disodori kertas dan pena untuk menulis puisi. Namun ada yang kelihatan ringan saja menulis dengan wajah yang tetap serius. Keadaan itu membuat saya bingung, harus ikut serius santai, gawat atau cukup tenang-tenang saja.
Hal lain yang saya ingat - karena tidak mencatat - dari paparan Ole, bahwa dalam film pendek yang baru saja ditonton ada banyak sekali elemen yang bisa diambil sebagai inspirasi. Apakah suara atau visual, serta elemen-eleman penbentuknya, seperti warna, bentuk, gerakan, komposisi, objek dan sebagainya. Dari sekian banyak hal yang terjadi dalam film, kita pilih satu fokus dan tuliskan apa yang kita rasakan. Sebaiknya tidak sekedar mendeskripsikan apa yang dilihat atau didengar. Bekerjalah lebih dahulu dengan hati.
Menurut Ole, proses rasa inilah yang memberikan roh pada puisi. Setelah rasa ditemukan dan ditulis dengan jujur, maka barulah masuk pada kerja otak, yaitu editing. Dalam editing sudah akan membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, pemilihan diksi, rima, gaya bahasa, dan hal-hal teknis lainnya. Dua bagian kerja inilah yang akan melahirkan puisi bagus. Tapi bisa saja, seorang telah menulis puisi sekali jadi dimana rasa dan keterampilan editing dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Namun, jika keterampilan berbahasa yang ditonjolkan di depan, maka yang lahir adalah untaikan kata-kata indah semata.
Dalam waktu lima belas menit yang diberikan oleh pemandu acara Ahmad Fauzi dari Minikino, hampir seluruh hadirin menyerahkan puisinya. Ada yang tampak percaya diri dengan puisinya, ada yang malu-malu, dan ada yang menganggap apa yang ditulis bukan puisi. Secara acak, peserta kemudian dipanggil untuk membacakan puisinya masing-masing.
Di sela-sela pembacaan puisi, Ole memberikan komentar-komentar menarik. Dua hal yang saya anggap penting - karena saya mengingatnya - bahwa latar belakang dan pengalaman hidup seseorang akan mempengaruhi bagaimana dia mengambil sudut pandang terhadap obyek inspirasinya. Dan tentu saja itu akan mempengaruhi bentuk puisi dan pesan yang terkandung di dalamnya. Ingatan-ingatan bawah sadar, yang selama ini terpendam dan sulit diungkapkan juga dapat muncul dalam sebuah puisi. Karena ketika menulis kata-kata sebagai puisi ada sebuah ruang bebas dan rasa terbebaskan dari belenggu kata-kata itu sendiri.
Janji Akar Pohon
Di bawah pohon itu,
janji kita terikat akar.
Tunggu aku.
Di bawah pohon itu,
bersama angin
aku datang menjadi dingin.
Lepaskan tangis
biarkan aku tetap hidup
satu kali lagi
dalam air matamu
menyelinap menjadi akar
Di bawah pohon itu,
sekali lagi saja
peluk aku.
Janji kita terikat akar
-----
Made Birus
Mahima - Singaraja, 13 Mei 2023
mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata diantara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama
sampai tak ada yang sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti
1967
berjalan di belakang jenazah angina pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
1967
hujan turun sepanjang jalan
hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali
tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
tatkala angina basah tak ada bermuat debu
tatkala tak ada yang merasa diburu-buru
1967
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
1967
waktu lonceng berbunyi
percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti
kau berbisik: siapa lagi akan tiba
siapa lagi menjemputmu berangkat berduka
di ruangan ini kita gaib dalam gema. di luar malam hari
mengendap, kekal dalam rahasia
kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi
1967
kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya
kupandang semesta
ketika Engkau seketika memijar dalam Kata
terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara
kemudian daun bertahan pada tangkainya
ketika hujan tiba. Kudengar bumi sedia kala
tiada apa pun diantara Kita: dingin
semakin membara sewaktu berembus angina
1968
saat tiada pun tiada
aku berjalan (tiada –
gerakan, serasa
isyarat) Kita pun bertemu
sepasang Tiada
tersuling (tiadagerakan,
serasa
nikmat): Sepi meninggi
1968
jejak-jejak Bunga selalu; betapa tergoda
kita untuk berburu, terjun
di antara raung warna
sebelum musim menanggalkan daun-daun
akan tersesat di mana kita
(terbujuk jejak-jejak Bunga) nantinya: atau
terjebak juga baying-bayang Cahaya
dalam nafsu kita yang risau
1967
GERIMIS KECIL
DI JALAN JAKARTA, MALANG
seperti engkau berbicara di ujung jalan
(waktu dingin, sepi gerimis tiba-tiba
seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu
untuk kembali berduka)
untuk kembali kepada rindu
panjang dan cemas
seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu
supaya menyahutmu, Mu
1968
KARTU POS BERGAMBAR:
TAMAN UMUM, NEW YORK
Di sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnya
duduk di bangku panjang, berkisah
dengan beberapa ekor merpati. Tapi tak disahutnya
anggukmu; tak dikenalnya sopan-santun itu.
New York yang senjakala, yang Hitam panggilannya,
membayangkan diriny turun dari kereta
dari Selatan nun jauh. Beberapa bunga ceri jatuh
di atas koran hari ini. Lonceng menggoreskan akhir musim semi.
1971
Puisi Tentang Ibu, beberapa puisi berjudul Ibu atau membicarakan Ibu dalam puisinya, dari nama-nama penyair terkemuka Indonesia: Chairil Anwar / D. Zawawi Imron / Joko Pinurbo / Puisi Ibu / Sapardi Djoko Damono / Taufik Ismail / WS Rendra.
Bagaimana puisi-puisi ini menggambarkan seorang Ibu, sosok yang begitu mulia dan berharga. Betapa hebatnya seorang ibu dalam menghadapi segala tantangan kehidupan. Ibu adalah pahlawan yang selalu berusaha keras dan memberikan kasih sayang tanpa henti. Dalam kegelapan, ibu adalah cahaya yang menerangi jalan kita. Meskipun terkadang hidup kita penuh dengan kesulitan dan rintangan, doa seorang ibu selalu memberikan kekuatan dan ketenangan. Puisi ini mengajak kita untuk selalu menghormati dan menghargai kekuatan doa seorang ibu yang begitu besar.
Kata-kata puitis yang dipilih dengan hati-hati menggambarkan momen-momen bahagia yang pernah kita alami bersama ibu. Meskipun waktu terus berlalu, kenangan itu tetap abadi di dalam hati. Betapa berharganya keberadaan ibu dalam hidup kita. Setiap hal kecil yang diberikan oleh ibu seolah menjadi anugerah yang tak ternilai harganya. Dalam puisi ini, kita diajak untuk menghargai dan bersyukur atas semua yang ibu berikan dalam hidup kita.
Bahkan perasaan kesedihan dan kehilangan yang mendalam ketika kehilangan sosok ibu tercinta, juga banyak ditulis dalam puisi. Meskipun sudah tidak ada di dunia ini, kenangan tentang ibu selalu hidup dalam kata-kata dan hati. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan kebesaran cinta seorang ibu yang terus hadir dalam setiap langkah hidup kita. Puisi tentang ibu ini menggambarkan kebesaran cinta seorang ibu yang tak ternilai harganya. Dalam kata-kata puitis yang indah, kita diajak untuk merenungkan dan menghargai sosok ibu yang selalu ada di dalam hidup kita.
(Karya Chairil Anwar)
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Ibu...
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu...
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun...
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu...
Ibu...
Aku sayang padamu...
Tuhanku....
Aku bermohon pada-Mu
Sejahterahkanlah dia
Selamanya...
(Karya D. Zawawi Imron)
Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mataair airmatamu Ibu, yang tetap lancar mengalir
Bila aku merantau
sedap susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayan siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyerembak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku menangguk meskipun kurang mengerti
Bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau aku ikut ujian lalu di tanya tentang pahlawan
namamu, Ibu, yang kusebut paling dahulu
Engkau ibu dan aku anakmu
Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku.
(Karya Taufik Ismail)
”Ibu telah merelakan kalian
Untuk berangkat demonstrasi
Karena kalian pergi menyempurnakan
Kemerdekaan negeri ini
Ya, ibu tahu, mereka tidak menggunakan gada
atau gas airmata
Tapi lansung peluru tajam
Tapi itulah yang dihadapi
Ayah kalian almarhum
Delapan belas tahun yang lalu
Pergilah pergi, setiap pagi
Setelah dahi dan pipi kalian
Ibu ciumi
Mungkin ini pelukan penghabisan
(Ibu itu menyeka sudut matanya)
Tapi ingatlah, sekali lagi
Jika logam itu memang memuat nama kalian
(Ibu itu tersedu sedan)
Ibu relakan
Tapi jangan di saat terakhir
Kau teriakkan kebencian
Atau dendam kesumat
Pada seseorang
Walaupun betapa Zalimnya
Orang itu
Niatkanlah menegakkan kalimah Allah
Di atas bumi kita ini
Sebelum kalian melangkah setiap pagi
Sunyi kalian setiap pagi
Sunyi dari dendam dan kebencian
Kemudian lafazkan kesaksian pada Tuhan
Serta rasul kita yang tercinta
Pergilah pergi
Iwan, Ida dan Hadi
Pergilah pergi
Pagi ini
(Mereka telah berpamitan dengan Ibu dicinta
Beberapa saat tangannya meraba rambut mereka
Dan berangkatlah mereka bertiga
Tanpa menoleh lagi, tanpa kata-kata).
(Karya Sapardi Djoko Damono)
Ibu masih tinggal di kampung itu, ia sudah tua. Ia adalah perempuan yang menjadi korban mimpi-mimpi ayahku. Ayah sudah meninggal, ia dikuburkan di sebuah makam tua di kampung itu juga, beberapa langkah saja dari rumah kami. Dulu Ibu sering pergi sendirian ke makam, menyapu sampah, dan kadang-kadang, menebarkan beberapa kuntum bunga. “Ayahmu bukan pemimpi,” katanya yakin meskipun tidak berapi-api, “ia tahu benar apa yang terjadi.”
Kini di makam itu sudah berdiri sebuah sekolah, Ayah digusur ke sebuah makam agak jauh di sebelah utara kota. Kalau aku kebetulan pulang, Ibu suka mengingatkanku untuk menengok makam ayah, mengirim doa. Ibu sudah tua, tentu lebih mudah mengirim doa dari rumah saja. “Ayahmu dulu sangat sayang padamu, meskipun kau mungkin tak pernah mempercayai segala yang dikatakannya.”
Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, sambil menengok ke luar jendela pesawat udara, sering kubayangkan Ibu berada di antara mega-mega. Aku berpikir, Ibu sebenarnya lebih pantas tinggal di sana, di antara bidadari-bidadari kecil yang dengan ringan terbang dari mega ke mega – dan tidak mondar-mandir dari dapur ke tempat tidur, memberi makan dan menyusui anak-anaknya. “Sungguh, dulu ayahmu sangat sayang padamu,” kata Ibu selalu, “meskipun sering dikatakannya bahwa ia tak pernah bisa memahami igauan-igauanmu.”
(Karya Joko Pinurbo)
Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya yang keliru.
Nantilah, jika pekerjaan demo sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.
Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit yang menyayangi Ibu.
Jangan khawatirkan keadaan saya.
Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi kewarasan.
Kalaupun saya dilanda sakit atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.
Selamat Natal, Bu.
Semoga hatimu yang merindu berdentang nyaring dan malam damaimu diberkati hujan.
Sungkem buat Bapak di kuburan.
(Karya WS Rendra)
Mengenangkan ibu
adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.
Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.
Mengingat ibu
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.
Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.
Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:
“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti.”
Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi lalu bagaimana sang anak
akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai
tiran, koruptor, hama hutan,
dan tikus sawah?
Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan
menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
menganggap dirinya sebagai petani teladan?
Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng.”
Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.
(Pejambon, Jakarta 1977)
DIPONEGORO
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Februari 1943