Suatu pagi saat aku pergi ke sekolah diantar bapak dengan motor, aku melihat ada empat ekor kucing kecil di gang sebelah dekat kos-kosan. Kucing-kucing tersebut sedang bermain di tengah jalan, aku tidak melihat induk mereka. Mungkin induknya tidak memperdulikan mereka, atau mungkin sibuk ngerumpi sama induk kucing lain sampai lupa anak-anaknya. Tapi bisa jadi karena anaknya tidak mendengarkan omongan induknya dan bermain jauh-jauh lalu tersesat di gang ini.

Aku menceritakan tentang empat kucing itu kepada ibuku saat pulang sekolah. Aku menjelaskannya bahwa merasa kasihan dan ingin memeliharanya. Karena kupikir tidak ada yang punya. Tapi ibuku tidak memberiku izin untuk memelihara empat kucing itu, karena kami mempunyai banyak sekali hewan peliharaan.

Suatu hari, saat ibuku memberi makan anjing liar yang tinggal di rumah kosong dekat "Kembang Kepah Residence", dia menemukan seekor kucing kecil berumur setengah bulan berwarna hitam putih di tempat sampah, kucing itu kedinginan, lalu ibuku memungutnya dan membawanya pulang. Kucing kecil tersebut kemungkinan dibuang sama pemilik yang memelihara induknya, atau ditinggal sama induknya.

Di rumah, Ibuku merawatnya dengan memberi makan makanan lembut dan susu. Ibuku menamai kucing kecil itu Loki. Dia diberi nama Loki karena nama itu lucu buat anak kucing yang imut. Loki diberikan sebuah tempat tidur yang terbuat dari kardus kosong dengan isian kain bekas.

Saat pertama kali melihat Loki, aku ingat kalau pernah melihatnya di gang sebelah kos-kosan, tapi terakhir kali dia bersama ketiga temannya. Lalu kenapa sekarang hanya ada dia seekor? Dimana teman-temannya yang lain?

Setiap hari saat pulang sekolah atau hari libur, aku terkadang bermain dengan Loki. Aku senang sekali bermain dengannya, walau saat dia naik ke kakiku dengan cakar kecilnya, itu membuat kakiku terasa sakit. Tapi tidak apa-apa, aku masih sayang kepadanya. Aku suka menggulungnya dengan kain sehingga terlihat seperti bayi, kemudian aku bersenandung lagu "Terima Kasihku". Walaupun lagu tersebut bukan tentang kucing, tapi aku menyukainya. Aku berharap Loki juga menyukainya, walaupun dia tidak mengerti itu lagu tentang apa.

Di rumahku, tidak hanya ada Loki saja, ada juga kucing-kucing lain, anjing-anjing, dan juga seekor burung. Semuanya adalah anak-anak pungut kami seperti Loki. Pergaulan Loki dengan kakak-kakak tirinya, si Sapturia dan Jupiteria kurang baik. Loki sering dipukuli oleh mereka saat dia berusaha mendekati salah satu dari mereka. Sementara itu, pergaulannya dengan kakak tiri lainnya, si Gaga lumayan baik. Awalnya, Gaga sering menjahili Loki dengan cara bergelut. Tapi lama kelamaan Loki jadi terbiasa dan Gaga menjadi kalem terhadap Loki.

Pada hari minggu, aku mengundang temanku; Gek Santika, untuk bermain di rumahku. Lalu aku memperkenalkan Loki kepadanya. Dia sangat menyukai Loki, karena memang suka dengan kucing, bahkan yang masih kecil.

Saat sekitar jam 4 sore, aku dan Gek Santika bermain sepeda di luar. Saat sedang bermain, ibuku memanggilku,
“Upa! Sini dulu!” aku langsung menghampirinya.
“Kenapa mak?” tanyaku
“Bawa Loki kedepan ya. Mau tak kasi makan.” kata ibuku. lalu aku pergi ke belakang dan membawa Loki ke depan. Saat ibuku memberi makan Loki, dia memakannya dengan sangat bersemangat.

Saat sedang asik kembali bermain, aku melihat anjing tetangga yang berwarna hitam bernama Lira membawa sesuatu di mulutnya. Kupikir dia membawa sampah, karena anjing-anjing di sekitar rumahku suka mengorek-orek sampah. Tapi, rupanya yang dibawa Lira bukan sampah, melainkan Loki!

Aku memberitahu Gek Santika dan kami mengejar Lira sambil berteriak-teriak. Saat kami berhasil mengejar, aku meneriaki Lira untuk melepaskan Loki. Lira berhenti dan melepaskannya. Gek Santika membawa Loki untuk menyelamatkannya, tapi saat berusaha untuk membersihkan lukanya, Loki telah menghembuskan nafas terakhirnya dan mengeong “ngeek”, dia mati. Aku dan Gek Santika terkejut sekali, lalu aku memanggil dan memberitahu ibuku kalau Loki telah mati. Ibuku membawa Loki ke halaman belakang, lalu membungkus mayat Loki dengan koran, setelah itu menaruhnya di kardus tempat Loki tidur. Aku dan temanku sangat sedih. Aku memutar lagu untuk Loki dan untuk menghibur diri dari rasa sedih.

Ibuku meminta bantuan Kakak Sepupuku, Bli Dode, untuk mengubur Mayat Loki. Aku disuruh ibuku untuk mengambil satu canang dan dupa. Canang dan dupa tersebut ditaruh di galian tanah tempat Loki akan dikubur. Setelah itu, Bli Dode menimbun mayat Loki dengan tanah. Setelah dikubur, Aku, Ibuku, dan Gek Santika berdoa agar nyawa Loki tenang di alam atas.

Malam itu setelah Loki dikubur, aku masih merindukannya. Saat aku akan tidur, aku menangis sampai kebawa tidur. Untuk Lira, jangan makan kucing tetangga, karena nanti saudaranya akan sedih.

Denpasar, 16 Desember 2023.

Jabatan sebagai Pekaseh1 menjadikan Sadra bukan lagi petani biasa seperti tahun-tahun sebelumnya. Dia memiliki kesibukan menjalankan tugas sebagai tampuk pimpinan tertinggi dalam struktur kepengurusansubak2 di desanya. Dibantu oleh dua orang prajuru3 yang menjadi tangan kanan sekaligus penyambung lidah dengan para petani selaku anggota subak, segala informasi dan kebijakan dapat segera tersampaikan dengan akurat dan tepat pada seluruh anggota subak. Belum lagi sebagian anggota subak tinggal dan berasal dari beberapa desa lain yang kebetulan memiliki sawah di desa itu, sangat menguras tenaganya.

Kesibukan yang didasari sikap ngayah4 untuk kepentingan masyarakat banyak itu, mendapat tentangan luar biasa dari Istri Sadra. Kepolosannya dan keluguan sebagai petani tulen serta sikap yang selalu iklas dan suka-rela tanpa peduli siang atau malam, tidak hirau hujan berangin, membuat jengkel dan geram Konten, istrinya.

Sejak proses pemilihan, ketika nama Sadra mulai masuk dalam bursa desas-desus bakal calon Pekaseh, Konten sudah wanti-wanti agar jabatan itu ditolak saja. Dalam benak Konten, jabatan seperti itu hanya menghabiskan tenaga dan pikiran tanpa memperoleh imbalan yang sepadan. Intinya rugi. Itulah sebabnya sangat sulit untuk mendapatkan orang yang bersedia dan suka rela mengajukan diri untuk mengemban jabatan itu.

“Sudahlah, siapa yang akan memilih orang yang tidak memiliki pengalaman dan petani bodoh seperti Aku?” Ungkap Sadra tenang-tenang saja menanggapi kehawatiran istrinya.

“Ya, karena Bli5 dianggap bodoh, orang-orang akan memilih Bli, makanya belajar sedikit tentang politik, Bliitu sedang dipolitiki”

Sadra tertawa terbahak-bahak mendengar istilah yang dikatakan istrinya. “Apalagi itu dipolitiki?” Sadra terbatuk-batuk.

“Sudah sadar diri bodoh jangan berlagak seperti orang bodoh, itu artinya Bliakan dimanfaatkan, orang-orang akan mengambil keuntungan dari kebodohan itu. Ayo Bli, buka mata sedikit, lihat apa yang sedang terjadi di luar rumah kita. Jangan hanya taunya lumpur, mintur6kukur7 dan tidur!” Konten semakin sengit.

“Kamu ini kenapa, orang lain makan cabe kenapa harus kita yang kepedasan. Keuntungan apa yang bisa diambil dari kita, kita ini petani, punya apa?”

“Ya itu, karena kita tidak punya apa-apa, hanya punya kebodohan dan keluguan, bersanding dengan mereka maka mereka akan semakin pintar untuk membodohi kita, para petani.”

“Aduh, pusing.”

“Pokoknya jabatan itu harus ditolak, bila perlu, saat sangkepan8nanti jangan datang, biar orang lain yang dipilih!”

Perdebatan di beranda rumah itu berakhir ketika malam semakin larut dan mereka harus memutuskan untuk masuk kamar.  Dan selalu seperti itu selama berhari-hari, hingga akhirnya sangkepan subak dilaksanakan dan Sadra terpilih secara musyawarah mufakat sebagai pekaseh baru dan akan memangku jabatan selama lima musim tanam.

Perdebatan berkembang lebih rame, tidak hanya di beranda, kini sampai ke sumur, dapur hingga kasur dan semakin banyak perumpamaan, kemungkinan, kerugian dan bukti-bukti yang di ungkapkan Konten.

“Apa sebenarnya yang Bli cari, apa tidak bisa diurus besok, apa lagi ini sudah malam dan di luar sedang hujan lebat.” Geram Konten suatu malam.

“Kalau tidak sekarang, gorong-gorong itu akan semakin tersumbat oleh sampah, air terus semakin besar dan pasti akan meluap hingga membanjiri seluruh areal persawahan, padi yang baru tanam akan rusak” Sadra mengenakan sepatu karet tinggi yang dia sebut sebagai sepatu selop. Di kepalanya bertengger topi lebar yang terbuat dari anyaman bambu dan berlapis plastik bening.

“Apa orang lain mau peduli? Mereka paling-paling sudah tidur pulas, peluk istri, mimpi indah!”

“Ini giliranku untuk ngayah, giliran mereka ya nanti.” Sadra sudah siap berangkat. Tangannya menenteng senter, caluk9 dan payung yang siap dikembangkan.

“Apa untungnya buat kita, mereka yang enak-enak tidur yang akan menikmatinya. Apa untungnya coba?” Konten menyusul suaminya sampai ke pintu rumah.

Ngayah ya tidak ada untungnya, kalau mau untung ya bagusnya jadi tengkulak.” Sadra berlalu menembus hujan dikegelapan malam. Cahaya lampu senter yang dibawanya hanya mampu menembus malam dalam jarak satu meter.

Sikap Sadra sebagai seorang pemimpin yang selalu mengutamakan kesejahtraan dan kepentingan anggotanya tetap menjadi poin persoalan dan memancing opini tajam Konten. Bukan hanya persoalan mengurus saluran irigasi yang mampet saat datang hujan dan banjir di malam hari.

Saat musim turun ke sawah dimulai, karena kesibukan mengurus segala keperluan musim tanam bagi anggotanya, sawah Sadra termasuk yang terakhir dijamah bajak. Saat pembagian benih padi pun demikian. Sadra mengambil bagian paling terakhir setelah seluruh anggota yang lain mengambil jatah dan yang tersisa hanya 15,5 kilogram dari seharusnya 25 kilogram yang dia perlukan untuk.

“Kalau begini urusannya, kita benar-benar menelan kerugian.” Pekik Konten saat mengetahui jatah benih padi mereka kurang sekitar 9,5 kilogram. “Bagaimana kalau nanti kita kekurangan saat menanam?”

“Jangan risau, kita bisa ambil di tempat Bli Jantuk atau Bli Kari, pasti ada lebihnya.”

“Bukan persoalan kita bisa ambil sana-sini, tapi asas kebersamaan dan keadilan tidak tegak. Keadilan bukan cuma buat mereka, tapi juga kita. Bagaimana panen kita bisa bagus, jatah benih kurang, pupuk kurang, untuk menyemprot hama tidak sempat. Pikir Bli, jangan hanya mikir mereka!”

“Ya baiklah, sekarang ayo pikirkan diri kita saja.” Sadra menarik tangan istrinya masuk kedalam kamar, karena hanya itu yang bisa menghentikan perdebatan di beranda malam itu.

* * *

Musim panen menjelang, bulir-bulir padi berwarna keemasan terhampar luas menghias seluruh desa. Para tengkulak berkeliaran menaksir tiap petak sawah. Dengan nada merayu dan kata-kata manis mencoba menawar padi-padi milik petani dengan harga miring nyaris jatuh. Tidak luput dengan padi milik Sadra.

Seorang tengkulak baru saja meninggalkan pekarangan rumah Sadra. Perdebatan segera mulai menghangat.

“Ini yang selalu aku takutkan Bli. Padi kita hanya ditawar 8 juta, coba kalau benih kita tidak kurang, pupuk cukup, hama di semprot, burung diusir, kita bisa dapat uang lebih dari 8 juta. Lihat Bli Jantuk, padinya ditawar 15 juta, Bli Kari sudah beli motor baru dari uang panjar saja. Kita dapat apa?” Suara Konten sangat memelas dengan wajah merengut.

“Wee, biar kata suamimu ini bodoh, kalau soal hitung-menghitung masih handal. Sawah kita hanya 50 are ditawar 10 juta, ya untung, sawah BliJantuk 1 hektar, hanya ditawar 18 juta, ya buntung. Kalau Bli Kari bisa beli motor baru, ya karena sawahnya 5 hektar, kalau sawah kita 5 hektar, bukan motor tapi mobil kita beli”

Konten masih diam membisu, tangannya memeluk tiang jineng.

“Kamu tahu kita sedang untung, hutang yang harus kita bayar di KUD berkurang karena jatah benih kita kurang, pupuk juga kurang, pestisida tidak beli. Dan para tengkulak memberi harga tinggi karena melihat jabatanku.”

Perdebatan siang di jineng10 berhenti sampai di situ, dengan kesimpulan dimenangkan oleh Sadra dengan kekalahan diderita oleh Konten yang terpukul telak hingga lidahnya kelu.

* * *

Bli! gawat Bli!” Teriak Konten suatu petang di tahun ketiga jabatan Sadra sebagai pekaseh. Dia lari tergopoh-gopoh dari jalan menuju rumahnya. Sadra yang sedang sibuk memberi makan burung tekukur peliharaannya hanya menoleh sebentar tanpa komentar.

Bli harus melawan karena ini sebuah konspirasi jahat!” Konten terengah-engah, berdiri memegang lutut di dekat Sadra.

“Kamu ini kenapa, apa yang harus dilawan, apa yang jahat?”

Bli, beberapa orang akan berusaha menurunkan Bli dari jabatan Bli saat ini.”

“Bagus itu!”

“Bagus bagaimana? Ini konspirasi jahat, tidak sesuai aturan.”

“Ngomong apa kamu ini!” Sadra beranjak membereskan kaleng pakan tekukurnya.

“Begini Bli…”

“Nanti saja, aku mau mandi dulu…!” Sadra melangkah menuju kamar mandi meninggalkan Konten yang masih mematung di dekat kandang tekukur.

* * *

“Begini Bli…” Konten memulai ceritanya saat Sadra sudah selesai mandi dan mereka duduk di beranda rumah. “Beberapa orang yang tidak perlu aku sebutkan namanya, sedang mengincar jabatan yang Blipegang sekarang. Bli tidak boleh membiarkan ini terjadi.”

“Bukankah itu bagus, selama ini kita ribut terus gara-gara jabatanku ini.”

Bli, pikiran mereka yang jahat ini yang tidak bisa aku terima, cara-cara tidak konstitusional, tidak sesuai adeaerte!” Konten semakin sengit.

“Mulutmu itu suka melilit kalau ngomong.”

Bli, mereka hanya memikirkan keuntungan, selama ini tidak ada yang bersedia memangku jabatan ini, tapi begitu terkabar akan ada dana puluhan juta, mereka mulai kasak- kusuk, di mana hati nurani mereka, di mana jiwa mereka untuk ngayah?”

“Kenapa harus dipusingkan, kalau mereka mau, biarlah mereka ambil.”

Bli…! jangan bodoh lagi, ini ketidak adilan, ini yang aku bilang kita sedang dipolitiki, dimanfaatkan!”

“Kalau kita memang bisa bermanfaat bagi orang lain, bukannya itu bagus? Berarti tidak sia-sia hidup kita di dunia”

“Heeh…! bodoh, bodoh, bodoh…!” Tangan Konten mengepal, giginya gemeretek menahan darah yang mulai naik ke ubun-ubunnya dan membuat mukanya memerah seperti kepiting rebus.

“Siapa yang maksa, kamu sendiri yang mau kawin sama orang bodoh.”

“Jujur saja Bli, aku hawatir dengan nasib uang yang akan turun nantinya, orang-orang itu tidak kredibel sama sekali.”

“Bagaimana kita bisa menilai orang seperti itu?”

“Sudah jelas Bli, sama sekali tidak kredibel,ada uang mereka datang tidak ada uang mereka menghilang, apa uangnya tidak akan ikut menghilang?”

“Sebenarnya uang siapa yang kamu ributkan?”

“Uang kita, uang rakyat.”

“Saat jadi pejabat miskin saja kamu ribut, bagaimana saat aku jadi pejabatyang pegang uang banyak, apa kamu tidak tambah ribut kalau aku mau kawin lagi?” Wajah Konten makin sengit mendengar ucapan suaminya.

“Ini politik kotor Bli, politik busuk!”

“Sudah, kita pikir politik Kasur dan dengkur saja, sudah malam.” Sadra menarik tangan istrinya masuk ke dalam kamar. Lampu depan rumah dipadamkan. Malam mengalir tenang, hawa dingin menyelimuti desa itu. Bulan bopeng di belahan langit barat memendarkan cahaya temaram. Binatang malam menyanyikan lagu cinta.

Denpasar, Agustus 2008

Note:

  1. Ketua subak
  2. Organisasi yang mengatur sistem pengairan/irigasi di Bali
  3. Staff yang bertugas sebagai kurir informasi.
  4. Pekerjaan suka-rela/kerja bakti
  5. Abang
  6. Memancing kepiting.
  7. Burung tekukur.
  8. Rapat
  9. Sejenis parang
  10. Lumbung padi.

Namaku Mitha. Aku anak SMA  kelas XII  di sebuah sekolah terkenal di daerah Bandung. Di dalam keluarga  aku merupakan anak yang kurang diharapkan, anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua orang tuaku tidak pernah memperhatikanku sedikit pun. Aku memiliki dua sahabat dekat yang keduanya laki-laki, Ian dan Aldo.

Ketika pulang sekolah, aku tidak langsung pulang dan aku seperti biasa bermain bersama teman-temanku. Ketika sedang nongkrong di belakang sekolah, seperti biasa Aldo dan teman lainnya merokok di hadapan aku dan  Ian. Aldo sempat menawari kami untuk mencoba rokok, tetapi kami menolak.

“ Mith, Ian, cobain nih, enak loh...” rayu Aldo.

“ Enggak ah...” jawab aku dan Ian bersamaan.

“ Ah, gak setia kawan lu...” jawab Aldo lagi.

“ Iya deh gw coba tapi cuma sekali yaa..” jawab Ian.

“ Ya udah, nih coba...” Aldo pun memberikan rokok untuk Ian.

“ Uhukk uhukk.., gak enak Do..., nyesek.” jawab Ian.

“ Cobanya pelan-pelan Yan..” jawab Aldo lagi.

“ Udah ah, intinya gw udah nyoba. Kapan-kapan aja baru gw coba lagi.” jawab Ian lagi

“ Mith, gw udah.., lu coba juga dong...” paksa Ian ke Mitha.

“Enggak ah, kan gw cewek.” jawab Mitha menolak.

“ Ayo dong Mith, kita kan sahabat..” jawab Aldo.

“ Yaa udah iyaaa..” jawab Mitha dengan ragu-ragu.

“ Nah gitu dong Mith..” jawab aldo dan Ian.

Aldo pun memberikan satu batang rokok kepada Mitha untuk ia coba.

“ Gimana Mith, enak gak?” tanya Aldo.

“ Lumayan sihh, tapi nyesek yaa...” jawab Mitha.

“ Lu belom terbiasa itu Mith.” jawab Aldo santai.

“ Do, ntar pas ulang tahun Darma di bawa ya.”

Jawab mitha

DI SAAT ULANG TAHUN DARMA

Darma adalah teman Ian dari kecil hingga sekarang.

“ Ian, akhirnya dateng juga lu” jawab Darma

“ Iya, sorry yaa bro gw telat” jawab Ian

“  Iya gapapa kosini Yan, Do , Mith” jawab Darma

memanggil kami bertiga

ketika pesta sedang berlangsung, aku, Ian dan Aldo berpisah, Ian asik dengan Darma, Aldo asik menggoda teman- teman cewek lain, dan aku hanya duduk dan menikmati nyanyian. Selesai pesta, aku dan kedua sahabatku pergi kerumah ku yang kebetulan tidak jauh dari rumah Darma.

Sesampai di rumah ku kami bertiga setuju untuk mencoba merokok lagi di halaman belakang rumahku, maklum kami memilih rumahku karna orang tuaku dan kedua kakaku selalu pulang larut malam

“ Do, mana rokoknya?” tanya ku memaksa

“ Iya sabar Mith” jawab Aldo

“ Gila lu Mith, ketagihan yaa?” tanya Ian kepada ku

“ hehehehe... iyaa” jawab ku malu-malu

“ Nih rokoknya..” kata Aldo kepada ku sambil

memberikan rokok tersebut

aku mulai menghisap rokok itu lagi, pertama aku masih tersedak dan batuk – batuk, sapai akhirnya aku menikmatinya dan tidak tersedak lagi

“Wihh, Jago lu Mith..” puji Aldo kepada ku

“ Ahh, biasa ini mahh Do..” jawab ku santai

“ Ayo coba dong Yann...” paksa ku dan Aldo

“ Enggak ahh, nanti mati gw” jawab Ian

“ Yeh, semua orang nanti juga bakalan mati kali”

Jawab ku dengan santai

“ Ayo dong Yann, cobain..” rayu aldo ke Ian

“ Yaudah iya dehh, demi kalian nihh”

Jawab Ian terpaksa

Akhirya Ian pun terbiasa dengan merokok, dan kami bertiga merokok sampai larut malam kira-kira pukul 11 malam, karena sudah larut malam, Aldo dan Ian pun pulang kerumahnya masing – masing. Aku pun langsung masuk rumah dan tertidur lelap karena sangat kelelahan setelah merokok kurang lebih tiga bungkus.

 

KEESOKAN HARINYA

“ Mith, bangun Mith udah pagi..” teriak kakakku

“ Iyaaa..” jawab ku dengan nada malas

“ Sini kebawah sarapan...” panggil kakakku

“ Duluan aja..” jawab ku lagi

“ Ayo sarapan..” bujuk kakakku lagi

“ Iyaaa, duluan aja kali!!” jawab ku dengan nada tinggi

Aku pun sarapan ketika semua keluarga ku sudah pergi, karena hanya aku yang masuk sekolah jam 9 pagi sedangkan yang lain jam 7 pagi. Aku berangkat sekolah bersama Ian karena rumah kami hanya berbeda dua rumah disebelahku

Sesampai di kelas aku duduk di belakang bersama Aldo dan Ian, saat pelajaran sejarah aku tertidur karena sangat membosankan sekali, apalagi gurunya yang selalu menerangkan dan marah marah terus.

Kring.....kring.....kring....

Akhirnya bel pulang sekolah pun berburnyi.Aku pun pulang dan bermain lagi bersama 3 teman ku

“ eh, Aldo, Mitha, main kerumah gw yok?” ajak Ian

“ yokk.” jawabku dengan cepat

 

SESAMPAI DI RUMAH IAN

“Ian, emang nyokap bokap lu kemana?” tanya Aldo

“ biasa, pada pergi kondangan” jawab Ian

“ ehh..., gw beli minuman dulu yaa?” Bilang aldo

“ do..do..do tunggu, nitip rokok yaa...” aku berkata kepada aldo

“ tenang aje Mit...” jawab Aldo

“okedehhh...” jawabku senang

 

KETIKA DI WARUNG

“bu beli rokok bu..?” tanya aldo

“dekk!!, kecil- kecil udah ngerokok..” jawab ibu itu tegas

“enggak bu, ini buat bapak saya” kata Aldo menghindar

“ ohh,... yaa udah nih...” jawab ibu itu dan memberikan rokok tersebut

 

SEKEMBALINYA DI RUMAH IAN

“Aduh Mith, hampir ketauan gw sama ibu-ibu warung” jawab Aldo dengan takut

“ udahlah kan baru hampir, mana rokoknya?” tanya Mitha

“nihh..” jawab Aldo sambil memberi rokok itu

Ketika kami sedang merokok beriga, tiba-tiba orang tua Ian datang dan kami dipergoki sedang merokok,tanpa basa basi orang tua Ian memarahi kami bertiga dan menyuruh kami pulang kerumah setelah menelpon orang tuaku dan Aldo.

 

SESAMPAI DI RUMAH

Di depan rumah kedua orang tuaku dan kakakku telah berdiri dengan muka sedih bercampur kesal dan ibuku hanya bisa menangis

“Mitha apa-apaan kamu ini ngerokok segala?” bentak ayah ku

“Kamu itu kenapa sih dek,cewek kok merokok. Mau jadi apa kamu?” tanya kakaku marah

“Aku itu cuma mau kalian peduli sama aku, bukan Cuma ngurusin pekerjaan kalian doang.” Jawabku dengan kesal dan langsung berlari ke kamar.

 

KEESOKAN HARINYA

Aku bangun lebih siang dari biasanya karena hari ini hari libur, ketika bangun orang tuaku telah menyiapkan makanan untuk ku dan mereka bersikap lebih baik dan sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya, kami pun makan bersama-sama untuk pertama kalinya. Setelah makan ayahku mengajak kami semua untuk pergi tanpa memberitahu tujuannya dan kami pun sampai disuatu rumah dimana aku belum pernah kesana, ternyata itu adalah rumah nenekku. Disana aku merasa lebih dekat dengan seluruh keluarga besarku terutama bersama kedua orang tuaku. Dan sekarang aku tidak lagi merokok, tidak pulang larut malam dan aku mendapatkan prestasi yang cukup membanggakan disekolah, bahkan aku mendapat undangan ke universitas ternama di bandung. Sekalipun aku sudah berubah aku tidak pernah melupakan kedua orang sahabatku, walaupun mereka yang sempat merusak hidupku, Aldo dan Ian.

Sekarang Aldo dan Ian pun sudah berubah, mereka berdua masuk kesebuah band yang cukup terkenal dan sudah manggung disana sini tak jarang pula masuk televisi atau radio di Jakarta dan bandung. Menurut ku masa lalu ku bukanlah hal yang harus di lupakan, tetapi menjadi motivasi ku untuk menjadi lebih baik lagi.

 

Hitam memang tak selalu pahit, masa lalu yang kelam bukanlah akhir dari segalanya selama masih ada harapan masih ada pula masa depan yang cerah, itulah yang membuatku bisa berubah hingga seperti sekarang ini. semua berkat kedua orang tuaku.

 

 

Kaki[1] Wari seorang petani tulen yang mengabdikan hidupnya  bagi bumi pertiwi, yang tidak henti-hentinya memberikan anugerah berlimpah. Kesuburan, air yang terus mengalir,  hingga panen yang selama bertahun-tahun selalu membuat Kaki Wari tersenyum lebar saat menuntun sapi-sapinya menarik cikar[2] yang dipenuhi hasil panen.

Kaki Wari termasuk petani yang terpandang dan dihormati. Selain karena usianya yang termasuk sepuh, dia memiliki sejumlah sawah yang luas di beberapa desa yang berbeda. Setiap sawah yang baru dibeli selalu sempat digarapnya sendiri, sebelum kemudian diserahkan pada seorang penyakap[3]. Hingga suatu kali dia membeli sebidang sawah seluas 45 are yang menjadi sawah garapannya hingga kini. Sawah yang terletak persis berbatasan dengan hutan jati yang merupakan wilayah penyangga Taman Nasional Bali Barat itu, memiliki struktur tanah yang agak miring. Tanahnya lebih tinggi di bagian timur dan semakin rendah di arah barat, sehingga petak-petak sawah harus dibuat kecil memanjang dan bertingkat-tingkat mengikuti struktur tanah yang ada. Belum lagi bongkahan batu berukuran sangat besar teronggok di sana-sini, semakin membuat areal persawahannya tampak unik.

Di sisi timur terdapat saluran irigasi yang mengalir dari dalam hutan yang selama ini menjadi sumber pengairan bagi beberapa kelompok subak[4] di desa tersebut. Sisi sebelah utara ditumbuhi rimbunan pandan berduri yang berbatasan langsung dengan hutan jati yang disekat oleh sebuah jalan tanah selebar kurang lebih dua meter. Di sebelah barat mengalir sebuah kali kecil berbatu dengan sumber air berasal dari dalam hutan yang memiliki banyak mata air jernih dan sejuk sepanjang tahun. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan lahan milik petani setempat.

Lahan persawahan ini menjadi kesukaan Kaki Wari. Semenjak dibeli, tidak pernah sekalipun diserahkan pada penyakap dan kebiasaannya membeli sawah berhenti seketika. Di sisi timur, Kaki Wari membiarkan sepetak tanah kering untuk tempatnya mendirikan gubuk sederhana sebagai rumah tinggal selama musim menggarap sawah. Itu berarti nyaris sepanjang tahun dia tinggal, karena sumber air yang melimpah membuatnya bisa bercocok tanam sepanjang tahun. Apapun yang ditanamnya tumbuh dengan subur dan memberi hasil yang memuaskan.

Dalam usinya yang menginjak 75 tahun, tubuhnya masih cukup kuat untuk menggarap lahan tersebut. Anak-anak Kaki Wari sering memintanya untuk pensiun dan beristirahat. Tapi bagi Kaki Wari, sawah dan lumpur adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupannya.

“Ini saatnya Bapa[5] menikmati hasil keringat selama puluhan tahun, kami semua sudah bekerja dan punya penghasilan untuk membiayai hidup keluarga kita. Bahkan hasil pembagian dari penyakap sawah-sawah Bapa sudah lebih dari cukup sebagai uang pensiun Bapa” Demikian kata anak laki-laki tertua Kaki Wari yang bernama Wayan Gede Idep Wirawan berusaha meyakinkan.

“Ini bukan masalah uang, bukan masalah harta, ini masalah arti sebuah kebahagiaan. Dimana Bapa bisa merasa senang di sana Bapa akan menghabiskan sisa hidup Bapa.

Tyang[6] mengerti, tapi usia Bapa sudah cukup untuk mengambil waktu istirahat. Kami khawatir dengan kesehatan Bapa.” Idep masih bersikeras meluluhkan hati Ayahnya, dan berusaha menunjukan betapa dia sayang pada laki-laki yang baginya sudah mulai renta itu.

“Yan, kesehatan buat Bapa bukan tentang diam dan istirahat, tapi kebebasan jiwa untuk berbuat. Tubuh Bapa terasa begitu sehat saat menenggelamkan diri dalam sejuknya lumpur dan aromanya yang khas terhirup hingga paru-paru dan memenuhi rongga jantung, sehingga detaknya begitu seimbang dan selaras dengan detak alam semesta.” Kaki Wari tersenyum tenang sementara tangannya mengelus dada.

Idep dan adiknya, Nengah Jineng Sastrawan, hanya bisa diam membisu mendapat ceramah dari Bapa mereka. Tidak ada kata yang bisa melawan keinginan Kaki Wari dalam menjalani kehidupnya sendiri. Percakapan antara anak dan ayah yang belangsung pada malam bulan purnama di rumah mereka yang terletak di tengah desa itu, terhenti sampai disitu.

Rumah yang terhitung paling besar dibandingkan dengan rumah disekitarnya, selalu sepi tanpa penghuni beberapa tahun terakhir ini. Istri Kaki Wari telah meninggal lima belas tahun yang lalu dalam tidurnya yang tenang. Kaki Wari dan istrinya memiliki filosopi sederhana tentang hidup. Jika kehidupan dijalani dengan tulus dan penuh kejujuran, maka kebahagiaan akan selalu menyertainya. Sejak berpulangnya Dadong[7] Wari, Kaki Wari lebih memilih tinggal di gubuknya ketimbang di rumah besar yang baginya seperti ruang hampa yang tidak memberinya keleluasaan untuk sekedar bernafas. Sementara Wayan Idep si anak tertua harus menempati rumah dinas, setelah melenggang ke gedung dewan setelah adanya proses pergantian antar waktu. Seorang anggota dewan dari partainya di recall karena terbukti terlibat kasus pelecehan seksual terhadap seorang perempuan pemandu karaoke. Sementara Jineng lebih memilih tinggal di rumah barunya yang terletak di pusat kota, dengan alasan lebih dekat dengan tempat usahanya, tapi sejatinya itu hanya karena istri mudanya yang mantan mami kafe remang-remang tidak senang tinggal di desa.

* * *

Secara fisik, Kaki Wari tampak semakin tua dalam kesendiriannya. Tapi bukan itu yang mengganggu pikirannya. Pada pagi hari saat embun masih menguasai pucuk-pucuk daun dan rerumputan, saat mentari sedang berusaha menembus rimbunan daun jati, Kaki Wari sering termenung, duduk di balai-balai bambu di depan gubuknya, matanya memandang jauh ke arah hamparan sawah di hadapannya. Dua bulan lalu musim penghujan telah berakhir dan musim kering menjelang. Sepanjang puluhan tahun, tiada pernah ada rasa khawatir dalam benak Kaki Wari akan kekurangan air bagi sawahnya. Tapi belakangan, ada sesuatu yang dirasa berubah.

Kali kecil berbatu di ujung barat tidak lagi mengalirkan air jernihnya, hanya genangan-genangan kecil yang tersisa, bahkan saat musim penghujan airnya akan mengalir dengan warna coklat tanah. Saluran irigasi di atas sana pun airnya mulai surut dan tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan bercocok tanam padi pada musim kemarau seperti sekarang ini, airnya hanya cukup untuk sekedar menopang pertumbuhan kedelai yang disemai bulan lalu.

“Semua memang tidak ada yang sanggup lepas dari perubahan. Pun keluargaku dan mahluk yang bernama manusia dan tanah ini serta alam semesta.” Batin Kaki Wari. Dia menenggak sisa kopi dari dalam cangkir yang terbuat dari bambu. Tangannya mengusap rambut dan wajahnya. Dia seperti sedang merasakan betapa dirinya pun sudah merubah total. Rambut yang beruban dan selalu rontok, kulit wajahnya yang semakin keriput. Kering dirasakan di sekujur kulit yang membalut tubuhnya, warna legam itu menyimpan berbagai kisah kehidupan tanah ini.

Matahari menyinari hamparan sawah, menerpa bulir embun di pucuk-pucuk daun kedelai yang kemudian memendarkan warna perak.

Kaki Wari berjalan menyusuri pematang saluran irigasi, dia melangkah masuk ke dalam hutan. Air bening mengalir sangat kecil di sepanjang saluran itu, sehingga dasar lumpur terlihat jelas. Daun-daun kering terkumpul pada ranting yang melintang, membuat bendungan-bendungan kecil. Rumput-rumput liar tumbuh di sepanjang saluran air tersebut.

Semakin dalam Kaki Wari masuk ke dalam hutan, semakin terang matahari bersinar. Tidak ada rimbunan daun jati yang menghalangi sinarnya menghujam bumi. Bukan pula karena pohon jati sedang musim meranggas, tapi pohon-pohon jati itu seperti menghilang. Mata Kaki Wari menengadah memastikan, matanya tertumbuk matahari yang semakin tinggi, matanya silau, pandangannya menjadi gelap tidak jelas apa yang tampak di hadapannya, dia seperti kehilangan kemampuan penglihatan, dan dia semakin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, bahkan pohon-pohon jati yang begitu lebat tidak tampak oleh matanya yang semakin berkunang-kunang. Kemudian dia melangkah mengandalkan jejak ingatan masa lalunya tentang hutan ini. Jalan setapak itu, rimbunan semak belukar, rumpun rotan yang saling membelit, batang-batang pohon jati itu, semua masih tersimpan dalam memori masa lalunya, dan kini dia harus mencari jalan pulang karena dunia sudah semakin gelap baginya.

* * *

Sosok laki-laki berkulit legam dengan rambut beruban dan wajah berkeriput itu tampak terbaring di atas ranjang besi bercat hijau muda, dengan selimut berwarna abu-abu pucat. Pada tangannya tertancap jarum yang menjadi saluran bagi cairan infus yang mengalir dari botol berlabel merah yang tergantung pada sebuah tiang stainless di sisi ranjang. Lelaki itu adalah Kaki Wari, dia harus menjalani perawatan intensif setelah dua hari yang lalu, tubuhnya ditemukan oleh seorang pencari madu, tergeletak di dekat saluran irigasi, di antara pangkal batang pohon jati sisa penebangan. Pencari madu itu yang kemudian menggendong tubuh renta Kaki Wari keluar dari dalam hutan dan mengabarkan berita itu pada Wayan Idep.

Kaki Wari merasa sangat bingung ketika siuman dan menyadari tubuhnya tergeletak dalam kamar bersih bercat putih. Tapi dia tidak sanggup melakukan apapun, tubuhnya tidak bisa dia gerakkan, hanya senyum yang selalu sanggup mengembang bagi siapapun yang menjenguknya.

“Kenapa Bapa harus disini, kapan kalian akan membawa Bapa pulang?” tanya Kaki Wari sore itu pada Wayan Idep.

Bapa tenang saja dulu. dokter akan merawat hingga Bapa cukup sehat untuk pulang.” Idep mencoba menjelaskan.

Kaki Wari hanya menarik nafas dalam-dalam. Ruangan VIP rumah sakit yang cukup luas itu tampak lengang, hanya Idep yang menunggu disana.

“Apa adikmu Jineng akan kemari?”

“Ya nanti dia pasti kemari” Kata Idep setelah diam dengan wajah bingung untuk beberapa saat. Nada suaranya terdengar gelagapan dan penuh keraguan.

“Suruh dia kemari agar kita bisa bicara, kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini?” suara Kaki Wari terdengar lemah dan kurang jelas pengucapannya.

“Tentu saja, saya akan menelpon agar dia segera kemari.” Idep bangkit dari duduknya dan melangkah keluar dari ruang perawatan menuju ruang depan yang menjadi bagian dari ruang perawatan VIP tersebut.

* * *

Hari berganti hari, Kaki Wari masih dirawat di ruangan yang sama. tidak ada perubahan yang mendasar pada kondisinya. Tidak ada gerakan tubuh, dia tampak lemah tanpa daya.

“Mana Jineng, kenapa dia tidak kunjung datang? Apa kau sudah menelponnya? Apa katanya?” pertanyaan itu terus mengalir dari kerongkongan Kaki Wari setiap Idep memasuki ruangan itu tanpa membawa Jineng serta, sehingga Idep tidak punya jawaban lain lagi.

Bapa sabar, Jineng pasti segera datang.”

Pertanyaan dan jawaban itu selalu silih berganti terdengar, hingga hari ke tujuh, Jineng muncul di ruang perawatan Kaki Wari, wajahnya kusam dan tidak bergairah.

“Kenapa baru datang Jineng, apa kau sakit? Apa anak-anakmu sehat dan keluargamu baik-baik saja? Bapa khawatir terjadi apa-apa pada kalian.”

Jineng tidak sanggup berucap, dia menggeleng dan mengangguk pelan berulang kali, wajahnya tertunduk menghujam ujung kakinya yang kokoh menancap ke lantai, agar sanggup menopang tubuhnya. Tidak ada kata-kata lagi, sunyi diantara mereka yang dibiarkan berdua saja dalam ruanggan itu. Mata tua Kaki Wari bermain sendiri, menyiratkan penantian akan apa yang telah lama diharapkannya. Tapi Jineng tetap membisu, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Jineng, hingga dua orang berseragam warna abu-abu gelap masuk dan mendekatinya. Seorang dari mereka membisikkan sesuatu di telinga Jineng, kemudian mereka pergi meninggalkan ruang perawatan tersebut. Jineng berjalan diapit oleh dua orang laki-laki berseragam abu-abu.

Mata Kaki Wari tertutup perlahan, bibirnya menyiratkan senyum tenang penuh kedamaian.

* * *

Satu minggu setelah kunjungannya ke ruang perawatan Kaki Wari, Jineng dinyatakan bebas dari tuduhan sebagai pelaku sekaligus penadah aksi penebangan liar hutan jati di kawasan utara, setelah menyerahkan sejumlah uang jaminan sehingga memiliki kesempatan mengikuti prosesi upacara pengabenan ayahnya.

Setelah berpuluh-tahun bergelut dengan ketulusan dan keyakinannya terhadap Ibu Pertiwi, kini Kaki Wari telah mencapai titik tertinggi pengabdiannya, di mana dia telah kembali ke dalam serat-serat inti alam semesta.

Denpasar, Agustus 2008
Pernah Cetak Denpost

[1] Kakek
[2] Pedati
[3] Petani penggarap dengan sistem bagi hasil
[4] Organisasi yang mengatur sistem pengairan/irigasi di Bali
[5] Bapak
[6] Saya
[7] Nenek

Woho! Bukan persoalan mudah menjadi orang jujur, rendah hati, penuh cinta dan selalu berpikiran positif. Aku yakin semua orang akan menganggapku narsis, over pede kalau aku mengatakan aku adalah orang paling positif, jujur dan selalu baik kepada setiap orang, bahkan sudah bermula dari dalam hatiku, bukan sekedar lipstick yang manis di bibir tapi sepahit empedu di dalam hati. Terus terang, hanya kejujuran itu modalku menjalani hidup, termasuk kehidupan percintaan.

May, gadis manis yang begitu sering mengirimkan puisi indah untukku. Puisi-puisi itu telah banyak menginspirasi lagu-lagu dalam album terbaruku. Oh ya, aku seorang penyanyi sekaligus komposer. Aku sering menggarap musik untuk kawan-kawan baikku. Sekali lagi aku bukan sombong, aku hanya mengatakan sejujurnya. Setiap lagu yang musiknya aku kerjakan selalu laris manis dan menduduki deretan top ten di mana-mana bahkan kadang viral di media sosial.

Kembali lagi kepada May. Setiap orang pasti menebak kalau dia lahir bulan Mei. Hem, kalian salah besar. May lahir bulan Juni. Aku tidak tahu, apakah orang-orang yang lahir bulan Juni semuanya seasik dan semenarik May.

Sejak pertemuan pertama kami dalam program televisi, kencan buta bareng artis, aku sudah merasa ada getaran aneh. Dia beda dengan fans lain yang biasanya suka berteriak-teriak, ”Jozi! Jozi!” dan mereka akan mengejar-ngejarku mencari kesempatan mencubit, yang lebih parah lagi kalau ada yang mendaratkan tamparan di wajahku dan berharap aku akan melaporkan mereka ke polisi dan jadi viral di mana-mana.

Sedangkan May selalu terkesan tenang, gak gampangan. Misterius! Dia selalu sanggup menahan gejolak perasaannya tanpa diekspresikan secara berlebih. Senyumnya membuatku megap-megap menahan birahi. Tiga lagu aku ciptakan khusus untuk memuja senyum manis itu.

Baiklah, aku katakan pada kalian bahwa aku sudah menyunting May menjadi kekasih seminggu sebelum peluncuran albumku yang ke-5. Jangan menuduhku memanfaatkan aji mumpung ngetop, lalu seenak hati menggaet setiap fans yang bertampang manis. Oh tidak! Janganlah kalian kejam pada diriku. Bukankah sudah aku katakan bahwa aku orang yang jujur dan baik hati. Dan perlu kutambahkan bahwa aku tipe setia pada satu pasangan. Poligami? Oh, Noway!

Aku sadar bahwa aku bukan tipe laki-laki romantis. Lagu-lagu yang aku ciptakan memang selalu romantis dan membuat semua perempuan terlena, tapi kalian boleh tanya pada May, dia masih hidup, dia boleh bersaksi. Pernahkah aku melakukan sesuatu yang romantis seperti dalam lagu yang aku ciptakan? Dia pasti menjawab “Never!”.

Seperti sahabatku, kau pasti mengatakan bahwa May sudah tertipu, jatuh cinta pada plyboy kacangan. Tapi mereka hanya iri, menuduhku sebagai laki-laki penipu bermulut manis penuh bisa.

“Kau hanya manusia pencemburu, susah melihat orang senang dan senang melihat orang susah.”

“Joz, kami sahabatmu. Tidak ada cemburu. Buka matamu! Lihat keluar! siapa sebenarnya May? Dunia ini berputar Joz, semua tidak kekal, hanya perubahan yang abadi. Juga hati May, dia masih sangat muda dan penuh gejolak. Bagai butir apel ranum yang menggoda  siapapun untuk menyentuhnya. Bangun Joz!”

“Hei! Kalian hanya menginginkan Mayku yang ranum. Percintaan kami terlalu indah untuk kalian hancurkan”

“Joz, kenapa cinta membuatmu semakin goblok?”

Apa kau juga memikirkan hal yang sama seperti sahabatku? Aku goblok? Oh, nasibku. Bahkan mereka yang mengaku sahabat meninggalkanku dan mengucilkanku dalam dunia yang luas ini.

Aku katakan padamu; benar bahwa telponku tidak pernah diangkat. Pesanku tidak pernah dibalas. Tapi bukan berarti dia meninggalkanku. Sahabat-sahabatku terlalu pendek akal, munafik. Termasuk gosip serong dan selingkuh untuk menarik keuntungan agar reting acara TV mereka naik. Agar oplah tabloid picisan mereka meningkat. Puih!

Kau tahu, sahabatku bahkan bertindak seolah mereka pisikolog dan peramal masa depan. Memaksakan opini mereka.

“Joz, kau tau aku sahabat baikmu. Aku seorang perempuan, tidak mungkin merebut May. Cinta bukan sekedar syair dalam lagu, perempuan perlu sentuhan nyata dari hati-kehati. Kami perlu dimanja, disayang, bukan cuma disuruh mendengarkan CD. Dan aku ingin mengatakan, kau telah gagal dalam kehidupan nyata. Itu kenapa May mencampakkanmu!”

“Hei, Kau cuma iri pada May! Tidakkah kau ingin membiarkan May bahagia bersamaku? Dia memang perempuan beruntung yang meluluhkan hatiku.”

“Oh Joz, kenapa cinta membuatmu semakin gila?”

Kau bisa bayangkan rasanya saat sahabatmu menuduh kau gila? Betapa perih hati ini ketika mereka menyiramkan cuka pada lukaku.

Aku buka rahasia padamu. Tapi ingat! jangan pernah bercerita pada mereka. Aku tahu semua desas-desus tentang May di belakangku. Untuk sebuah reputasi aku berusaha menutupinya, membohongi semua orang. Skandal yang paling besar adalah aku telah membohongi diriku sendiri.

Oh, ini adalah aib terburuk dalam sejarah karirku. Bayangkan, seorang Jozi telah dikhianati, dicampakkan! Oh, baiklah aku akui di hadapanmu bahwa ini kenyataan. Aku dikhianati. Tapi tolong jangan hukum aku dengan kata dicampakkan, karena itu memuakan sekali.

Begini, setelah banyak rahasia kecil itu. Oh, hei! Apakah itu rahasia kecil? Aku yakin kau menganggap itu rahasia  besar karena aku artis. Tapi kau kuanggap sahabatku, kau boleh tahu semuanya.

Baiklah, aku lanjutkan ceritaku. May menelponku malam itu. Suaranya lirih seperti biasa, tapi aku dapat menangkap keraguan, ketakutan dan penyesalan. Aku telah mengenalnya dengan baik sehingga dapat merasakan apa yang dia rasa, bahkan aku dapat membayangkan bibir merahnya yang merekah dan basah bergetar saat berucap. Wajahnya yang merona merah, matanya yang berkaca-kaca. Aku dapat membayangkan betapa cantiknya dia malam itu.

“Hallo May, apa kabarmu? aku sangat merindukanmu.” aku memecah kekeluan yang menyelimuti percakapan kami. Tapi aku hanya mendengar desah pelan. Aku yakin May mulai menangis saat itu, air matanya mulai bergulir di pipinya yang halus. “Katakan sesuatu. Bicaralah! Aku masih mendengarmu.”

“Joz... aku mohon kau memaafkanku.”

“May, kau sudah mengenalku, kapan aku bisa pelit akan maaf. Apapun itu, aku akan menerima dengan lapang dada. Aku pasti memaafkanmu.” ucapanku cukup lama tidak berbalas, hanya terdengar isak kecil dari seberang sana. “May…?”

“Joz, maafkan aku, aku hanya perempuan pengkhianat. Maafkan aku! Tut, tut, tut, tut…”

“May hallo…”

Kau pasti sudah tau, itu artinya percakapan kami terputus sampai disitu saja. Tapi tidak apa-apa, paling tidak itu adalah awal yang baik. Aku yakin selanjutnya akan jauh lebih mudah.

“Jozi, terimakasih engkau telah menganggapku sahabat. Kedatanganku menemuimu sesungguhnya hendak menyampaikan sesuatu.”

“Baiklah, setelah kau mendengar kisah panjangku, kini saatnya aku mendengarkanmu.”

“Aku sangat kagum dengan kejujuranmu dan ketulusanmu. May juga mengagumi dirimu melebihi apapun. May sering bercerita betapa engkau adalah sebuah kesempurnaan. Hanya saja, May merasa dia bukan orang yang tepat untuk mendampingimu. Dia merasa terlalu naïf untuk memahami cara berfikirmu. Dia ingin membiarkanmu bahagia karena engkau memiliki kebahagiaan itu dalam dirimu, bahkan dalam kesendirianmu engkau akan bahagia. Joz, aku menyampaikan titipan May untukmu.”

“Titipan? Oh biarkan aku memelukmu sahabat baikku. Hei! Siapa yang menikah?”

“May.”

“May?”

“Ya, May.”

“Mayku?”

“Benar, May”

“Apa tidak salah? Ini? bukankah ini fotomu? Hei!! Kau!? Kau menikahi Mayku? Oh Kau! Bukankah aku sudah memaafkannya? Kenapa dia meninggalkan aku? Kau! Anggap kita tidak saling kenal. Enyah dari hadapanku dan lupakan aku pernah menganggapmu sahabat. Itu tidak pernah terjadi!”

Denpasar, Oktober 2008