Hampir selalu terlintas di kepala saya pertanyaan, Siapakah saya? Who am i?. Pertanyaan itu hampir selalu muncul ketika saya dalam kondisi sendiri tanpa beraktivitas. Saking seringnya pertanyaan itu muncul, saya sampai ingin langsung berhadapan kepada sang penanya sambil menyerahkan KTP saya ????.
Akan tetapi, perlahan, sedikit demi sedikt, pertanyaan itu mulai mempengaruhi saya. Bahkan pertanyaannya berkembang menjadi, kenapa nama saya ini, kenapa bapak saya ini, kenapa ibu saya ini, kenapa saya bersaudara 3, kenapa saya dilahirkan di keluarga ini, knapa saya lahir didesa ini, kenapa saya beristri ini, dan masih banyak kenapa kenapa yang lain. Dan itu terus berkembang berkembang, membesar, bahkan dengan liarnya merembet kemana mana, bahkan sampai ke ranah ranah yang bahkan saya sendiri tidak mampu mengimajinasikan.
Karena terlalu sering memikirkan "kenapa" yang tadi, akhirnya singkat saya menjawab "karmapala". Yupp, betul, "Karmapala" berarti buah dari perbuatan.
Apapun kadaan yang saya terima saat ini adalah hasil dari perbuatan saya. Karena Tuhan Maha Hebat yang tidak mungkin salah menentukan apa yang seharusnya terjadi di dunia ini. Beliau Maha Absolut yang tidak akan melakukan kesalahan walau hanya seupil. Akhirnya saya merasa lega, pertanyaan tentang siapakah saya mulai sirna, dan saya mulai bisa menerima situasi dan kondisi saat ini tanpa berusaha menyalahkan dan menghakimi makhluk lain. Saya sebagai manusia tinggal menjalan apa yang sudah digariskan dengan cara terus beikhtiar dan menyerahkan apapun hasilnya kepada Yang Maha Kuasa.
Ternyata sesimpel itu.....
Delapan tahun yang lalu, di rumah seorang kawan di daerah Sanur saya menulis beberapa mimpi di sebuah kertas. Salah satunya saya menulis berkeinginan menjadi fotografer. Waktu itu saya belum memiliki kamera, memotret hanya menggunakan HP, kalau ada suatu acara misalnya, biasanya teman meminjamkan saya kamera digital miliknya lalu meminta saya bantu mendokumentasikan. Ini menyenangkan, saya selalu antusias ketika sedang memegang kamera.
Saya punya ketertarikan dengan orang-orang yang menekuni dunia fotografi, entah mengapa saya selalu penasaran dengan ide dan cara mereka bertutur dengan media foto. Sepertinya keren jika bisa melakukan hal yang serupa, bercerita dari sudut pandang sendiri menggunakan medium visual.
Lanjut cerita, kertas yang saya telah tulis dengan beberapa mimpi itu saya simpan di tempat yang tersembunyi dan sulit bisa dilihat orang. Saya melipat kertas itu menjadi sangat kecil lalu memasukkannya di tembok yang berlubang karena retak. Hal yang saya lakukan tersebut terinspirasi dari beberapa buku tentang teori-teori Law of Attraction. Lambat laun saya tak lagi mengindahkan apa hal itu, sampai lupa dengan apa yang saya lakukan itu.
Kemudian awal tahun 2016 saya memiliki kamera pertama, yang saya beli dalam kondisi bekas lewat OLX. Karena saya pikir harus dapat cepat, saya meminjam uang teman untuk memiliki kamera tersebut, Nikon D5200 dalam kondisi bekas, kala itu harganya 4,5 juta termasuk lensa Kit 18-55mm. Kamera ini baru dibeli oleh pemilik pertama tidak lebih dari sebulan, kondisinya seperti baru dan masih memiliki garansi.
Kemudian saya mempelajari tentang kamera dan lensa lewat internet, dan menemukan ada lensa bagus dengan harga yang masih terjangkau, lensa yang katanya mumpuni untuk belajar foto portrait. Lensa Nikkor AF-S 50mm dengan bukaan F1,8, saya memilikinya setelah beberapa bulan. Lensa yang membuat saya sering memotret orang-orang dan lingkungannya, kemanapun saya selalu memasukkan kamera dalam tas, membawanya baik saat kerja ataupun di jalanan. Kala itu saya masih bekerja di Mitra Bali Fair Trade, perusahaan ekspor kerajinan yang mempraktekkan prinsip-prinsip perdagangan adil.
Sampai saat ini pun Lensa Nikkor 50mm saya selalu pakai, meski kamera pertama itu telah diganti dengan kamera yang memiliki sensor lebih lebar menjelang akhir tahun 2016, setelah mendapat saran dari teman, Vifick Bolang. Saya masih ingat kata Vifick, kira-kira seperti ini "jika kamu ingin secara profesional bekerja di bidang fotografi sebaiknya upgrade kamera mu Mar, dengan kamera Full Frame." Saat itu kami mengobrol bertiga, Vifick, Dodik dan Saya. Dan kamera kedua itu saya dapatkan setelah menggadaikan BPKB motor di Koperasi sebalah barat rumah.
Kembali ke cerita awal 2016, beberapa minggu setelah memiliki kamera pertama, sangat kebetulan saya melihat ada informasi workshop photo di instagram yang diadakan oleh Denpasar Film Festival bekerjasama dengan Bali Photo Forum. Mereka mengadakan workshop "Bertutur Visual" dengan tema Air dan Kehidupan, yang juga merupakan lanjutan dari Project 88, kalau tidak salah waktu itu adalah tahun yang ke-tiga. Fasilitatornya adalah Anggara Mahendra, Vifick, Agung Parameswara dari Bali Photo Forum kemudian pesertanya ada 5 orang. Dodik Cahyendra, Pande Parwata, Wira Sathya, Ote Tatsuya dan saya.
Pengalaman ini membuat saya belajar sangat banyak, dari tehnik sampai pada penerapannya agar bisa menghasilkan karya essay photo. Saat itu saya baru mengenal dan belajar tentang exposure, Diafragma dan ISO, lalu bagaimana hubungan ketiga ini. Rasanya kala itu saya yang paling awam soal fotografi, karena dasar segitiga exposure saya masih belum paham, bahkan tidak tahu. Namun Vifick sangat fokus memfasilitasi saya dan Dodik, memberikan kami banyak referensi dari buku-buku foto dan link di internet. Workshop dibagi menjadi tiga kelompok. Peserta bebas menentukan siapa fasilitator yang mereka inginkan.
Cerita yang saya angkat pada workshop tentang aktivitas penambangan Batu Paras yang dilakukan di Sungai Petanu, Gianyar. Berawal dari mendapati adanya sesuatu yang rasanya agak bertentangan antara ide dan kenyataan, dimana penghargaan orang Bali sangat tinggi kepada Dewa Wisnu yang dipercaya sebagai Dewa Pemelihara sekaligus sebagai Dewa Penguasa Air. Orang-orang membuat tempat sembahyang, candi-candi dan patung sebagai caranya untuk untuk menghormati Dewa Wisnu, juga Dewa lainnya. Namun bahan-bahan yang dipakai sebagiannya berasal dari penambangan Batu Paras dari Sungai Petanu, yang berpengaruh terhadap rusaknya ekosistem air di sepanjang aliran sungai Petanu.
Saya sangat ingat pada proses belajar itu saya mengambil lebih dari 10,000 foto dan dipilih hanya 8 foto untuk dipresentasikan. Kemudian pada akhir workshop dilakukan pameran bersama untuk karya-karya kami, pada 16 Agustus 2016. Momen pameran ini sekaligus membangkitkan semangat saya untuk terus berkarya dan menekuni lebih dalam tentang essay photo.
Dari apresiasi teman-teman yang datang, kunjungan orang-orang lain yang tidak saya kenal, telah memberikan semangat dan mendorong saya menuju dunia baru yaitu fotografi.
Proses yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, mengalir begitu saja yang kemudian menjadi awal saya sampai saat ini menekuni fotografi, dan membuat saya memiliki kepercayaan diri untuk bilang "saya seorang fotografer" ketika berkenalan dengan orang baru.
foto by Baskara Putra
Daur ulang logam. Membaca tiga kata itu, kita akan langsung berpikir tentang besi rongsokan. Barang-barang tidak terpakai yang biasanya teronggok dan membuat salah tingkah. Mau buang, buang kemana? Tukang rongsokan jarang lewat. Kalaupun lewat, rumah lagi kosong atau kita sedang tidur siang. Mau kirim ke gudang rongsokan terdekat, susah angkutnya, ditambah ada kerjaan lain yang lebih penting.
Daur ulang. Sekarang kita potong menjadi dua kata saja. Frase ini saya rasa sangat menggugah banyak orang untuk mulai peduli. Bahwa bertanggung jawab atas sisa pakai yang tidak berguna bagi kita adalah mutlak. Sesederhana benda kecil dari logam seperti potongan kabel listrik, mata kater yang sudah karatan atau kunci yang tidak terpakai lagi. Receh, tapi itu tetap benda yang perlu diperhatikan perjalanan selanjutnya.
Kalau bicara benda besar seperti bekas mesin cuci, rongsokan sepeda, rongsokan bus, rongsokan kereta api; dengan mudah rasanya menemukan mereka yang bersedia datang untuk mengambilnya. Lengkap dengan hitungan harga per kilogramnya.
Tapi sebenarnya tidak peduli ukuran besar atau kecil, nyaris semua jenis logam di kehidupan sehari-hari kita bisa didaur ulang. Ketika produk berbahan logam yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi berguna, mereka akan dibuang. Dibuang dalam hal ini tentu saja bukan dibuang sembarangan, namun bagaimana logam-logam tersebut masuk dalam siklus daur ulang, sehingga tidak tercecer dan mencemari lingkungan.
Daur ulang logam bertujuan untuk digunakan dalam bentuk, produk atau proyek lain. Logam adalah sumber daya yang dapat didaur ulang berulang kali tanpa kehilangan kualitas. Produk dari proses daur ulang logam, memiliki manfaat yang sama bagi industry, seperti halnya logam yang baru.
Mengutip dari thebalancesmb.com, logam yang dapat didaur ulang terbagi menjadi dua, yaitu Ferrous (Fero) and Non-Ferrous (Non-Fero). Logam jenis Fero merupakan logam yang memiliki kandungan besi (Fe), biasanya bisa lengket dengan magnet. Sedangkan logam non-fero adalah logam yang tidak mengandung besi, sehingga tidak terlalu padat.
Logam Jenis Fero diantaranya baja paduan, besi stainless, baja karbon, besi tempa dan besi cor. Logam Jenis Non-Fero diantaranya: aluminium, kuningan, tembaga, emas, iridium, timbal, magnesium, palladium, platinum, perak, timah, dan seng.
Sebagai material yang paling dibutuhkan industri dunia, baja menjadi bahan yang paling banyak didaur ulang. Logam lain yang juga menduduki peringkat atas dalam industri daur ulang adalah termasuk tembaga, aluminium, kuningan, perak, dan tentu saja emas.
Mobil keluaran terbaru yang kita beli di dealer kemarin pagi, kita sebut sebagai barang baru. Tapi pernahkah terbayang bahwa sebagian dari bahan pembentuknya adalah berasal dari besi tua yang didaur ulang. Bahkan dalam bertahun-tahun kedepan, semua bahan logam yang membentuk mobil akan berasal dari logam tua yang didaur ulang berkali-kali.
Mengutip dari artikel berjudul Teknologi daur ulang skrap besi baja menyelamatkan industri baja nasional, disebutkan bahwa pada tahun tahun 2015 Uni Eropa telah menetapkan pelarangan impor mobil dari industri yang tidak menerapkan sistem daur ulang pada keseluruhan proses produksinya. Oleh karenanya, Jepang segera melakukan daur ulang baja bekas dari industri otomotifnya dan diprediksi di tahun 2050 Jepang tidak memerlukan bahan baku baja baru lagi.
Industri mobil atau otomotif hanya salah satu contoh saja. Industri lain seperti pesawat terbang, kapal laut, kereta api, peti kemas dan tentu saja konstruksi juga akan melakukan hal yang sama. Penggunaan logam bekas oleh semakin banyak industri, akan membantu lingkungan dengan berkurangnya kebutuhan SDA pertambangan yang semakin langka.
Perkembangan teknologi pengolahan logam bekas yang terus berkembang tentu akan menjanjikan output yang lebih berkualitas. Ambil contoh besi baja yang katanya memiliki tingkatan hingga ribuan jumlahnya, tentu karena campur tangan riset dan teknologi yang terus berkembang. Dan katanya, baja yang ada saat ini memiliki bobot tiga kali lebih ringan dari jenis baja yang diproduksi 20 tahun yang lalu. Mungkin salah satunya, seperti yang kita kenal sekarang ada istilah baja ringan.
Perabotan tangga yang terbuat dari logam, rasanya banyak yang terbuat dari logam daur ulang. Misalnya plat-plat yang membentuk kulkas atau mesin cuci. Penggunaan logam bekas untuk furniture tanpa proses peleburan juga cukup banyak. Mungkin ini bisa disebut reuse atau upcycle. Besi-besi tua menjadi kaki meja, digunakan sebagai teraslis, lampu dan sebagainya.
Walaupun sudah banyak yang memanfaatkan logam daur ulang dalan produk prabot rumah tangga, namun belum ada perusahaan yang secara terbuka menggunakan isu daur ulang itu sebaga bahan kampanye penjualan produknya. Misalnya, mesin cuci dengan teknologi terbaru, hemat listrik, hemat air dan terbuat dari besi bekas.
Sekarang ini sudah banyak seniman, yang secara sadar mengusung daur ulang dalam karyanya. Misalnya karya menggunakan limbah plastik, karya menggunakan botol bekas, atau karya instalasi menggunakan besi bekas potongan-potongan sepeda motor.
Bertahun-tahun yang lalu, rasanya saya pernah membaca berita, seorang seniman Indonesia yang memproduksi karya-karyanya dari barang bekas, mengalami kesulitan memasukan kembali karyanya ke Indonesia setelah pulang dari pameran di Singapura. Karena di pelabuhan, benda-benda itu hanya dianggap barang rongsokan.
Karya artistik logam daur ulang yang paling menarik perhatian adalah ketika logam bekas bukan perak atau emas, dibuat menjadi perhiasan seperti anting, gelang, bros, kalung atau medali.
Penting untuk dicatat seberapa besar penghematan yang ada untuk lingkungan kita. Industri logam bekas dipercaya membutuhkan konsumsi energy yang lebih kecil, karena pengolahan logam bekas, misalnya aluminium bisa dilebur dengan suhu yang lebih rendah dibandingkan proses menggunakan aluminium murni. Hal ini tentu saja tidak hanya menghemat energi tetapi juga mengurangi emisi gas berbahaya.
Yang paling mudah dilihat adalah, dengan mendaur ulang besi tua, akhirnya mengurangi tumpukan rongsokan di sudut-sudut rumah dan tong sampah.
Karena industri daur ulang logam terus berkembang, saya yakin akan ada lebih banyak lagi kegunaan yang ditemukan untuk besi tua di masa depan. Daur ulang adalah hal yang cerdas untuk dilakukan.
Mendengarkan dongeng sebelum tidur menjadi pengalaman sepiritual saya dari masa kanak-kanak, dan menjadi rekaman penting dalam perjalanan hidup saya hingga saat ini. Malam-malam musim liburan sekolah di rumah Kumpi (Ibu dari Nenek), adalah malam-malam penuh kisah-kisah ajaib yang diceritakan olehnya. Setelah menghabiskan makan malam di bawah lampu minyak, saya bersama beberapa sepupu yang tinggal satu natah dengan Kumpi, berkumpul di Jineng. Namun, sebelum dongeng pengantar tidur kami diceritakan malam itu, kami harus memijat kaki dan tangan Kumpi. Ada empat cucu yang setiap malam mendapat giliran mengerubutinya. Masing-masing mendapat bagian memijat sebelah tangan atau kaki. Demikianlah setiap malam sepanjang musim liburan sekolah.
Gaya penceritaan Kumpi selalu memikat dan melekat di ingatan. Kadang lucu, kadang sedih, kadang kala juga mengejutkan. Kumpi seringkali menyisipkan tembang, peparikan ataupun cecimpedan yang menguatkan cerita, yang sering masih teringat dan kami ucapkan atau yanyikan ketika bermain keesokan harinya.
Setelah bertahun-tahun kemudian, ketika Kumpi sudah menjadi Dewa Pitara. Dadong dan Kiang juga sudah pulang ke Gumi Wayah. Dan rumah Kumpi kini sudah tidak ditempati lagi, dongeng pengantar tidur masa kecil itu masih melekat dalam ingatan. Masing-masing dari cucu-cucu Kumpi memiliki favorit ingatannya sendiri. Ada yang menyukai dongeng Men Sepur, Pan Cubling, Sang Landean atau I Siap Selem. Namun yang ada di urutan pertama tetap Pan Balang Tamak yang pandir, lucu dan satir, serta dongeng Cupak Grantang yang begitu epik.
Marilah saya tuliskan sebuah dongeng sebelum tidur yang masih saya ingat. Di sini saya tulis ulang dongeng dalam verisi bahasa Indonesia. Sementara dongeng Kumpi, semuanya dituturkan dalam bahasa Bali. Alih bahasa cerita dan memindahkan dari bahasa tutur ke bahasa tulisan, yang paling mengkhawatirkan rasanya adalah menerjemahkan kelucuan, dengan akar yang berbeda dan tentunya ekspresi bunyi yang juga berbeda. Saya kira juga, ketika membacakan dongeng, sangat penting melakukan improvisasi pada pilihan kata atau peristiwa yang lebih dekat dengan pendengar. Misalnya anak-anak, hendaknya disesuaikan dengan usianya. Adapun lokasi kejadian, bisa disesuaikan dengan alam dan nama-nama tempat di sekitar kita, atau yang dikenal oleh pendengar.
Dongeng I Kakul lan I Kidang yang paling pertama muncul diingatan. Kemudian saya tulis dengan cukup singkat varsi saya. Yang mungkin berbeda dengan versi yang pernah kalian dengar atau baca ditempat lain. Semoga berkenan.
Di sebuah sungai yang melintasi hutang belantara, hiduplah I Kakul, seekor keong hitam, bersama keluarga besar yang jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan, berumah di antara batu-batu di sepanjang sungai itu.
Baca selengkapnya di mipmap.id/dongeng
Dalam catatan benak saya, Covid-19 yang merebak di Indonesia awal tahun 2020 menjadi hantaman paling telak bagi sektor pariwisata Bali, setelah kejadian bom tahun 2002 yang menelan korban jiwa 202 orang. Btw, saya tidak akan membahas fenomena angka 2 dan 0.
Namun demikian situasinya, di tahun 2021, usaha wisata masih menjadi impian besar. Sebuah gambaran indah untuk meraup untung dari upaya memenuhi hasrat berlibur, melepas penat dari rutinitas, menikmati keindahan alam, menambah pengetahuan atau sekedar piknik keluarga dan swafoto dari para pelancong.
Saat usaha wisata terjatuh ke titik bawah, beberapa titik daya tarik wisata malah terus dikembangkan oleh Pokdarwis di Kabupaten Jembrana. Sebut saja kawasan Karang Impian yang mulai aktif, Munduk Nangka yang cukup ramai dikunjungi, Belimbing Sari, Ambenan Ijogading Loloan Timur, Pokdarwis Gumrih juga menggeliat, wisata mangrove di Prancak dan Budeng juga mulai berpromosi di tahun 2020.
Kelompok sadar wisata atau Pokdarwis, terdengar aneh di telinga Ibu saya. Setelah obrolan sore bersama beberapa kawan, dia bertanya. "Siapa itu Pak Darwis, kenapa ngobrolnya tentang Pak Darwis dan Pak Merkus?" Hem, mau ngakak takut dosa, karena katanya surga ada di bawah telapak kaki Ibu.
Pak Darwis hanya fenomena salah dengar sebagai kosakata baru bagi Ibu saya. Namun pak Merkus, adalah fenomena yang terkait hutan, sawah dan petani di desa kami. Tapi maaf saya akan bahas tentang Pak Merkus lain kali saja.
Kembali ke Pokdarwis. Karena obrolan sore itu, saya ikut sadar karena ada kesadaran baru tentang wisata, dan ada kesediaan untuk berdiskusi, menumpahkan gagasan dan mimpi.
Pada dasarnya Pokdarwis dibentuk dan dijalankan sebagai penyangga aktivitas kewisataan yang ada di sebuah desa atau kawasan. Pokdarwis menjadi gerakan swakarsa yang diharapkan dapat menjamin kesadaran masyarakat akan keutuhan destinasi dan usaha-usaha wisata di kawasan tersebut, yang mengacu pada konsep sapta pesona.
Lalu bagaimana jika kesadaran Pokdarwis muncul di desa yang belum memiliki objek daya tarik wisata? Maka kelompok yang menghimpun diri akan menjadi pembuka jalan menuju kemunculan sebuah daya tarik wisata. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana impian dapat terjadi dan menapak ke tanah, bukan menjadi impian yang melayang di awang-awang dengan ingin menciptakan Ubud baru, Kuta yang lain, Tegalalang yang baru atau dan atau.
Kalau kita lihat; Kuta, Ubud, Tegalalang, awalnya hadir seperti apa adanya, hingga kapital mengupgrade mereka menjadi seperti sekarang dengan segala perhiasan dan lipstiknya yang membuat kecantikan aslinya tergerus; atau mereka memang mulai menua.
Dengan membaca kebutuhan wisata adalah lebih utama untuk memenuhi hasrat kesenangan, maka sesuatu yang menua dan membosankan akan segera ditinggalkan. Saya rasa kita butuh gerakan membangun wisata anti-aging, agar gerakan Pokdarwis baru, nantinya akan terhindar dari penuaan dini dan terjadinya ejakulasi dini yang membuat semangat mereka letoi di tengah jalan.
Pokdarwis di Jembrana hadir untuk memberikan solusi bagi pengembangan potensi desa secara mandiri, sekaligus sebagai jawaban atas kesadaran dan kebutuhan berwisata dari masyarakat lokal.
Perlu disadari pula bahwa kebutuhan berwisata adalah kebutuhan tersier, yang artinya merupakan keputusan ke sekian dari berbagai hal yang harus diputuskan terlebih dahulu. Misalnya antara mencoba mengendarai ATV dibandingkan beli beras.
Pembangunan sektor wisata hendaknya memikirkan tingkat kebutuhan masyarakat yang penting, lebih penting, sangat penting dan mendesak. Jangan sampai membangun ketika ada janji pundi-pundi dari wisata. Menjaga kebersihan hanya karena agar wisatawan terhibur, jalan baru diperbaiki ketika ada investor buka sarana wisata, eksploitasi seni dan budaya hanya untuk wisata.
Setelah program sadar wisata, perlu dikembangkan program wisata sadar; baik itu oleh pemangku kebijakan, pemerintah desa dan masyarakat. Kembangkanlah sadar merawat pertanian, sadar memelihara hutan, sadar kebersihan dan kesehatan lingkungan, sadar melakoni seni dan budaya serta sadar-sadar lainnya, yang bukan hanya selogan kampanye belaka.
Sebagai contoh; ketika kesadaran memelihara hutan terjadi maka air kita terjaga, pertanian terairi, pangan kita aman, anak kita bisa sekolah, dan hutan lestari akan menjadi kawasan wisata yang menarik; mulai dari penjelajahan alam, kemping, pengamatan satwa, permainan luar ruang dan sebagainya.
Sadar bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk diri kita, maka kita akan senang dan aura positif akan menyebar, sehingga orang akan datang untuk bersenang-senang bersama kita. Itulah wisata.
Orang tuaku pindah ke rumah kami yang sekarang saat umurku baru tiga tahun jalan, sehingga ingatan yang kupunya hanya potongan-potongan yang acak. Kelebat bayang aku kecil yang jatuh terpeleset di ruang tunggu bidan saat diajak Ibuku memeriksakan kandungan, kemeriahan pergi melasti dan mendapat hadiah gula kapas, jatuh ke dalam sungai saat melintas di jembatan bambu dan yang membuatku ingin menulis tentang rumah adalah ingatan tentang sumur.
Saat baru pindah, kami tidak memiliki sumur. Untuk pemenuhan kebutuhan air bersih konsumsi, kami mengambil air dari sumur milik tetangga. Ibuku memilih beberapa rumah tetangga yang dikunjungi secara bergiliran, dengan kriteria; terdekat, sumur tidak terlalu dalam dan tidak ada anjing galak. Sedangkan untuk mandi dan mencuci, kami memilih sumur yang ada di tengah sawah yang juga menjadi titik temu belasan orang tetangga, terutama saat waktu mandi sore.
Menurut cerita, sumur itu dibangun oleh orang proyek yang mengerjakan salurun irigasi bendungan Palasari yang melintasi desa kami. Saat sudah bersekolah, selain mandi sore di lokasi sumur itu, kami juga membawa masing-masing satu ember air untuk kebutuhan mandi pagi sebelum berangkat ke sekolah. Tentu saja selain Ibuku, karena setelah selesai memasak setiap pagi, dia akan pergi ke sumur untuk mencuci dan mandi.
Pada musim kemarau panjang, seringkali semua sumur di sekitar rumah kami akan kekeringan sehingga kami akan meminta air ke sumur yang ada di Pura Taman, yang juga terletak di tengah persawahan. Menurutku sumur di pura itu ajaib, karena sepengetahuanku sumur itu tidak pernah kering dan ketinggian airnya sangat stabil seberapapun kemarau melanda. Tentu saja kami tidak mandi dan mencuci di sana, hanya mengambil air dan dibawa pulang.
Kira-kira di akhir tahun 80, kami memiliki sumur. Aku yakin Ayahku yang guru sekolah dasar kala itu, menabung cukup rajin untuk kemudian bisa membayar tukang gali sumur. Sumur milik kami termasuk paling dalam dibandingkan dengan sumur-sumur milik tetangga, apalagi dengan sumur yang ada di tengah sawah. Kedalaman sumur kami sebelas depa untuk mendapatkan air yang stabil. Proses penggalian yang memakan waktu dan begitu dalam, kelihatannya membuat Ibuku khawatir sehingga berkaul memotong ayam jago dan membuat cendol daluman kalau penggali sumur mulai menemukan air.
Sebagai anak kecil, aku lebih bahagia karena makan kuah ayam dan minum cendol daluman dibandingkan merayakan fakta bahwa sumur sudah ada airnya. Sumur kami yang begitu dalam, menjadi penyesalan kecil bagi Ayauhku karena memindahkan titik sumur beberapa meter ke arah barat daya dari yang seharusnya.
Menurut Ayah, sebelumnya dia sudah meminta petunjuk pada orang pintar yang memberi titik sumur persis di pohon belimbing, tapi Ayahku sayang pada pohon belimbing itu. Misterius, bagaimana kakek itu tau tentang pohon belimbing itu, padahal dia belum pernah ke rumah kami? Dan menurut para penggali sumur, sumber air di dalam sumur kami asalnya dari arah timur laut, persis arah pohon belimbing itu.
Bertahun-tahun kami bahagia memiliki sumur itu. Bergiliran menimba air untuk mengisi bak mandi dan gentong di dapur adalah rutinitas yang menyenangkan awalnya, tapi kemudian terasa menyebalkan. Setelah itu aku mulai menyadari kekhawatiran Ibuku saat penggalian sumur begitu dalam dan memilih mengambil air di sumur dangkal milik tetangga ketika itu.
Sumpah, bagiku yang waktu itu belum genap sepuluh tahun, menimba air dari kedalaman sebelas depa, sangat menguras tenaga dan emosi. Itu sebabnya, dimusim hujan, aku dan kakakku sering memilih mandi di saluran irigasi yang kami anggap lebih mudah dan menyenangkan, tapi menjadi tidak menyenangkan kalau kepergok Ayah kami karena kami tetap harus mandi lagi dan menimba lagi, karena dianggap mandi tidak bersih dan berenang dengan bebek. Ibuku juga sering mencuci di saluran irigasi, tentu untuk alasan menimba air yang melelahkan.
Pada awal tahun 2000, PAM (Perusahaan Air Minum) mulai memasang pipa di depan rumah kami dan tentu saja Ayahku mendapat tawaran untuk memasang air PAM. Aku senyum-senyum dalam hati mengingat pikiran masa kecilku yang menganggap punya keran itu keren, seperti yang sesekali aku nikmati saat berkunjung ke rumah paman yang tinggal di pinggir jalan raya Denpasar-Gilimanuk.
Ayahku baru memasang air PAM dua tahun kemudian, sebagai hadiah bagi Ibuku yang telah tegar menghadapi proses operasi tumor yang menjangkiti kandungannya. Dengan mengucurnya air dari keran, sangat memudahkan aktivitas Ibuku pada tahun-tahun pertama paska operasi yang tentu tidak sanggup jika harus menimba air dari sumur, sementara kami anak-anaknya yang sudah keluar dari rumah untuk sekolah dan bekerja tidak bisa membantunya.
Sudah dua minggu aku tinggal di rumah ini lagi, untuk memenuhi anjuran pemerintah mengisolasi diri karena kasus virus covid-19 yang mewabah di penjuru dunia, termasuk Indonesia. Dua minggu, waktu tinggal terpanjang semenjak lepas sekolah dan mulai bekerja, waktu yang panjang untuk membuat otak terbengong-bengong dan mulai mengulik apa-apa yang selama ini tidak pernah terpikirkan, detail yang tidak penting mulai terasa penting, seperti halnya sumur dan air PAM.
Sejak sumur-sumur digali di setiap rumah, sumur ditengah sawah tidak lagi digunakan walau tetap setia menampung air. Sejak air disalurkan melalui pipa-pipa kemudian begitu mudah mengucur dari keran, sumur di rumah-rumah mulai dilupakan walau tetap setia dengan misteri dikedalamannya. Sejak air tinggal klecek di keran, rasanya mewah penuh kemanjaan. Tidak ada lagi air yang diangkut dengan ember, tidak ada lagi ember yang dikerek kepermukaan dari kegelapan perut bumi.
Setelah merasakan kemewahan dan kemanjaan, rasanya mulai muncul sikap kurang ajar. Makian ketika air keran mati beberapa jam, atau ketika mati beberapa hari maka sumpah serapah akan ditujuakan pada perusahana-perusahaan yang mengelola pipa-pipa itu.
Saya merasa mewah, merasa dimanjakan dan juga mulai kurang ajar, tanpa pernah peduli atau sekedar bertanya siapakah yang merawat sumber-sumber air yang diangkut dengan pipa-pipa itu ke rumah dan mengucur tiap saat ketika keran dibuka? Saya jadi ingat ungkapan seorang petani ketika pipa-pipa dipasang dari mata air di hulu sungai desa kami menuju rumah-rumah penduduk, “Gendok bek, pulu puyung”. Gentong air penuh, gentong beras kosong.
Dumuat di tatkala dot co (28/3/2020)
Di masa sibuk dengan pekerjaan, meeting, tugas; kata #DiRumahAja seperti janji surga, too good to be true. Di rumah aja dengan tetap dibayar, tetap ada piutang proyek yang sudah diinvoice, bisa ngumpul-ngumpul dan ngerumpi sebebasnya, mau jalan kemana aja ayo; itulah surganya. Beda dong dengan di rumah aja versi saat ini dalam masa pandemi covid 19.
Sudah cukup panjang rasanya slogan di rumah aja atau work from home (WFH) terdengar dan disodok-sodok di media sosial dan media publik agar dilakukan oleh semua orang. Ditambah dengan ajakan untuk tetap produktif, berkarya, melakukan sesuatu yang positif saat status 'positif' dihindari. Produktif dalam kesunyian, yang sering dianggap suasana terbaik untuk mencapai titik meditatif agar ide-ide segar muncul. Selama ini, banyak orang yang ingin mendapat ide brilian kadang butuh tempat sepi, menepi ke villa-villa sunyi, memuja kesendirian, termenung bersama berlinting-linting tembakau; tapi ternyata kita takut juga dengan kesunyian yang ramai dan berkepanjangan ini.
Saya yakin tidak ada satupun dari kita bisa berhari-hari hanya berdiam diri, hanya melakukan hal impian ini; bangun tidur, makan dulu, tidur lagi. Demikian juga dengan banyak teman saya, baik yang saya kenal dan sering bertemu langsung ataupun yang saya kenal tapi lebih sering berinteraksi jarak jauh melalui media sosial. Mereka mencari cara untuk melakukan sesuatu dengan perangkat digital dan jaringan internet, untuk dapat melakukan kesenangan mereka.
Bligungyudha di Denpasar membuat musik, Komunitas Mahima Buleleng mendongeng di Facebook, Komunitas Kertas Budaya Jembrana mebuat pentas baca puisi di Facebook, dan banyak lagi yang berbuat melalui berbagai kanal siaran langsung di Instagram, diskusi dengan aplikasi skype atau zoom. Sayangnya saya tidak selalu bisa menikmatinya karena keterbatasan quota internet. Oh ya, saya adalah gambaran masyarakat luar kota dengan keterbatasan akses internet, termasuk sebagai orang tua dengan anak yang belajar di rumah. Maaf, ini bukan keluhan agar dikasi bansos internet gratis, cuma harapan saja. Dengan keterbatasan, saya juga berusaha produktif di kancah online, dengan tetap menulis di blog dan meluncurkan kanal podcast.
Diluar dunia online ini atau dunia yang tidak teronlinekan atau tidak mengonlinekan diri, masyarakat masih tetap produktif pada bidang-bidang profesi atau minat masing-masing. Ada yang tetap bisa beraktivitas rutin seperti sediakala, ada juga yang mencoba aktivitas baru karena telah meninggalkan aktivitas atau pekerjaan sebelumnya.
Slogan jaga jarak sesungguhnya sudah populer dan disadari dapat menghindarkan kita dari kejadian buruk, kecelakaan. Terutama di jalan tanjakan karena banyak truk kadang gagal pindah gigi dan tiba-tiba mundur. Terlindaslah kau jika tidak jaga jarak. Ancaman terlindas truk boleh jadi gambaran bagaimana covid-19 akan menjangkiti kita, jika tiba-tiba orang di dekat kita adalah orang positif. Tetap jaga jarak ya.
Kembali kepada teman-teman saya, Bligungyudha. Mahima dan Kertas Budaya saya ceritakan kemudian.
Bligungyudha adalah nama akun Instagram dari Agung Yudha, seoarang kawan lama sekali yang saya kenal sejak beliau masih SMA di SMAN 3 Denpasar, tapi jangan kira saya anak Trisma. Gung Yudha, baru saja mempublikasikan Rehat, single perdana saat pandemi dengan mengusung brand Bligungyudha sebagai solois, terlepas dari brand MR HIT sebagai sebuah band.
Dalam pengantar rilis singlenya, Gung Yudha mengungkapkan Rehat adalah hasil work from home selama 11 hari, dari pengerjaan materi musik dan lirik, hingga disebarluaskan pada tanggal 1 April 2020.
“Rehat adalah sebuah refleksi kita sebagai manusia kepada Bumi tempat kita hidup. Dari awal peradaban manusia berkembang hingga saat ini kita menghadapi wabah. Itu benar adanya. Namun pada akhirnya, hal – hal yang kita lakukan sekarang untuk bisa bertahan hidup juga memberikan kesempatan bagi Bumi untuk bernafas. Selain itu, saat ini kita melihat semua manusia di seluruh dunia bahu membahu dalam menghadapi krisis. Kita juga lebih peduli dengan kesehatan. Dengan pembatasan diri keluar dari rumah, polusi juga menurun dan kualitas udara membaik,” tutur Gung Yudha.
Kalau kalian nati sempat menyimak single Rehat, ada mode paduan suara dalam reffnya, yang direkam dengan ponsel masing – masing oleh Dewa Aditya, Wida Yuniati, Wayan Rya, Leo Ibel, Wiramartha dan Anik Widi. Untuk Artwork, Bli Gung Yudha juga menggandeng secara physical distancing Adit Onox untuk goresan penanya dan Oka Rama sebagai background lukisannya. Semua hasil kerja dikirimkan melalui ponsel, untuk kemudian dimixing dan melahirkan Rehat.
Seperti perut lapar yang ingin makan, Komunitas Mahima di Buleleng dan Kertas Budaya di Negara - Jembrana, kelihatannya juga kelaparan. Mereka mengobati kelaparan mereka dengan melakukan pementasan online yang kita bisa lihat langsung dan nikmati dengan mata kepala sendiri siapa yang tampil, walaupun tetap ada orang di belakang layar yang tidak terlihat, yang membuat peristiwa itu terjadi.
Dalam akun facebooknya, Sonia Piscayanti sebagai salah satu pengasuh Komunitas Mahima menulis, Komunitas Mahima meluncurkan gerakan Mahima Mendongeng untuk mengisi kegiatan belajar di rumah bagi anak anak. Ide ini dilemparkan seorang sahabat I Putu Arya Wiguna yang juga penggiat literasi. Hal ini agar anak anak mendapat asupan tontonan yang lebih variatif dan bergizi. Para pendongeng boleh siapa saja yang berminat mendongeng dan disiarkan live di Facebook. Silakan para pendongeng boleh mendaftar. Semua gratis tidak berbayar.
Dari pantauan saya di Facebook, Mahima Mendongeng Live setiap pukul 16:00 Wita, melalui akun Facebook pribadi pendongeng dari rumah masing-masing. Pendongeng yang sudah tampil diantaranya Cok Sawitri, Made Sugianto, Adnyana Ole dan Juli Wirahmini.
Berbeda dengan Komunitas Mahima yang secara teknis memilih untuk live atau siaran langsung, Kertas Budaya melakukannya dengan teknik rekaman di rumah masing-masing dan dikumpulkan untuk dipiblikasikan melalui satu akun yaitu akun Facebook pentolannya Wayan Udiana alias Nanoq Da Kansas.
Dalam pengantar publikasi rekaman baca puisi di akun facebooknya, Nanoq menulis, Anak-anak Komunitas Kertas Budaya baca puisi di rumah masing-masing. Sudah satu bulan kami tak pernah kumpul. Tapi masih tetap seperti biasa.
Tampil membacakan puisi dalam pentas di rumah masing-masing ini adalah Sartika Handayani, Della Bianchi, Kanahaya Elang Rafel Mahardika, Kade Yuli dan Mirah Krisnadevi.
Situasi yang membuat kalang kabut, bukan hanya masyarakat, dunia kerja dan industri, tapi juga pemerintah, hingga keputusan terbaru adalah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Semoga pandemi ini segera berlalu dan kita tetap sehat dan produktif.
Saya akhiri tulisan ini dengan mengutip lirik lagu Rehat, sebuah single Bligungyudha yang bisa disimak di atau kanal lain kesukaan anda.
[•••]
Keramaian dibatalkan
Para pemimpin mencari kesepakatan
Rapat di dunia maya
Penentuan nasib rakyat jelata
Puja bakti dalam hati
Rangkai harap dalam diri yang menyepi
Peradaban yang beristirahat
Manusia yang mencoba bersahabat
Kapankah kita akan kembali sehat
Atau bumi diberi kesempatan rehat
oleh Edo Wulia
Mengacu sejarahnya, film pendek menjadi format yang paling tidak pantas disematkan sebagai film indie. Karena film pendek adalah format yang mengawali sejarah film itu sendiri. Pada masa awal ini, sebuah film umumnya diproduksi menggunakan 1 reel film. Karena kondisi teknis ini, panjang sebuah tayangan film hanya sekitar 12 menit atau lebih pendek. Nama yang disematkan saat itu Motion Picture, atau diterjemahkan bebas sebagai Gambar Bergerak.
Terminologi indie film muncul pertama kali justru ketika sekelompok seniman mulai mencoba memproduksi film yang lebih panjang, dengan bereksperimen menggunakan lebih dari 1 reel film. Produksi film yang menggunakan lebih dari 1 reel ini dianggap keluar dari standar dan disebut produksi independen. Karena cara ini dianggap keluar dari yang umum.
Definisi 'film indie' ikut berkembang bersama sejarah film di Amerika. Lebih dipertegas lagi pada masa keemasan Hollywood pada era tahun 30 sampai 60an, dalam monopoli sistem studio yang mendunia. Batas yang membedakan produksi studio dan produksi indie sangat jelas, baik dari standard produksi, pendanaan sampai bentuk distribusinya.
Namun, ketika keruntuhan sistem studio di Hollywood pada era 60-70an, semua karya film akhirnya mengadaptasi pola produksi dan distribusi indie, karena lebih bebas dan ekspresif, dan lebih dinamis menghadapi perubahan jaman. Standar yang dulu dibuat oleh sistem studio mulai dianggap kuno atau klasik, dan perlahan ditinggalkan dan hilang. Sehingga sejak masa ini istilah film indie atau film independent dianggap tidak relevan lagi digunakan dalam industri film yang terus berkembang dinamis. Secara sederhana, karena semua sudah mengadaptasi konsep 'indie' dalam produksi dan distribusi mereka, sehingga standar yang membedakan sudah tidak ada lagi.
Yang tersisa sekarang hanyalah romantisme tentang masa itu dan kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa media untuk tujuan promosi. Mungkin bisa membandingkan hal ini sebagai slogan merdeka di negara yang sudah merdeka.
Di Indonesia, terminologi 'indie' muncul dan populer di era 90-an dari gerakan di industri musik. Ini ketika kemajuan teknologi memungkinkan musisi-musisi di Indonesia merekam musik mereka sendiri, dan tidak lagi tergantung pada studio rekaman besar. Kondisi ini berkaitan dengan kemajuan teknologi peralatan portabel, digitalisasi dan komputerisasi yang terjadi. Studio rekam rumahan tumbuh di mana-mana.
Produksi film secara global juga semakin murah dan terjangkau. Di Indonesia ini jelas terlihat di masa reformasi sampai awal 2000. Kembali lagi karena teknologi komputer yang sudah semakin baik untuk keperluan ini. Kemudian istilah 'film indie' disematkan begitu saja pada film-film yang diproduksi pada masa ini. Alasannya, karena produksinya dilakukan di studio rumahan, pola yang sama seperti yang dilakukan band indie. Kedengaran juga keren.
Namun karena minimnya informasi tentang sejarah film dunia, karya-karya film ini juga sebagian besar berkualitas rendah. Sehingga, penamaan film indie di Indonesia juga seperti minta permakluman pada pencapaian kualitas ini. Dan lebih jauh lagi di Indonesia tidak memiliki kaitan apapun dengan sejarah film dunia atau keruntuhan sistem studio di Amerika.
Ini menciptakan salah kaprah selanjutnya. Kebanyakan yang diproduksi pada masa ini adalah film pendek. Alhasil, karya-karya inilah yang disebut film indie. Dalam imajinasi mereka, perbedaan film indie dan film komersil yang diproyeksikan di bioskop-bioskop hanya spiritnya saja. Sebuah spirit independen! Di sisi lain, mereka seperti melemahkan kesadaran pada perbedaan format pendek dalam penyampaian berceritanya. Kekuatan masing-masing dan perbedaan bentuk bercerita film pendek dan film panjang komersil, lepas dari fokus perhatian yang seharusnya.
Ini juga terjadi karena berbagai kondisi yang tumpang-tindih; kurangnya literasi film termasuk sejarahnya, semakin terjangkaunya teknologi dan peralatan untuk memproduksi film, serta kondisi pembajakan software di Indonesia. Tentu saja masih banyak lagi.
Kombinasi dari situasi-situasi ini menghasilkan film-film pendek dengan kualitas teknis yang baik, gambar yang bagus, namun kehilangan nilai-nilainya sebagai sebuah literatur pendek yang memiliki sejarah dan tradisi yang panjang.
Akibatnya, banyak film pendek 'karya anak bangsa', sebuah jargon yang sering dielu-elukan di Indonesia, berfokus pada semangat 'indie' tanpa wawasan literasi tentang semangat ini. Akhirnya juga tanpa kesadaran tentang format bercerita pendek. Sering terjadi, film indie yang mengadaptasi gaya tayangan bioskop atau tayangan televisi, tapi disingkat-singkat dengan dipercepat atau dipotong. Seperti sebuah film panjang yang dipendekkan.
Film pendek tidak sepantasnya disebut film indie. Mengabaikan hal ini telah menghasilkan dampak yang tidak produktif. Mungkin sebagian orang memang merasa 'film indie' terdengar lebih keren dari pada film pendek. Tapi benarkah begitu?
1995, selepas SMP saya meninggalkan Desa Tukadaya untuk bersekolah di STM Negeri di kota Singaraja. Tiga tahun di Buleleng saya gagal mendapatkan ijasah STM, kemudian pulang untuk selanjutnya mengadu nasib berbekal ijasah SMK, ke Gumi Badung dan Denpasar hingga tahun 2020 sekarang ini, dan mungkin serialnya masih bersambung. Itu artinya saya hanya menghabiskan hidup saya selama 15 tahun menetap di Desa Tukadaya sejak umur 0. Dalam kurun 25 tahun terakhir, saya hanya pulang ke Tukadaya untuk berbagai urusan kependudukan, adat dan keluarga, dengan waktu tinggal rata-rata menginap 2 – 4 malam saja.
Banyak perubahan di Tukadaya yang tidak saya sadari, atau mungkin saya sedang tidak punya kepentingan untuk mencari tau. Misalnya tentang banjar yang dulu saya hafalkan berdasarkan lokasi Sekolah Dasar (SD). Ada lima banjar dan lima SD di Desa Tukadaya; SDN 1 di Banjar Munduk Ranti, SDN 2 di Banjar Sarikuning, SDN 3 di Banjar Berawantangi, SDN 4 di Banjar Sombang dan SDN 5 di Banjar Pangkung Jajang. Namun ternyata dari lima banjar, sekarang telah menjadi delapan Banjar Dinas.
Banjar Berawantangi, saya tau prosesnya ketika menjadi dua banjar; Banjar Berawantangi dan Banjar Berawantangi Taman, karena alamat KTP saya ada di banjar tersebut. Banjar lain yang dimekarkan adalah Banjar Sombang menjadi Banjar Sombang dan Banjar Kembangsari, Banjar Sarikuning mekar menjadi Banjar Sarikuning dan Banjar Sarikuning Tulungagung. Nama asli dari banjar-banjar tersebut masih tetap dipertahankan.
Berbicara nama, Tukadaya sesungguhnya terdiri dari dua kata; Tukad dan Aya, yang diambil dari nama sungai yang membatasi sebagian wilayah Desa Tukadaya dengan desa di sisi timur dan selatan. Tukad berarti sungai, Aya berarti besar atau bukan main. Tukad Aya sebagai sungai adalah sungai besar, yang merupakan kesatuan dari beberapa sungai, dengan cerita keganasannya ketika mengalami banjir bandang di musim hujan. Sungguh, ini hanya otak-atik cocoklogi saya saja, karena tidak pernah mendengar mengenai sejarah nama maupun bagaimana Desa Tukadaya ini terbentuk. Pun jika belum tertulis, semoga suatu hari terlahir buku yang menuliskan sejarah Desa Tukadaya.
Ditarik ke jaman sekarang, tahun 2020 yang katanya sudah ada di jaman 4.0, saya melakukan pencarian menggunakan google. Saya menggunakan kata kunci Tukadaya, Sejarah Tukadaya, Desa Tukadaya, Kerajinan Tukadaya dan Seni Tukadaya; namun tidak menemukan artikel yang terlalu menarik, selain dari portal-portal berita lokal yang menjadi basi ketika momennya sudah lewat. Sialnya, ketika mengetik kata kunci Seni Tukadaya, kemunculan informasi dari Desa Tukadaya tertutupi oleh artikel mengenai kesenian dari Desa Dangin Tukadaya.
Dari situasi tersebut, perlahan saya mundur dari dunia online, karena ingat cerita seseorang yang berusaha meretas jaringan komputer sebuah kantor polisi untuk menghapus data penangkapan kawan mereka, namun gagal total karena semua file kantor polisi tersebut tidak online, alias masih di atas kertas menggunakan mesin ketik. Saya kemudian mengingat-ingat dan mulai bertemu beberapa orang kawan dan tetangga, bicara-bicara kangin-kauh. Dari beberapa obrolan, saya kemudian tau, ada beberapa sekaha dan pengerajin rindik yang sangat aktif dan produktif, beberapa sekaha jegog yang mati suri, ada pengerajin ingka, ada pembuat kripik, banyak peminat sekar alit hingga sekar agung yang bertalenta dan informasi lain sebagainya. Mereka tidak online, walau ada satu-dua yang muncul alamatnya jika dicari di google map.
Pertanyaannya kemudian, perlukah mereka media online, perlukah mereka dionlinkan? Menurut saya, memang tidak perlu dipaksakan, toh mereka bertumbuh dengan alami. Tapi di sisi lain, paling tidak ada yang bersedia menulis tentang talenta dan produk mereka dengan baik, agar tercatat dalam sejarah, yang mungkin tidak akan menjadi bagian kurikulum pelajaran sejarah manapun, tetapi tercatat bahwa mereka ada dan hidup, aktif dan produktif. Memang tidak bisa dipungkiri, di jaman ketika orang mencari sesuatu sekarang lebih suka menggunakan media internet, maka kitapun harus masuk ke dunia itu jika ingin ditemukan, tercatat secara online jika ingin dikenal, terutama oleh orang di luar lingkungan pergaulan offline kita (face to face).
Kondisi ini saya kira dialami juga oleh desa lain, yang bukan objek berita, objek wisata atau objek penelitian yang menarik. Desa-desa yang tidak punya kontribusi besar pada sejarah Bali, Pariwisata Bali, mungkin juga APBD Bali, hanya akan tercatat di website badan statistik, dinas kependudukan dan wikipedia. Maaf, jika kelihatannya saya mulai mengeluh. Tapi begini, saya ingin menulis sesuatu tentang desa saya, dan saya menantang siapapun yang bersedia untuk balapan menulis sesuatu tentang desanya, ayo menulis. Maksudnya agar saya tetap semangat menulis, karena ada tamannya.
Televisi, benda ini selalu membuat kagum dan merangsang imajinasi masa kecil. Banyak tokoh idola muncul dan berlaga di dalamnya. Satria Baja Hitam, Sailormoon, hingga Jackie Chan tampil gegap gempita. Hal ini membuat rasa penasaran muncul semasa kanak-kanak, kekuatan super macam apa yang bisa mengirim Kesatria Baja Hitam dapat muncul setiap sore ke dalam kotak kecil bercahaya di pojok ruang tamu.
Rasa penasaran tersebut mengendap dan terbawa hingga remaja. Ketertarikan dengan audio visual terlebih broadcast mulai terlihat saat menginjak SMA. Saya lebih tertarik menggambar ‘Jimmi Jib’ (semacam crane untuk membuat pergerakan kamera dinamis) di buku catatan kimia ketimbang menulis rumus senyawa. Pun saya lebih tertarik membahas kemunculan ‘Bali TV’, TV swasta lokal Bali pertama ketimbang membahas helm ‘INK’ yang sedang nge-trend di kalangan SMA pada massa itu.
Rasa penasaran dan afirmasi yang tinggi membawa saya akhirnya bekerja di industri televisi. Banyak hal yang saya dapat dari bekerja beberapa tahun di industri ini. Bertemu orang-orang terkenal, jalan ke tempat yang tak terpikirkan, prestige, gampang ngerayu cewek (eh…), diperhitungkan di lingkungan tempat tinggal dan sebagainya.
Selain pengalaman teknis dan kepuasan batin, ada satu hal yang paling melekat, bahwa media massa terutama televisi sangat besar memainkan “agenda setting”. Ya, segala sesuatu yang muncul di layar kaca tak ada yang benar-benar riil, bahkan untuk ukuran reality show. Semua by setting sesuai dengan kebutuhan pihak televisi, pesan apa yang ingin ‘disuntikkan’ ke pemirsanya. McCombs & Shaw menjelaskan bahwa media massa memiliki kekuatan untuk memengaruhi bahkan membentuk pola pikir pemirsanya yang terkena terpaan informasi. Apa yang dibuat penting oleh televisi akan menjadi penting juga oleh pemirsanya. Ayo siapa yang tiba-tiba inget pernikahan Mas Reino dan Mbak Syahrini, Cincin Vicky Prasetyo yang terjatuh, atau justru masih terngiang teriakan “Demi Tuhannnnn…”nya Arya Wiguna?
Seberapa penting informasi yang kamu konsumsi melalui televisi berdampak langsung terhadap kehidupanmu? Bisa jadi sebagian besar tak berdampak, tapi kamu tak menyadari. Kita sering disuguhi kemacetan di jalan Thamrin Jakarta. Jika dipikir kembali, untuk apa kamu yang tinggal di Denpasar penting banget harus tau itu? Agar bisa menghindar ke jalan Hayam Wuruk, kalau mau ke Sesetan? Ini kian lucu saat banjir di Cawang ditonton seantero negeri, dari sabang sampai Merauke, namun banjir di jalan Noja yang notabene membuat warga Denpasar kesulitan menuju Gatsu Timur, informasinya tak bisa kamu akses di TV yang menggunakan kanal daerahmu. Lebih bikin ngakak lagi misalnya pilkada DKI, yang marah meriah malah orang daerah, jangan-jangan kamu juga termasuk. Tenang kalaupun iya, itu bukan 100% salahmu, tapi media yang punya andil besar mengekspos berlebihan. Informasi yang kamu konsumsi di televisi sebenernya banyak informasi yang bersifat lokal atau regional Jabodetabek tapi disuntikkan ke seluruh Indonesia seakan-akan itu adalah masalah nasional. Ade Armando mantan komisioner KPI Pusat yang juga dosen komunikasi menyebutnya “TV Jakarta di atas Indonesia”. Bisa dibilang Media Jakarta menyetir opini seluruh masyarakat Indonesia. Oia pemilik TV yang mengaku nasional tak lenih dari 6 orang, nah lho.
Di beberapa negara demokrasi dengan wilayah besar seperti Amerika, mereka menerapkan stasiun televisi berjaringan. Hal ini untuk mengantisipasi satu media dapat memengaruhi sebagian besar penduduknya. Sehingga pemiliknya dengan leluasa menggiring opini. Di Indonesia, pasca reformasi juga mencoba melakukannya, walaupun sampai kini tak terlaksana dengan baik. Ditandai dengan lahirnya undang-undang penyiaran No. 32 tahun 2002. Spirit UU ini adalah diversity of content, dan diversity of ownership. Jadi sederhananya UU ini mengamanatkan bahwa Televisi yang berniat bersiaran nasional harus melepaskan haknya di daerah. Mereka harus membangun stasiun jaringan di daerah, dan memproduksi minimal 10% konten local. Kalau masih bingung, contoh berjaringan itu kayak TVRI. TVRI memiliki jaringan di setiap daerah dan mereka memproduksi sekian persen dari acara mereka di daerah. Harusnya jika UU ini berjalan baik, maka kamu bias menonton wayang Ceng Blong di SCTV, tak melulu cinta Fitri. Namun… ah males ngetiknya, kamu tau sendiri kan penerapannya kayak gimana? Intinya frekuensi itu merupakan SDA terbatas, hanya bias meng-cover beberapa channel saja, namun itu dipakai sama TV Jakarta dengan tayangan Jakartasentrisnya di Bali. Harusnya frekuensi yang ada di Bali dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk pengembangan potensi dan informasi di daerah frekuensi tersebut berada. Gak pengen apa, nonton Calonarang di RCTI?
Kalau kamu pernah denger remaja Bali ngomong “Gue elo” pake logat Bali, nah harusnya kamu bias menyimpulkan apa penyebabnya. Ya media, Budaya Jakarta masuk melalui sinetron-sinetron yang disaksikan melalui televisi yang disiarkan dan diproduksi di Jakarta, dan direlay begitu saja oleh stasiun relay mereka di seluruh penjuru Negeri. Banyak sinetron menggambarkan bahwa budaya urban Jakarta adalah budaya yang paling maju dengan kehidupan hedon remaja di dalamnya, pakaian rapi, bersih, diantar jemput mobil mewah, dan sebagainya. Sedangkan untuk menggambarkan budaya tertinggal mereka menggambarkan dengan remaja udik asal daerah yang merantau ke Jakarta, tak lupa logat daerah yang menonjol dan minder masuk mall. Penyuntikan stigma yang cukup hmm. Jika itu disaksikan terus menerus, terpaan informasi tersebut akan dianggap sebuah kebenaran, orang daerah tak akan memiliki kepercayaan diri akan daerah tempat asal mereka. Mereka akan taku dikatakan kampung jika berbicara menggunakan aksen daerah.
Melihat Dahsyatnya pengaruh televisi dalam menggiring persepsi penontonnya, maka televisi menjadi penting, ikut menggairahkan kebudayaan daerah, mengangkat harkat dan martabat daerah setempat di layar kaca. Hal ini jika dilakukan terus menerus maka dapat membangkitkan rasa cinta dan kebudayaan akan daerah mereka sendiri. Tak akan ada lagi cemoohan dari temen sejawat karena kamu doyan nonton bondres. Jika citra bondres diangkat martabatnya oleh TV, ‘Dahsyat’ tak hanya akan menjadi panggungnya penyanyi nasional saja, namun mereka akan berbagi panggung juga dengan penyanyi daerah macam Widi Widiana. Coba bayangin Dek Ulik duet sama Pingkan Mambo di ‘Inbox’!
Berita bagusnya, tak ada hal yang bisa mendorong saya menonton TV lagi, karena acaranya monoton, dan masih Jakartasentris.☺