Pameran lukisan dengan tajuk “Halaman” dibuka pada Sabtu, 18 Februari 2023 di Kulidan Space Gianyar. Pameran berlangsung hingga 15 Maret 2023, memajang 13 karya lukis karya anyar Gus West yang digarap selama liburan di kampung halamannya. Gus West bekerja sebagai pelaut bersama kapal legendaris Greenpeace, Rainbow Warior. Kerja-kerja aktivisme dan latar belakang pendidikan seni rupa, menempatkan label artivis pada dirinya. Kalau dibelah menjadi Artis+Activist.
Gus West dengan nama lahir I Made Agus Wesnawa, merupakan seniman asal Jembrana, memiliki perhatian pada isu-isu lingkungan dan pernah aktif bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali. Keterlibatannya dengan Rainbow Warior dimulai sebagai relawan ketika kapal itu merapat di Bali karena adanya KTT Pembangunan Berkelanjutan di Nusa Dua, Bali, pada Juni 2002. Gus West kemudian memulai perjalanan bersama Rainbow Warior 2004, mengarungi lautan, mengunjungi berbagai negara untuk melakukan kerja-kerja penyelamatan lingkungan. Kita sering mendengar aksi-aksi lingkungan kapal itu, mulai dari model soft campaign dengan balutan aksi seni, hingga yang ekstrim seperti memblokade kapal batu bara di tengah laut. Perjalanan bersama Rainbow Warior melakukan kampanye, aksi, riset, dan kerja-kerja kemanusiaan keliling dunia, menghantarkan pula Gus West pada aksi seni di atas kanvas ketika hari luburnya tiba.
Dalam proses berkarya, Gus West memulai dari yang terdekat dengan dirinya. Dengan melihat dan memainkan sense of belong, melakukan eksplorasi dan penggarapan. “Saya memulainya dengan ngorte dengan orang-orang di sekeliling saya. Segalanya dilakukan dengan sederhana. Datang, mendengar, melihat, melacak. Ceritanya ada namun barangnya tidak ada. Rasionalitas saya belum tentu bisa menangkapnya. Kemudian saya ke studio dan mengungkapkannya di kanvas”. Ungkap Gus West saat memberi pengantar pembukaan pamerannya.
Masuk keruang pameran yang secara resmi dibuka dengan membuka pintu ruang pameran oleh Kurator sekaligus Founder Kulidan Space, Komang Adiarta, saya memulai dengan tertegun di depan lukisan udang. Bertingkah seperti pengamat seni, mencari-cari sesutu yang bisa saya catat dikepala, memptret, lalu mencari yang tidak saya mengerti untuk ditanyakan. Walaupun saya lebih sering malu bertanya, karena takut dibilang bodoh. Saat fokus memperhatikan dan mendekat ke lukisan mengambil foto angka-angka yang tertera di atas kanvas, Bli Gung Kayon yang berdiri di sebelah saya berkata, “Itu ciri khas dia, titik kordinat kejadian.” Dan pertanyaan di kepala saya terjawab tanpa ditanyakan. Suksema.
Saya lanjut berkeliling, memilih menikmati visual tanpa membaca teks yang disiapkan sebagai pendamping karya-karya lukis tersebut. Di setiap lukisan Gus West menampilkan karakter binatang yang ditampilkan nyata, mungkin ini istilahnya realis. Pada lukisan yang menampilkan buaya, saya mencoba mengambil foto closeup si buaya dari sudut yang menampilkan kesan tiga dimensi. Asli banget, jadi takut kalau tiba-tiba dia melompat. Efek lelehan cat di latar belakang buaya, memberikan gambaran ruang hidupnya, air dan lumpur. Lalu kenapa buaya ini tampak begitu garang keluar dari ruang hidupnya, apa yang terjadi di sana?
Saya mengakhiri perjalanan saya di kanvas terakhir yang menampilkan seekor kambing dengan latar warna kuning, merah dan hitam. Kambing berwarna hitam berlumut itu seperti sedang berdiri di atas tebing sebuah alur sungai. Melihat lukisan ini, saya merasakan dunia mimpi. Saya bayangkan diri saya adalah kambing, sedang terbawa ke alam membingungkan, tidak tau arah dan dimanipulasi oleh situasi. Menilik dari narasi di balik lukisan dan judulnya "Mencari Kambing Hitam", mungkin ini gambaran dunia kematian si kambing karena bulunya yang hitam. Dicari, ditemukan, untuk dikorbankan. Di kanan atas, saya melihat roh kambing hitam yang membiarkan kita membaca kentutnya. Kalian harus datang untuk membacanya sendiri, sehingga kita bisa ngobrol dan mengaitkan kambing dengan Bansos.
Sejak Mebali Balang Tamak dan Bansos di Art Center
Saya selalu suka ketika fenomena bansos dibahas oleh para seniman. Ketika jaman Orba masyarakat dininabobokan dengan subsidi. Saat ini saya lihat masyarakat banyak dibuat tergantung pada bansos (baca: belas kasihan). Episode bansos sering menegangkan. Ditunggu tak datang, kadang datang tak dinyana dengan berbagai implikasinya.
Bicara Bansos, rasanya lucu kalau kita kaitkan dengan lukisan monyet yang sedang duduk termangu memegang uang kertas dolar. Monyet ini sejenis korban ketergantungan Bansos. Ketika banyak turis, dia mendapat banyak makanan dan wajahnya selalu tampak manis walau meringis. Tapi ketika turis tidak ada dia merana dan dianggap hama.
Monyet memang laris di dunia turis. Bisa dihitung banyaknya hutan monyet yang jadi objek turis di Bali. Bahkan monyet yang tak lagi punya hutan juga masuk daya tarik wisata. Banyak gerakan-gerakan baik untuk monyet yang saya tau. Di Ubud, ada upaya pengendalian populasi dengan mengebiri dan penyediaan pakan tambahan. Di uluwatu saya baca berita, monyet dibuatkan kolam renang khusus untuk menyejukkan hatinya agar lebih bersahabat pada pengunjung. Beberapa kawan pernah mengirimkan makanan tambahan seminggu dua kali untuk monyet-monyet di Pulaki.
Sebagian tindakan Manusia didasari oleh kepentingan perut (baca: ekonomi). Entah karena perut lapar atau kerakusan. Untuk pemenuhan satu kepentingan, kadang manusia menjadi manipulatif dan mencari pembenaran atas tindakannya. Bahkan undang-undang pun bisa diubah untuk mengakomodir kepentingan itu.
Dalam beberapa lukisan Gus West tampak amatan terhadap fenomena pengubahan tatanan ruang dan fungsinya. Lukisan berjudul "Kirig-kirig Udang" misalnya, menjadi catatan kuat tentang tajamnya kepentingan ekonomi mengubah fungsi ruang. Udang, yuyu, kerang, omang-momang mungkin tidak tampak imbasnya ketika kehilangan ruang hidup dan kelaparan. Tapi ketika dia adalah monyet, celeng, maka persoalan baru akan muncul. Seperti halnya kasus-kasus amukan gajah, macan, atau beruang. Kita harusnya bertanya, binatang yang mengganggu ruang hidup manusia atau manusia yang ngelurug dan mengekploitasi ruang hidup binatang. Mungkin ketika para manusia masuk hutan bersama sapi-sapi peliharaanya, para celeng mengumpat, “Dasar babi!”.
Dari judul pameran “Halaman”, tergambar sesutu yang dekat dengan kita, bagian tak terpisahkan dari tempat kita tinggal. Halaman juga bisa merupakan bagian atau lembaran-lembaran pengalaman hidup, catatan pertemuan-pertemuan dan kegelisahan. Rekaman-rekaman diatas kanvas Gus West adalah realitas saat ini di sekitar kita. Mungkin buaya tidak dekat dengan hidup saya, tapi fenomena apa yang dialami tiap karakter dalam lukisan Gus Wes, terjadi pula pada hal yang dekat dengan hidup saya. Kadang wujudnya babi, sapi, kucing, anjing, kepiting, memedi, banas dan sebagainya.
Eksplorasi pada hal yang dekat dan tampak kecil oleh Gus West, namun mampu ditarik keluar dan menyentuh nilai dan isu universal. Ini menggambarkan pertemuan riset dan wawasan yang matang. Demikian halaman-halaman kanvas Gus West saya rasakan.
Masa bermain ke sungai saya alami di usia-usia sekolah dasar. Pada musim liburan sekolah, saya dan kakak selalu pergi ke rumah nenek yang sangat dekat dengan sungai. Bahkan sepetak kecil kebun kopi milik nenek, tempat kami berburu telur burung pipit dan tupai, persis terletak di lembah sungai.
Karena saya bukan warga setempat dan tidak bisa berenang, jadilah saya pengintil sepupu-sepupu dan kawan mereka yang ahli dalam persungaian. Saya berjongkok di atas batu menjadi penonton atraksi mereka melompat dari tebing batu ke dalam tibu (palung sungai). Atau berendam di bagian air dangkal menyaksikan kecurangan mereka saat lomba menyelam dan ikut tegang saat mereka bersitegang mengenai siapa pemenangnya, karena saya selalu diminta menjadi saksi.
Sungai merupakan habitat binatang yang nyaris semuanya bisa dimakan. Ikan tentu saja ada berbagai jenis dan semuanya enak. Namun kami juga sering menangkap udang, kepiting atau belut. Cara menangkapnya pun ada berbagai cara, tergantung jenis ikan atau kesenangan yang ingin kami dapatkan. Menangkap udang dengan jerat tali dari serat kelopak pisang (kotot), adalah permainan yang menyenangkan dan sangat meditatif. Kami harus bergerak sangat pelan, mengangkat batu yang kami curigai sebagai persembunyian udang dengan sangat perlahan pula. Jika bergerak terlalu cepat, kemungkinannya adalah udang akan segera kabur, atau air akan menjadi keruh sehingga tidak bisa melihat apakah di sana ada udang atau tidak. Tentu saja cara ini tidak pernah menghasilkan tangkapan yang lebih dari jumlah jari kelingking.
Cara menangkap ikan yang paling banyak menghasilkan adalah menggunakan perangkap bubu atau pencar (jala). Tapi ini permainan orang dewasa. Saya beberapa kali ngintil paman saya mencar (menebar jala) ke beberapa tibu yang diyakini menjadi habitat ikan paling banyak. Ya, orang dewasa selalu lebih berpengalaman dalam hal menangkap ikan, selalu ada banyak ikan. Kadang dungki (wadah ikan dari anyaman bambu) tidak sanggup menampungnya, sehingga dibutuhkan kaos yang saya pakai sebagai dungki darurat.
Itu ingatan lampau, nyaris tiga puluh tahun yang lalu. Tempat kejadiannya sekitar 108 kilometer arah barat kota Denpasar. Petang itu, 12 November 2019 di Art Center Denpasar, ingatan sungai masa lampau sekonyong-konyong menyembul keluar dari pori-pori kepala saya. Pasalnya saya menyaksikan satu nomor pementasan Capung Hantu Project, pada hari terakhir Festival Seni Bali Jani 2019, yang dimainkan oleh anak-anak Sanggar Seni Kelakar dari SMP Dharma Wiweka – Denpasar.
Anak-anak belasan tahun memainkan dramatisasi puisi Sungai, sebuah puisi karya Kim Al Ghozali AM. Saya agak yakin anak-anak itu lebih mengenal Tukad Korea yang lebih menyerupai taman rekreasi ketimbang sungai sesungguhnya. Tapi penampilan mereka sejak awal pementasan, mampu menggambarkan gairah masa kecil tentang sungai dan tentu saja sejuk airnya. Anak-anak berpakaian serba hitam itu berlari di sekitar Kalangan Angsoka, mereka sedang menuju sungai. Persis seperti sepupu saya dan kawan-kawannya dimana saya ngintil di belakang mereka, yang begitu riang gembira berlari di antara pepohonan, menuruni lembah menghambur ke sungai.
Pementasa ini menjadi yang pertama bagi saya, menyaksikan ubah media dari puisi menjadi teater gerak. Prosesnya pasti memiliki tantangan tersendiri; menginterpretasikan kata menjadi gerak, membaca gagasan penulis kemudian mengubah ke bentuk baru sebagai sebuah gagasan baru di atas panggung.
Yang menarik dari pementasan ini bagi saya, adalah bagaimana Miss Desi Nurani yang menjadi pengempu, mengajak anak-anak Kelakar merespon ruang dengan dinamis. Bukan hanya terpaku panggung, petak kaku yang ada di depan kursi penonton, tapi juga seluruh areal termasuk tempat duduk penonton dan juga penonton itu sendiri diajak terlibat; bukan hanya menonton.
Setelah mereka asik bermain, berlompatan di atas bebatuan, terengah-engah memburu napas, mereka berteriak. “Di sana ada sungai!” dengan sumringah, berlari mengajak semua orang bergembira menuju tempat bermain mereka, sungai!
Gua buatan di samping belakang Kalangan Angsoka menjadi ruang bermain baru. Semua orang diajak masuk, semua orang berusaha masuk, ingin merasakan main di sungai. Saya tiba-tiba merasa sedang ada dalam lomba menyelam, sesak, pengap dan susah bergerak. Penonton yang serius, berusaha masuk lebih dalam dan menyaksikan, ada yang hanya suka-suka menempel di dinding gua memenuhi ruang, ada yang mengeluh kepanasan dan mengancam teman prianya untuk balik arah dan keluar bersamanya.
Keluar dari gua, kami diajak bermain di sisi lain sungai, sebuah perosotan. Sejatinya areal itu adalah areal bermain anak-anak yang menjadi bagian Art Center Denpasar, namun sudah tidak dirawat lagi.
Dulu kami main perosotan di jalan setapak yang menurun menuju sungai. Pelepah kelapa adalah kendaraan yang kami gunakan di kebun kopi nenek, di mana jalur prosotan cukup panjang dan menyenangkan. Dari ujung atas petak kebun kopi, meluncur hingga terhenti di bawah rumpun bambu di pinggir sungai. Sering kali permainan berujung tantangan untuk mencoba medan yang lebih wow. Sebuah jalur prosotan dengan kemiringan sekitar 45 derajat dengan akhir langsung terjun ke dalam sungai. Ekstrim!
Lelah bermain di dalam sungai seperti juga anak-anak Kelakar, kami melanjutkan permainan di sepanjang sungai. Saling kejar, berburu buah liar atau buah-buahan di kebun tetangga. Kami akan kabur ketika kepergok pemilik kebun. Seru! Tetapi tentu saja, tengat waktu adalah akhir. Sore tiba, nenek mulai kawatir dan memburu kami ke sungai untuk segera pulang dan makan malam. Menyenangkan sekali.
Perjalanan kembali ke sungai bersama anak-anak Kelakar, mengingatkan saya untuk berbagi permainan kampung kepada anak saya, yang lahir di kota, dibesarkan aroma urban, diempu teknologi.
Saya mulai menyadari, kenapa anak saya begitu gembira ketika diajak ke Taman Janggan, bermain prosotan plastik itu. Ternyata kita kekurangan permainan, kekurangan ruang, butuh kelegaan dari himpitan tembok rutinitas. Itu sebabnya kenapa tukad Bindu selalu ramai, tukad Korea selalu padat, lapangan-lapangan selalu menjadi lautan manusia. Karena ruang bermain kita hanya itu. Itu saja ‘sungai’ kita yang tersisa, di kota.
Sungai juga menjadi cerminan, warna air menjadi gambaran, seberapa keruh kehidupan kita. Semua bermula dari limbah buangan hati kita.
Bulan November 2019 saat belum ada November rain di Denpasar. Waktu itu tanggal 6, saya bersama keluarga menyaksikan pementasa BET (Bali Eksperimental Teater) untuk pertama kali dalam hidup saya, kendati masa kecil saya bertetangga dengan mereka. Kesan pertama yang saya bisa katakan dalam dua kata pada pandangan pertama menyaksikan BET adalah, “Mereka ngawur!”
Sebelum pementasan dimulai, saya sempat bertegur sapa dengan penulis dan sutradara pementasan yang berjudul Pan Balang Tamak Reborn ini, Nanoq Da Kansas. Wajahnya kelihatan tegang, entah karena gugup, menjaga wibawa atau sedang akting grogi. Dia berlalu-lalang di antara remaja putri yang sedang berias, memperhatikan salah seorang pemain yang sedang mengenakan pakaian penari, melihat sepintas putranya; Elang, yang sedang dibantu mengenakan pakaian yang terbuat dari karton. Tidak lupa mereka berfoto bersama.
BET dalam Festival Bali Jani yang berlangsung di Taman Werdhi Budaya – Denpasar, mendapat kapling panggung di depan Gedung Kriya. Kengawuran itu mulai terasa ketika waktu pementasan sudah tiba. Seorang pembawa acara mengarahkan penonton untuk naik ke atas panggung, panggung yang disiapkan oleh panitia dengan karpet merah itu. Suara merdu pembawa acara yang menggema dari empat titik pengeras suara, mengatakan bahwa BET akan menggunakan areal halaman di pinggir sungai, sebagai ruang pentas mereka.
Setelah saya dan penonton lain duduk di panggung, belasan muda-mudi berlarian ke penjuru halaman rumput di pinggir sungai, mengambil bungkusan tas kresek dan mengeluarkan isinya, daun-daunan. Mereka menebar daun-daun itu di halaman beton di depan panggung, menyiapkan seting pementasan. Di bagian ini saya agak kesal, karena melihat bahwa mereka sama-sekali tidak siap dengan pementasan, bahkan ketika pembawa acara telah mengumumkan bahwa pementasan telah mulai. Ya, terasa ngawur!
Belasan muda-mudi itu kemudian duduk, mereka hanya mengenakan kamben dan kaos bebas berwarna gelap, persis seperti muda-mudi banjar yang sedang ikut sangkep di balai banjar. Saat tokoh klian banjar memasuki kalangan itu, saya mulai menyadari, pementasan memang benar-benar telah dimulai. Apa yang mereka lakukan sejak awal adalah bagian dari skenario pementasan.
Tapi ada satu skenario yang diubah karena kendala teknis. Saya bocorkan di sini. Sampai tanggal 3 November, sang sutradara masih memiliki ide menggunakan layar lebar untuk menayangkan beberapa potongan video yang viral di jagat televisi dan maya negeri ini, sebagai pembuka. Untunglah ide itu gagal. Karena tanpa layar itu, latar pementasan terasa organik. Lampu-lampu dari pedangang yang mangkal dan gedung di seberang sungai seakan lampu kota di kejauhan. Artistik.
Pan Balang Tamak Reborn, kisah warga kerajaan BET yang dianggap licik penuh intrik dalam menghadapi segala situasi. Dalam pementasan BET, dikisahkan bagaimana Pan Balang Tamak berkelit mencari pembenaran untuk membela diri saat terlambat menghadiri kerja bakti. Di tampilkan pula, bagaimana Pan Balang Tamak menciptakan trik kemenangan menghadapi persaingan pentas busana anak-anak. Hingga akhirnya dia berhasil mengecoh raja dengan memanipulasi kematiannya sendiri.
Batang tubuh cerita masa kecil saya tentang Pan Balang Tamak ditikam dan dikoyak dengan nuansa teror; yang pernah terjadi, sedang terjadi, bahkan mungkin masih akan terjadi di negara kita tercinta ini. Teror ini bukan hanya terjadi di Negara – Bali, di mana asal BET. Tapi juga terjadi di Negara Indonesia, bahkan juga di negara api dan negara air, udara, tanah dan seandainya ada juga yang lain-lainnya.
Kembali lagi ke bagian awal yang ngawur, di mana panggung berkarpet merah diserahkan kepada penonton. Sementara itu, Pan Balang Tamak Reborn dipentaskan lesehan di halaman rumput dan beton. Saya merasa BET sedang menyuguhkan keripik renyah dengan tingkat pedas di atas level 10. Pan Balang Tamak yang menjadi representasi rakyat jelata, melata dengan nasib kehidupan mereka hanya menjadi sebuah tontonan bagi mereka yang ada di panggung berkarpet merah itu. Ya memang, ini hanya sebuah tontonan.
Kejelataan kembali ditampilkan dalam koreografi sederhana. Saya kira tidaklah dibutuhkan sutradara hebat, karena anak TK sering mementaskannya di acara perpisahan mereka. Tari menanam jagung, di mana remaja lelaki bergaya bapak tani yang mengayunkan cangkul dan remaja perempuan menggoyangkan pinggul berlaga jadi ibu tani yang menanam benih jagung. Namun tentu ini permainan orang dewasa, karena menanam jagung versi BET kini bukan lagi di kebun kita, tapi di beton kita; seperti itu yang saya dengar dari nyanyian Anak Badai yang menjadi pengiring pementasan. Sekali lagi ya, ini hanya sebuah tontonan.
Mungkin karena perubakan lingkungan, sosial kemasyarakatan dan hawa politik, warga masyarakat di desa Pan Balang Tamak tidak bisa mengapresiasi muda-mudi yang menyuguhkan kreatifitas. Bukannya saling mendukung, mereka malah saling ejek dan saling menjatuhkan antar mereka. Namun ketika anak Pan Balang Tamak muncul menyanyikan lagu Bongkar karya Iwan Fals, menawarkan raskin, bansos, subsidi, dan sebagainya; masyarakat menjadi beringas. Berlomba-lomba saling sikut mencari koneksi, mengajukan proposal agar mendapat komisi.
Tingkah yang lebih modern dalam masyarakat negara yang dipanggungkan BET, tampak saat kabar kematian Pan Balang Tamak mulai tersiar. Informasi menyebar dari gadget ke gadget, menghasilkan sinyal yang grengsut menghabiskan lebar frekwensi. Semua berbicara, semua memberitakan; “Pan Balang Tamak mati!”
Kok rasanya tidak ada yang berusaha mengklarifikasi dan mengkonfirmasi kesahihan beritanya. Hingga pengawal raja datang membawa berita, “Pan Balang tamak masih hidup!”
Lagi-lagi tidak ada konfirmasi sumber berita, bahkan oleh seorang raja sekalipun. Malah sang raja langsung main percaya saja dan segera mengambil keputusan. Matilah sang raja karena keputusannya sendiri, dan hoax membuatnya tamat.
Pementasan usai, penonton yang duduk di atas karpet mereh itupun senang dan bertepuk tangan, karena mendapatkan apa yang mereka harapkan. Pan Balang Tamak menang dalam kematiannya.
Pementasan BET (Bali Eksperimental Teater) dengan lakon Pan Balang Tamak Reborn, membuka mata saya bahwa panggung tidak melulu literal. Tempat yang disediakan, tetap dan kaku. Dengan membalik keadaan, bertukar tempat dengan penonton, saya merasa BET berhasil menempatkan Balang Tamak sebagai kita, rakyat jelata.
Saya duga, ini adalah kebiasaan BET yang jarang menggunakan panggung mewah. Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan Nanoq Da Kansas dalam sebuah artikel yang ditulis Ketut Syahruwardi Abbas dalam blognya.
”Kami telah melakukannya di Negara (Jembrana) sejak tahun 90-an. Sejak saya dan kawan-kawan di Negara masih aktif di Teater Kene dan berlanjut dengan BET. Hal ini bahkan sempat kami lakukan secara berkesinambungan dalam kurun waktu 5 atau 6 tahunan (1993-1998),”
”Kami memanfaatkan teras atau halaman rumah, ditonton oleh kawan-kawan sendiri dan warga sekitar rumah. Bahkan di lingkungan tempat kontrakan saya dulu, di Banjar Satria, Negara, para ibu-ibu rumah tangga saat itu menjadi terbiasa membujuk anak-anak mereka untuk segera mandi dengan iming-iming mengizinkan anak-anak itu menonton pementasan kami pada malam harinya,”
__Karena Panggung Memakai ”Style Bali” (2012)
Saya rasa BET itu gila, dengan cara ngawur berhasil membuat kami bahagia, dan membuat anak saya yang berumur 8 tahun bertanya, "Kapan lagi ada acara yang seperti ini?" Kami sekeluarga menunggu pementasan selanjutnya.
Sumber kutipan: Karena Panggung Memakai ”Style Bali” | ketutwardi.wordpress.com
Membaca satu judul cerpen dari seorang penulis memberikan saya gambaran yang kuat akan gagasan dari penulis tersebtu. Namun, akan berbeda sensasinya ketika membaca beberapa judul cerpen yang telah dipilih menjadi satu buku. Selain sensasi aroma kertas dan tinta yang semerbak ketika membuka buku pertama kali, dari sebuah rangkaian cerpen dalam satu buku, saya bisa membaca ruang hidup dan rentang waktu pemikiran serta kegelisahan yang mengganggu jiwa si penulis, hingga tertumpah ke dalam cerpen-cerpen itu.
Cerpen Lelaki Garam karya Made Adnyana Ole, saya baca pertama kali tahun 2017 ketika diterbitkan di koran Kompas, dan ternyata juga menjadi salah satu cerpen yang masuk dalam buku cerpen pilihan Kompas 2017, Kasur Tanah. Setelah membaca, kepala saya berusaha menguliti isi kepala Ole. Apa yang masih tersembunyi di balik cerita itu, selain kisah pertemuan asam pegunungan dan garam laut di sebuah belanga yang kemudian melahirkan Jenawi? Bahkan sampai akhir cerita, Ole dengan kejam tetap meyembunyikan kenyataan itu pada Jenawi, yang begitu merindukan uap garam dari masa kecilnya. Dalam tubuh Jenawi, Ole menitipkan kerinduannya pada masa lalu; keperawanan alam yang tidak terjamah, romantisme yang selalu berusaha dipertahankan, dan gambaran ideal pemudi desa yang bersekolah ke kota kemudian pulang membangun desa. Di sisi lain, Ole menanam kegeraman hatinya dan kobaran asa perlawanan terhadap serangan atas nama kemajuan dan pembangunan, pada sosok lelaki bernama Ripah, yang ternyata juga memendam rindu menggila dalam dirinya.
Kemudian Lelaki Garam kembali saya temukan bersama delapan cerpen lain karya Made Adnyana Ole, dalam buku kumpulan cerpen berjudul Gadis Suci Melukis Tanda Suci Di Tempat Suci. Buku tersebut baru terbeli di pameran buku Festival Bali Jani pada November 2019, walaupun buku itu sudah saya taksir di acara May May Komunitas Mahima pada bulan Mei 2019, namun otak saya agak waras bersepakat dengan lambung dan memilih membeli siobak.
Setelah melahap sembilan cerita bersama menu alakadarnya yang kami punya di meja makan, atau kadang menghabiskan sedikit uang di warung pinggir jalan, saya merasa Ole berhasil membuat saya bahagia secara utuh dari awal; cerita pertama, hingga cerita terakhir. Saya sangat menyarankan untuk jangan sekali-kali melompati satu judulpun, karena nuansa yang didapatkan pasti akan berbeda. Tapi kalau mau-mau sendiri mulai dari cerpen manapun, dan mengakhirinya pada judul yang manapun, itu tetap sah dan meyakinkan bahwa kalian telah menyukseskan program ayo membaca, dan kalian pasti bahagia seperti saya.
Kenapa saya menekankan untuk membaca secara berurutan? Jadi begini. Saat memegang sebuah buku, otak saya membacanya sebagai sebuah keutuhan, setiap judul adalah bab dari sebuah cerita panjang. Benang merahnya adalah gagasan dan kegelisahan penulisnya, yang tentu saja akan bergantung pada sudut pandang personal saya sebagai pembaca.
Ketika membaca cerpen pertama, Terumbu Tulang Istri, saya telah bisa dikecoh dan dibawa masuk dalam suasana depresif dari tokoh lelaki bernama Kayan, yang sialnya namanya sama dengan tokoh dalam cerpen saya. Suasana depresif masih terbawa ketika memasuki kisah kedua, namun Gede Juta mulai memberi harapan, mewakili semangat perlawanan, seorang pahlawan rasanya sudah akan segera muncul, namun ternyata bukan Gede Juta. Dia tidak segagah yang saya kira, seperti Gundala atau Si Buta Dari Gua Hantu.
Sosok pahlawan baru muncul pada cerpen berikutnya, Siat Wengi dan Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci. Tapi sungguh, bukan seperti Superman atau Catwoman yang sejak awal sudah jelas adalah pahlawan. Dalam dua cerpen ini, tokoh utama yang begitu menggebu ingin menjadi pahlawan bagi komunitas ataupun bagi nafsu balas dendam, kemudian letoi, dan membiarkan tokoh lain yang menyelesaikan persoalan itu.
Sampai cerpen keempat, saya masih diaduk dan dibawa ke puncak, namun kemudian diredam dan terasa sekali penurunan tensi ketika membaca cerpen Kerapu Macan dan Men Suka. Membaca Kerapu Macan, lebih seperti membaca esai ringan, kemudian ada twist yang tidak terlalu mengejutkan. Walaupun tetap ada kesenjangan sosial yang berusaha dipotret, saya merasa Ole mungkin sedang lelah, kemudian memutuskan makan enak agar dapat inspirasi lagi. Sedangkan cerpen Men Suka, memberi rasa gamang, tidak berdaya dan sudah tidak ada lagi perlawanan, hanya diam. Namun itulah cara satu-satunya mengobati luka dalam yang dihadapi Men Suka, dengan harapan akan mengering dan rasa sakitnya ikut menguap bersama waktu. Tokoh anak Men Suka, yang berusaha menjadi tim pencari fakta untuk mengungkap teka-teki akhirnya menyerah, dan terjadilah rekonsiliasi semu.
Luka-luka yang berusaha diobati dengan kepedihan dan keterasingan, digambarkan akan sangat mungkin kambuh pada hari-hari raya kenegaraan, seperti digambarkan dalam cerpen Darah Pembasuh Luka. Luka kambuhan pada lutut kiri Tantri, sangat halus dimasukan sebagai simbol paham yang selalu dijadikan kambing hitam saat dibutuhkan, guna menebar rasa takut.
Pada nyaris di ujung rangkaian gerbong cerita ini, di sanalah muncul Lelaki Garam yang menyimpan atau sengaja menyembunyikan kisahnya dari generasi keturunanya, yang tidak pernah diketahuinya akan menimbulkan kekacauan dan kerumitan. Ketika selesai membaca cerpen ini, kalian akan mengetahui betapa kerumitan itu akan terjadi oleh kenyataan yang ditutup-tutupi, dimanipulasi dan dikorupsi.
Di penghujung cerita, Ole mengambil peran dan membayar kesalahan Lelaki Garam yang penuh rahasia. Cerpen 4 Dari 100 Lelucon Politik, mengambarkan seorang Ayah yang berusaha membawa cerita dari masa lalu kepada anaknya yang menjadi simbol masa mendatang, sehingga anak-anak kita memiliki bekal untuk memecahkan sedikit kekacauan dan kerumitan kehidupan yang sering kusut tak berujung. Paling tidak, dalam kisah ini seorang Ayah berusaha untuk menjadi berguna di depan anak perempuannya, dengan menjadi sedikit lucu. Saraf di tengkuk saya kembali lentur dan rilek setelah Ole menyudahi ceritanya dan Putik pergi tidur.
Ingin sekali menelisik dan mengulas lebih dalam satu persatu cerpen-cerpen dalam buku ini. Namun kalau dipaksakan sekarang tentu saja tidak akan terlalu lucu lagi. Yang pasti, buku ini sangat layak untuk dinikmati secara utuh sebagai serampai kisah, yang ingin dijaga oleh penulisnya sebagai sebuah pengingat dan penanda, sebuah tanda suci, bahwa hari itu pernah ada. Bahwa kenyataan memang kadang pahit.
Judul: Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci Pengarang: Made Adnyana Ole Terbit: 2018 ISBN : 9-786026-106360 Bahasa: Indonesia Penerbit: Mahima Institute Indonesia Jenis Buku: Kumpulan Cerita Pendek
Senja bulan Juli 2016 saat mendung tipis menggelayut di atas Bentara Budaya Bali, kaki akhirnya menapak untuk menyaksikan pentas Komponis kini #2: Tribute to Lotring. Komponis kini merupakan agenda rutin bulanan yang dikurasi oleh musisi dan komposer I Wayan Gede Yudana, Wayan Sudirana dan Dewa Alit, sebagai upaya melahirkan “gigi-gigi baru” dunia musik baru di Bali, agar wajahnya tetap ganteng dan berseri.
Menyimak rekaman pengantar Yudana dalam Komponis kini #1, bahwa banyak sekali komposer muda yang bagus dan hebat. Mereka membutuhkan tempat yang tepat untuk mempresentasikan musik baru yang dianggap agak serius, ditengah budaya gemerlap saat ini. “Kini” selalu berkaitan dengan “Dulu”. Dulu para maestro telah melahirkan karya yang megah dan monumental, namun itu dulu – sudah selesai – maka kita perlu memikirkan hari ini. Generasi baru yang berproses dengan musik baru sehingga kebudayaan ini tidak terputus.
Ruang yang tercipta dari kehadiran Komponis Kini menjadi jembatan penghubung dulu dan kini, I Wayan Lotring – dengan gubahan klasik Sekar Ginotan – dengan I Putu Gede Sukaryana dan I Putu Adi Septa Suweca Putra yang terpisahkan waktu nyaris satu abad. Dalam Komponis kini #2 yang diselengarakan pada Minggu (24/07/16), baik I Putu Gede Sukaryana dan I Putu Adi Septa Suweca Putra, merepresentasikan karya klasik Sekar Gendotan yang dituangkan dalam medium yang berbeda.
Malam itu I Putu Gede Sukaryana alias Balot, mengakui dalam perjalanannya mendekatkan diri pada Lotring, Ia sangat kagum ketika menyaksikan rekaman dari tahun 1928. Dia melihat kualitas karya dan permainan Gurun Lotring memainkan gender wayang yang sangat hidup dan luar biasa.
“Dari situ saya memutuskan untuk memilih menampilkan Sekar Ginotan pada medium gender wayang. Karena ternyata, hanya dengan perangkat gamelan yang sedikit – dengan empat penabuh – kita bisa berbuat banyak, menghasilkan komposisi yang bagus.” Ungkap Balot.
Oleh Balot, Gubahan klasik Gurun Lotring, Gending Petegak Gender Wayang Sekar Ginotan, dibawakan dalam satu kesatuan alur, dengan karya komposisi barunya bertajuk Sinrong, yang dimainkan oleh empat penabuh dari sanggar seni Ceraken Batuyang.
Sinrong ditarik dari kata Sin atau Isin (isi) dan Rong (ruang), yang menjadi gambaran interpretasi Balot menerjemahkan dan merepresentasikan ruang-ruang atau jeda, dalam Sekar Ginotan yang memiliki banyak tarikan nafas.
Karya komposisi baru Sinrong juga merupakan wujud dari proses pendekatan diri Balot kepada sosok Lotring, yang memang tidak terlalu dekat dalam proses bermusiknya selama ini. Balot mencoba mendengar dan membaca perjalanan hidup berkesenian sosok Lotring. Dia nelakukan pencarian untuk menemukan sesuatu, yang kemudian dikolaborasikan dengan pengalaman berkeseniannya selama ini, termasuk berkolaborasi dengan musisi dari Italy dan Kanada serta ketertarikannya pada musik India Hindustani, terutama dari India utara yang mempengaruhi tempo komposisi Sinrong.
Jika Balot memutuskan menggubah dengan asamble kecil, beda dengan I Putu Adi Septa Suweca Putra alias Kuprit. Dia memilih menampilkan Sekar Ginotan gaya Teges Kanginan, tabuh semar pegulingan klasik gubahan I Wayan Lotring yang dibawakan oleh gamelan Natha Svara. Ini menunjukan bahwa Balot dan Kuprit memiliki interpretasi dan imajinasi yang berbeda, dalam menerjemahkan Sekar Ginotan.
Dari catatan CD Bali 1928 Volume III, disebutkan Sekar Ginotan telah mengalami perkembangan dan memiliki berbagai versi. Termasuk di Teges Kanginan yang merupakan pewaris gubahan Lotring dari versi gender wayang Sekar Ginotan kuta, ke dalam versi gamelan pelegongan yang masih dimainkan hingga sekarang.
Dari gubahan rumit dan terperinci Sekar Ginotan untuk gamelan pelegongan tersebut, Kuprit mengambil inspirasi dan mengimajinasikan sebuah karya yang kemudin diberi judul Akal, yang menjadi komposisi penutup pentas Komponis Kini #2 malam itu.
Akal adalah komposisi baru yang dilahirkan dari Ide, gagasan, imajinasi dan pengaruh musikal dari proses bermusik Kuprit selama ini. Kuprit berusaha menemukan sebuah perspektif baru dari gaya klasik Lotring, dengan barungan yang sama seperti yang digunakan oleh Lotring, hampir seratus tahun yang lewat.
“Semua gagasan, ide dan imajinasi bisa lahir dan terbentuk menjadi sebuah karya, karena adanya akal yang dimiliki manusia.” Tegas Kuprit.
Dalam penciptaan Akal, rupanya Kuprit sangat detail dan tegas dalam menulis komposisinya. Setiap nada atau permainan nada yang tampil untuk diperdengarkan bukan sekedar improvisasi, melainkan sesuatu yang telah diformulasikan menjadi suatu ritme secara sadar, yang kemudian ditransfer kepada anak didiknya di gambelan Natha Svara.
Kuprit berharap, bagaimana nantinya musik ini dapat bekerja sebagai musik itu sendiri, agar komposisi baru bisa memiliki nilai tawar baru bagi generasi muda. “Semoga kedepannya dapat diapresiasi dan dijadikan rujukan dalam berkarya.” Tambah Kuprit.
Dari dua komponis muda yang tampil dalam Komponis Kini #2, sangat terbaca usaha mereka menghubungkan diri dengan Lotring. Dari menyimak tabuh klasik Lotring mereka menemukan banyak kemungkinan-kemungkinan baru yang bisa dilakukan. Karya yang lahir dari pencarian, ide, imajinasi dan interpretasi mereka pada karya klaskik tersebut, menjadi karya kekinian yang dapat disajikan sebagai sebuah menu yang segar kepada penonton.