Menulis surat adalah cara belajar menulis yang sangat bagus, karena menulis surat cinta yang begitu emosional; melibatkan hati, pikiran dan getaran-getaran fisik. Siapa di antara kalian yang mengalami menulis surat cinta? Menulis surat, menulis dengan tangan bukan mengetik, kemudian dibungkus dalam amplop dan dikirimkan melalui pos atau dititipkan pada seseorang. Kalau kalian mengalami, kiranya kalian adalah anak 70an atau 80an, atau apa mungkin anak 90an masih ada yang bersurat-suratan?
Surat cinta, pernyataan cinta, sebuah karya tulis yang biasanya berisi ungkapan perasaan si penulis kepada pembacanya, sang pujaan hati. Surat itu isinya hanya aku dan kamu, dunia milik berdua sedangkan yang lain hanya numpang lewat. Kadang sialnya, orang lain yang tidak dianggap dalam surat itu malah lebih ingin tau isinya dan kadang melakukan sensor illegal, bahkan kadang mengganti isi surat sebelum sampai di tujuan.
Selain surat cinta, biasanya anak kos belajar menulis surat pada Ibunya, atau sebaliknya, yang biasanya diakhiri dengan proposal anggaran belanja anak kos bulan berikutnya. Sedangkan surat dari orang tua kepada anak kos, umumnya lebih panjang lebar berisi petuah dan peringatan untuk tidak keluyuran dan jangan pacaran melulu. Anak kos biasanya baru membaca surat untuknya sebagai referensi saat menulis proposal anggaran bulan berikutnya. Kualat, makanya ketemunya mie instan mulu.
Kalau mau belajar menulis, kenapa saya bahas surat menyurat? Karena dalam tipe surat menyurat ini yang paling mudah menemukan contoh dari pokok bahasan artikel ini, yaitu sudut pandang bercerita. Marilah saya ceritakan tiga sudut pandang tokoh dalam bercerita.
Karakter utama dalam cerita akan menggunakan kata ganti orang pertama; saya, kita, aku, dan sebutan lain yang menyesuaikan seting tempat, kebiasaan atau asal-usul si tokoh. Bercerita menggunakan perspektif orang pertama mampu mengantarkan kedalaman cerita dari karakter dan nuansa keintiman. Pembaca akan digiring merasakan perasaan Aku, si tokoh yang memposisikan pembaca menjadi teman curhat, teman ngobrol.
“Namaku Ayuniah, terlahir di sebuah desa di tepaian sungai Ayung. Aku selalu bermimpi bisa terbang dan sejak kecil kupikir aku adalah malaikat, padahal bukan. Aku hanya peri yang berumah di lubang pohon besar itu.”
Paragraf di atas adalah contoh penceritaan yang mengambil sudut pandang orang pertama. Ayuniah sedang bercerita pada pendengarnya, pembacanya. Ini seperti kamu menceritakan kejadian yang baru saja menimpamu kepada temanmu. “Aku tadi ketemu cowok, guanteng bingitz. Dadaku sontak bergegup kencang seperti genderang mau perang.”
Untuk bercerita menggunakan sudut pandang orang kedua, penulis akan menggunakan kata ganti Kamu, Anda atau Kalian. Penggunaan sudut pandang orang kedua dalam cerita, akan membuat pembaca merasa ini adalah cerita tentang diri mereka. Pembaca melakukan setiap aksi yang terjadi dalam ceita tersebut.
“Namamu Ayuniah, terlahir di sebuah desa di tepaian sungai Ayung. Kamu selalu bermimpi bisa terbang dan sejak kecil kamu pikir kamu adalah malaikat, padahal bukan. Kamu hanya peri yang berumah di lubang pohon besar itu.”
Kalau kita kembali pada bahasan tentang surat, sudut pandang orang kedu sering digunakan saat mengungkapkan sanjungan atau nasehat. “Kamu adalah rembulan yang bersinar menyibak kegelapan.” Atau, “Nak, kamu adalah harapan keluarga, jagalah sikap di rantau, belajar yang giat untuk mencapai cita-citamu. Masa depanmu ada di tanganmu. Kamulah yang menentukan pilihan, mau jadi apa nantinya. Kamu yang memutuskan nasibmu sendiri.”
Tipe bercerita dengan sudut pandang orang ketiga merupakan pilihan yang paling banyak kita temukan dalam cerpan atau novel, dimana tokoh utama menggunakan kata ganti; mereka, dia, orang itu, lelaki itu, atau nama orang. Ceritanya pasti menceritakan orang lain. Lihat saja mulai dari epos Mahabarata, Ramayana atau karya besar seperti Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer. Kejadian yang diceritakan adalah tengang orang lain, bukan sang pencerita atau si pembaca, tetapi tokoh-tokoh yang berbeda diluar mereka berdua.
“Namanya Ayuniah, terlahir di sebuah desa di tepaian sungai Ayung. Dia selalu bermimpi bisa terbang dan sejak kecil dia pikir dirinya adalah malaikat, padahal bukan. Dia hanya peri yang berumah di lubang pohon besar itu.”
Ya, sudut pandang adalah pilihan. Ketika Chairil Anwar menulis puisi berjudul Aku, tentu memiliki alasan kuat selain bahwa puisi cenderung personal dan intim. Sudut pandang orang pertama dan orang ketiga merupakan pilihan yang paling banyak digunakan. Saya sendiri belum pernah mencoba menulis cerita fiksi dengan sudut pandang orang kedua secara penuh. Tapi patut dicoba.
Penggunaan sudut pandang tokoh dapat menjadi sebuah eksperimen yang menarik. Saya mencobanya dalam cerpen berjudul Kawan Tiba (Suatu) Senja. Yang merekam sebuah obrolan dua orang yang saling bercerita satu sama lain. Ada kalanya saya sebagai pencerita menggunakan sudut pandang orang ketiga, di saat lain tokoh dalam cerita akan bercerita dengan sudut pandang orang kedua atau juga sudut pandang orang pertama.
Saya rasa pilihan apapun yang kita ambil dalam bercerita, tentunya perpegang pada emosi apa yang ingin kita teruskan pada pembaca. Ketika kita memiliki ide cerita dan memahami dengan baik kedalaman cerita tersebut, secara alamiah kita akan menemukan sudut pandang penceritaan yang tepat. Cerita dengan sudut pandang orang pertama ada dalam cerpen saya berjudul Maaf Untuk May dan beberapa esai ringan seperti Cerita Tentang Rumah, Sumur dan Mata Air.
Untuk contoh cerita dengan sudut pandang orang ketiga, saya rasa sangat mudah untuk ditemukan. Kalau mau membaca cerpen saya, silahkan simak cerpen Kaki Wari. Untuk cerita dengan sudut pandang orang kedua, saya belum menemukan referensinya, kalau kalian punya contoh, mohon kiranya bersedia bagi di komentar. Mari belajar menulis.