Kalian pasti mengenal kalimat ini:
“Usahakan yang terbaik hari ini, untuk hari esok yang lebih baik.” atau “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin” atau, “Hari esok harus lebih baik dari hari ini.” Kalimat-kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa hendaknya hidup kita semakin baik dari hari ke hari. Tapi ternyata saya menerapkan kalimat tersebut dengan sedikit terpelesat. Karena saya selalu mencari pembenaran bahwa; apapun yang terjadi hari ini, mari perbaiki esok saja.
Pada kenyataan sehari-hari, saya sering membiarkan diri saya hidup pada hari esok, bahkan dalam hal-hal yang sangat kecil dan sesungguhnya tidak membutuhkan pemikiran yang canggih, atau resiko menghabiskan tenaga besar, karena persoalannya hanya berurusan dengan kamar kecil–toilet–wc–kamar mandi. Dalam situasi ini, kenapa persoalannya kemudian menjadi ruwet, rumit dan melilit hidup saya? Adalah karena persoalan kamar kecil, yang direcoki oleh bisikan setan kecil, yang merayu dan sedikit memaksa saya, untuk membiarkan semua persoalan itu berlarut-larut.
Persoalan pertama adalah, keran di kamar mandi sudah bocor nyaris sejak empat bulan yang lalu. Yang kedua, jika mandi di atas jam tujuh malam suasananya sangat gelap, bukan karena pemadaman listrik bergilir yang beberapa bulan kemarin melanda. Tapi karena lampu kamar mandi mati sejak lebih dari dua bulan yang lalu. Pertanyaannya, kenapa masih menyisahakn masalah hingga hari ini? Padahal saya punya pengalaman sebagai profesional dalam urusan dengan air, pipa, keran, kabel, lampu dan listrik. Saya bukan orang yang tidak tahu bagaimana cara memasang seal tape agar keran tidak bocor. Atau gagap ketika berhadapan dengan setrum listrik.
Setan kecil telah menguasai kehidupan saya, sementara malaikat kecil megap-megap tenggelam dalam banjir kenyamanan yang dihembuskan setan kecil. Dengan kedipan mata bersekongkol, setan kecil selalu berkata, “Sudahlah, biarkan saja lampu itu, toh kamu tidak selalu mandi malam hari. Apa lagi kamu tidak punya tangga untuk naik. Pakai kursi kan tidak cukup. Besok saja lah, hari ini ada pekerjaan yang lebih penting yang harus diselesaikan. Kalau bisa besok kenapa harus hari ini? Kalau bisa ditunda kenapa harus buru-buru?”.
Kalau sudah begitu, malaikat kecil tersungut dan menggerutu, “Ya besok saja, hu’uh. Kalian seperti kenek angkot yang memasang stiker ‘hari ini bayar besok gratis’. Besok, besok, besok, terus saja besok. Sudah berapa kali besok, tapi tetap saja besok. Kalau semua mau dikerjakan besok terus hari ini apa? Jangan mencoba menjadi regu tembak, tar sok tar sok”. Setelah menyelesaikan kalimatnya, malaikat kecil biasanya kabur dengan membanting pintu.
Kenapa hidup saya terombang-ambing dalam perseteruan dua mahluk kecil itu? Kenapa saya tidak bisa memutuskan apapun? Dimana seharusnya saya meletakan esok dalam hidup saya? Ketegasan itu sama sekali tidak ada. Bahkan untuk hal kecil.
Ahirnya tekanan koalisi yang digalang malaikat kecil datang. Ibu, ponakan, sepupu, dan keluarga dari kampong, akan datang dan tinggal ditempat saya pada akhir pekan depan. Ini yang menghasilkan desakan kuat agar saya segera membereskan persoalan kecil itu. Semua akhirnya beres karena desakan, terdesak, mendesak dan didesak. Apakah saya harus terus menunggu diri saya terdesak oleh pengaruh dari luar, baru kemudian saya menjadi manusia yang hidup hari ini? Kenapa tidak melakukan yang terbaik hari ini untuk hari esok yang lebih baik?
Dan selalu ada kambing hitam pada setiap persoalan. Bahkan soal kecil.