Cita Rasa Festival Jembrana adalah sebuah cita-cita. Sebuah rintisan festival desa untuk merayakan cerita, cita rasa dan mempromosikan kepedulian lingkungan, budaya dan kemanusiaan. Cerita Rasa Festival Jembrana digagas dan diselenggarakan oleh Bali Tersenyum, sebuah sanggar literasi di banjar Brawantangi Taman, Desa Tukadaya.
Cerita Rasa dilaksanakan selama satu hari, pada Sabtu, 30 Juli 2022 mulai pukul 12:00 hingga 21:00 wita. Event rintisan festival desa ini dijadikan ruang untuk bersama-sama saling mendengar, merasakan, berbagi dan mendokumentasikan cerita, rasa dan peristiwa, bertempat di halaman Rumah Baca Bali Tersenyum.
Ide awal dari rintisan kegiatan festival desa ini, datang dari rencana pemutaran film pendek yang diproduksi Sanggar Bali Tersenyum, untuk ditonton bersama kru dan pemain yang berasal dari desa setempat. Film tersebut berjudul @ItsDekRaaa yang mengambil lokasi syuting di Banjar Pangkung Jajang, Desa Tukadaya pada bulan November 2021. Pemutaran film inilah yang kemudian menjadi puncak acara, yang diawali dengan presentasi kuliner, pelatihan fotografi, melukis bersama, dan pentas cerita.
Hal yang khas di Jembrana adalah pemanfaatan sisa pembuatan minyak kelapa menjadi menu masakan yang khas, dan enak. Makanan itu terbuat dari sisa rebusan santan setelah minyaknya dipisahkan, yang disebut roroban. Roroban kemudian ditambahkan dengan bumbu bali dan direbus beberapa saat, maka jadilah kuah kental yang gurih.
Kuah tersebut kemudian dicampur dengan berbagai jenis sayuran rebus, yang kemudian disebut jukut serapah. Lauk ini umumnya disajikan dengan lontong, sehingga dikenal sejagat sebagai lontong serapah khas Jembrana.
Keberadaan lontong serapah sudah mulai jarang ditemukan di Jembrana. Hal ini disebabkan oleh sudah jarangnya pembuatan minyak kelapa tradisional dilakukan oleh masyarakat setempat. Seperti kita tahu, minyak kelapa sudah di gantikan oleh minyak sawit kemasan.
Kamera sudah lekat dengan remaja kita, karena setiap smartphone sudah dilengkapi dengan kamera yang bagus. Hal itu mendorong pelaksanaan pelatihan fotografi bagi remaja, guna memperkenalkan dasar-dasar fotografi, memperkenalkan profesi fotografer dan bagaimana usaha foto & video itu berjalan.
Yang unik dari program pelatihan fotografi di Cerita Rasa Festival adalah, peserta diajak untuk memotret tanpa kamera. Aktifitas ini adalah untuk mengasah kesadaran visual, mengenai apa yang dilihat, apa yang menarik dan bagian mana dari objek foto yang akan diambil. Kesadaran visual inilah yang akan menjadikan foto yang diambil memiliki makna dan cerita, dan menjadi jalan menuju jenjang dari sekedar “tukang cekrek aplud” menjadi fotografer.
Selain itu, peserta juga mendapat cerita dari dua orang pengusaha foto dan video di Jembrana, yaitu Dwi Artawan pemilik Relief Studio dan Komang Triadi pemilik Candra Photography studio. Mereka berdua memberi semangat pada peserta, bahwa segala sesuatu harus dimulai dari nol. Dan jika memiliki semangat, maka nol akan bergerak menjadi satu, dua, dan seterusnya, tergantung pada semangat belajar masing-masing.
Menggambar bersama dalam Cerita Rasa kali ini, diikuti oleh tidak kurang dari tiga puluhan anak. Mereka datang dari beberapa banjar di Desa Tukadaya, dan ada juga dari desa sekitarnya. Program melukis ini merupakan ruang bermain dan belajar bagi anak-anak. Kegiatan ini, lebih ditujukan sebagai momen beraktivitas bersama, baik itu kerjasama antar anak-anak dan juga pendampingan oleh orang tua.
Setelah kurang lebih dua jam, karya anak-anak kemudian dipajang sebagai sebuah pameran bersama. Setiap anak kemudian bertindak sebagai juri, bagi lukisannya sendiri dan lukisan kawan lainnya. Mereka berhak memilih tiga lukisan yang menurut mereka terbaik, terbagus, atau yang mereka suka.
Aktivitas menjuri ini, dijadikan ajang bagi anak untuk mepresentasikan karya pada teman-temannya. Di sini anak-anak juga berkesempatan mengapresiasi dan menunjukkan aspirasinya dalam memilih karya terbaik versi mereka sendiri.
Dalam sesi menggambar ini, kami mengundang perupa muda asal desa Tukadaya, Wayan Wasudewa, yang banyak bermain-main di ranah mural dan tato. Kehadiran Wayan yang dikenal dengan sign WSDW menjadi sebuah gambaran tentang jalan berkesenian.
Secara tidak langsung, kehadiran orang dewasa yang melukis bersama anak-anak menjadi role model bagi mereka, yang selama ini hanya mengetahui menggambar adalah sempilan pelajaran di sekolahnya. Di sini mereka akan tahu bahwa seni juga bisa menjadi profesi, dan ada sekolahnya hingga perguruan tinggi. Ada juga orang yang memilih berkesenian sebagai jalan hidupnya.
Mesatua atau mendongeng merupakan pola penanaman nilai-nilai kehidupan yang sangat penting di dalam keluarga. Cerita rasa menghadirkan program pentas cerita, berupa mendongeng dan membaca cerita. Malam itu, tampil Ayu Nila yang membaca cerita dari buku karya Made Taro, sebuah dongeng berjudul Padi dan Hama Wereng, dan juga Melany yang mendongeng tentang balas budi semut pada burung merpati.
Dua konsep bercerita yaitu membacakan cerita dari buku dan bercerita secara hafalan sengaja ditampilkan di Cerita Rasa Festival Jembrana. Hal ini untuk memberi gambaran, bahwa bercerita tidak melulu menghafal diluar kepala, tapi bisa juga dengan membaca dari buku. Program ini ditujukan untuk memancing kembalinya minat orang tua bercerita atau mendongeng untuk anaknya. Yang juga semoga dapat meningkatkan minat baca di dalam keluarga-keluarga pedesaan.
Sebelum memulai mendongeng, Melany sempat memberikan gambaran apa itu dongeng dan bagaimana kemudian ia bekerja mengasah imajinasi anak-anak pendengarnya. Dengan mendongeng bagi anak-anak, kita juga sedang merangsang minat baca mereka.
Ketika imajinasi anak-anak mulai tumbuh, maka minat mencari tahu akan tumbuh. Lalu ke mana mereka akan mencari selain dengan membaca? Maka ada kewajiban lain, yaitu memberi contoh dan memberi fasilitas berupa buku bacaan yang cukup dan layak sesuai perkembangan usia anak-anak.
Film pertama yang diputar yaitu Pekak Kukuruyuk, sebuah film dokumenter berdurasi dua puluh menit, yang merupakan produksi program Eagle Award Metro TV. Pekak Kukuruyuk berkisah tentang kehidupan Pak Made Taro, seorang pelestari dongeng dan permainan tradisional. Karya Agung Yudha ini dipilih, karena berkaitan dengan program pentas cerita, yang mengangkat dongeng dan bercerita sebagai sebuah aktifitas yang perlu tetap dilakukan disetiap rumah orang tua bagi anak-anaknya.
Film selanjutnya adalah film berjudu Besok Saya Tidak Masuk Sekolah karya Oka Sudarsana. Fiksi pendek berdurasi enam belas menit ini berkisah tentang Ginar, seorang anak SD di pelosok Kintamani yang berjuang menempuh pendidikan Sekolah Dasar. Besok Saya Tidak Masuk Sekolah menggambarkan sisi lain dari keindahan dan kemegahan pulau Bali di mata dunia, sekaligus juga menyentil dunia pendidikan di negeri kita tercinta.
Film terakhir adalah @ItsDekRaaa. Film ini bercerita tentang kehidupan remaja di pedesaan yang terpapar oleh smartphone dan media sosial. Dekra, tokoh utama dalam film ini ingin sekali menjadi selebriti Tiktok, namun grup Tiktoknya terancam bubar karena salah satu temannya menghilang secara misterius.
@ItsDekRaaa adalah karya warga desa Tukadaya - Jembrana, Made Suarbawa, yang juga pengasuh Rumah Baca Bali Tersenyum. @ItsDekRaaa bercerita tentang seorang remaja perempuan desa bernama Dekra yang ingin menjadi seleb Tiktok, mendapat ancaman kelompoknya akan bubar karena salah satu temannya menghilang secara misterius.
Karya film pendek dari Jembrana yang sedang keliling dunia menuju berbagai festival film ini, dibintangi oleh empat remaja Desa Tukadaya, disyuting di desa mereka sendiri dan sebagian kru adalah warga desa setempat. Malam itu, puluhan orang memadati halaman Rumah Baca Bali tersenyum untuk menyaksikan wajah anak mereka, tetangga, dan alam desanya tampil di layar lebar.
Demikian catatan Cerita Rasa Festival Jembrana 2022 yang penuh kesan. Merdesa!