Kaki[1] Wari seorang petani tulen yang mengabdikan hidupnya bagi bumi pertiwi, yang tidak henti-hentinya memberikan anugerah berlimpah. Kesuburan, air yang terus mengalir, hingga panen yang selama bertahun-tahun selalu membuat Kaki Wari tersenyum lebar saat menuntun sapi-sapinya menarik cikar[2] yang dipenuhi hasil panen.
Kaki Wari termasuk petani yang terpandang dan dihormati. Selain karena usianya yang termasuk sepuh, dia memiliki sejumlah sawah yang luas di beberapa desa yang berbeda. Setiap sawah yang baru dibeli selalu sempat digarapnya sendiri, sebelum kemudian diserahkan pada seorang penyakap[3]. Hingga suatu kali dia membeli sebidang sawah seluas 45 are yang menjadi sawah garapannya hingga kini. Sawah yang terletak persis berbatasan dengan hutan jati yang merupakan wilayah penyangga Taman Nasional Bali Barat itu, memiliki struktur tanah yang agak miring. Tanahnya lebih tinggi di bagian timur dan semakin rendah di arah barat, sehingga petak-petak sawah harus dibuat kecil memanjang dan bertingkat-tingkat mengikuti struktur tanah yang ada. Belum lagi bongkahan batu berukuran sangat besar teronggok di sana-sini, semakin membuat areal persawahannya tampak unik.
Di sisi timur terdapat saluran irigasi yang mengalir dari dalam hutan yang selama ini menjadi sumber pengairan bagi beberapa kelompok subak[4] di desa tersebut. Sisi sebelah utara ditumbuhi rimbunan pandan berduri yang berbatasan langsung dengan hutan jati yang disekat oleh sebuah jalan tanah selebar kurang lebih dua meter. Di sebelah barat mengalir sebuah kali kecil berbatu dengan sumber air berasal dari dalam hutan yang memiliki banyak mata air jernih dan sejuk sepanjang tahun. Sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan lahan milik petani setempat.
Lahan persawahan ini menjadi kesukaan Kaki Wari. Semenjak dibeli, tidak pernah sekalipun diserahkan pada penyakap dan kebiasaannya membeli sawah berhenti seketika. Di sisi timur, Kaki Wari membiarkan sepetak tanah kering untuk tempatnya mendirikan gubuk sederhana sebagai rumah tinggal selama musim menggarap sawah. Itu berarti nyaris sepanjang tahun dia tinggal, karena sumber air yang melimpah membuatnya bisa bercocok tanam sepanjang tahun. Apapun yang ditanamnya tumbuh dengan subur dan memberi hasil yang memuaskan.
Dalam usinya yang menginjak 75 tahun, tubuhnya masih cukup kuat untuk menggarap lahan tersebut. Anak-anak Kaki Wari sering memintanya untuk pensiun dan beristirahat. Tapi bagi Kaki Wari, sawah dan lumpur adalah bagian yang tidak mungkin dipisahkan dari kehidupannya.
“Ini saatnya Bapa[5] menikmati hasil keringat selama puluhan tahun, kami semua sudah bekerja dan punya penghasilan untuk membiayai hidup keluarga kita. Bahkan hasil pembagian dari penyakap sawah-sawah Bapa sudah lebih dari cukup sebagai uang pensiun Bapa” Demikian kata anak laki-laki tertua Kaki Wari yang bernama Wayan Gede Idep Wirawan berusaha meyakinkan.
“Ini bukan masalah uang, bukan masalah harta, ini masalah arti sebuah kebahagiaan. Dimana Bapa bisa merasa senang di sana Bapa akan menghabiskan sisa hidup Bapa.”
“Tyang[6] mengerti, tapi usia Bapa sudah cukup untuk mengambil waktu istirahat. Kami khawatir dengan kesehatan Bapa.” Idep masih bersikeras meluluhkan hati Ayahnya, dan berusaha menunjukan betapa dia sayang pada laki-laki yang baginya sudah mulai renta itu.
“Yan, kesehatan buat Bapa bukan tentang diam dan istirahat, tapi kebebasan jiwa untuk berbuat. Tubuh Bapa terasa begitu sehat saat menenggelamkan diri dalam sejuknya lumpur dan aromanya yang khas terhirup hingga paru-paru dan memenuhi rongga jantung, sehingga detaknya begitu seimbang dan selaras dengan detak alam semesta.” Kaki Wari tersenyum tenang sementara tangannya mengelus dada.
Idep dan adiknya, Nengah Jineng Sastrawan, hanya bisa diam membisu mendapat ceramah dari Bapa mereka. Tidak ada kata yang bisa melawan keinginan Kaki Wari dalam menjalani kehidupnya sendiri. Percakapan antara anak dan ayah yang belangsung pada malam bulan purnama di rumah mereka yang terletak di tengah desa itu, terhenti sampai disitu.
Rumah yang terhitung paling besar dibandingkan dengan rumah disekitarnya, selalu sepi tanpa penghuni beberapa tahun terakhir ini. Istri Kaki Wari telah meninggal lima belas tahun yang lalu dalam tidurnya yang tenang. Kaki Wari dan istrinya memiliki filosopi sederhana tentang hidup. Jika kehidupan dijalani dengan tulus dan penuh kejujuran, maka kebahagiaan akan selalu menyertainya. Sejak berpulangnya Dadong[7] Wari, Kaki Wari lebih memilih tinggal di gubuknya ketimbang di rumah besar yang baginya seperti ruang hampa yang tidak memberinya keleluasaan untuk sekedar bernafas. Sementara Wayan Idep si anak tertua harus menempati rumah dinas, setelah melenggang ke gedung dewan setelah adanya proses pergantian antar waktu. Seorang anggota dewan dari partainya di recall karena terbukti terlibat kasus pelecehan seksual terhadap seorang perempuan pemandu karaoke. Sementara Jineng lebih memilih tinggal di rumah barunya yang terletak di pusat kota, dengan alasan lebih dekat dengan tempat usahanya, tapi sejatinya itu hanya karena istri mudanya yang mantan mami kafe remang-remang tidak senang tinggal di desa.
* * *
Secara fisik, Kaki Wari tampak semakin tua dalam kesendiriannya. Tapi bukan itu yang mengganggu pikirannya. Pada pagi hari saat embun masih menguasai pucuk-pucuk daun dan rerumputan, saat mentari sedang berusaha menembus rimbunan daun jati, Kaki Wari sering termenung, duduk di balai-balai bambu di depan gubuknya, matanya memandang jauh ke arah hamparan sawah di hadapannya. Dua bulan lalu musim penghujan telah berakhir dan musim kering menjelang. Sepanjang puluhan tahun, tiada pernah ada rasa khawatir dalam benak Kaki Wari akan kekurangan air bagi sawahnya. Tapi belakangan, ada sesuatu yang dirasa berubah.
Kali kecil berbatu di ujung barat tidak lagi mengalirkan air jernihnya, hanya genangan-genangan kecil yang tersisa, bahkan saat musim penghujan airnya akan mengalir dengan warna coklat tanah. Saluran irigasi di atas sana pun airnya mulai surut dan tidak sanggup lagi memenuhi kebutuhan bercocok tanam padi pada musim kemarau seperti sekarang ini, airnya hanya cukup untuk sekedar menopang pertumbuhan kedelai yang disemai bulan lalu.
“Semua memang tidak ada yang sanggup lepas dari perubahan. Pun keluargaku dan mahluk yang bernama manusia dan tanah ini serta alam semesta.” Batin Kaki Wari. Dia menenggak sisa kopi dari dalam cangkir yang terbuat dari bambu. Tangannya mengusap rambut dan wajahnya. Dia seperti sedang merasakan betapa dirinya pun sudah merubah total. Rambut yang beruban dan selalu rontok, kulit wajahnya yang semakin keriput. Kering dirasakan di sekujur kulit yang membalut tubuhnya, warna legam itu menyimpan berbagai kisah kehidupan tanah ini.
Matahari menyinari hamparan sawah, menerpa bulir embun di pucuk-pucuk daun kedelai yang kemudian memendarkan warna perak.
Kaki Wari berjalan menyusuri pematang saluran irigasi, dia melangkah masuk ke dalam hutan. Air bening mengalir sangat kecil di sepanjang saluran itu, sehingga dasar lumpur terlihat jelas. Daun-daun kering terkumpul pada ranting yang melintang, membuat bendungan-bendungan kecil. Rumput-rumput liar tumbuh di sepanjang saluran air tersebut.
Semakin dalam Kaki Wari masuk ke dalam hutan, semakin terang matahari bersinar. Tidak ada rimbunan daun jati yang menghalangi sinarnya menghujam bumi. Bukan pula karena pohon jati sedang musim meranggas, tapi pohon-pohon jati itu seperti menghilang. Mata Kaki Wari menengadah memastikan, matanya tertumbuk matahari yang semakin tinggi, matanya silau, pandangannya menjadi gelap tidak jelas apa yang tampak di hadapannya, dia seperti kehilangan kemampuan penglihatan, dan dia semakin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, bahkan pohon-pohon jati yang begitu lebat tidak tampak oleh matanya yang semakin berkunang-kunang. Kemudian dia melangkah mengandalkan jejak ingatan masa lalunya tentang hutan ini. Jalan setapak itu, rimbunan semak belukar, rumpun rotan yang saling membelit, batang-batang pohon jati itu, semua masih tersimpan dalam memori masa lalunya, dan kini dia harus mencari jalan pulang karena dunia sudah semakin gelap baginya.
* * *
Sosok laki-laki berkulit legam dengan rambut beruban dan wajah berkeriput itu tampak terbaring di atas ranjang besi bercat hijau muda, dengan selimut berwarna abu-abu pucat. Pada tangannya tertancap jarum yang menjadi saluran bagi cairan infus yang mengalir dari botol berlabel merah yang tergantung pada sebuah tiang stainless di sisi ranjang. Lelaki itu adalah Kaki Wari, dia harus menjalani perawatan intensif setelah dua hari yang lalu, tubuhnya ditemukan oleh seorang pencari madu, tergeletak di dekat saluran irigasi, di antara pangkal batang pohon jati sisa penebangan. Pencari madu itu yang kemudian menggendong tubuh renta Kaki Wari keluar dari dalam hutan dan mengabarkan berita itu pada Wayan Idep.
Kaki Wari merasa sangat bingung ketika siuman dan menyadari tubuhnya tergeletak dalam kamar bersih bercat putih. Tapi dia tidak sanggup melakukan apapun, tubuhnya tidak bisa dia gerakkan, hanya senyum yang selalu sanggup mengembang bagi siapapun yang menjenguknya.
“Kenapa Bapa harus disini, kapan kalian akan membawa Bapa pulang?” tanya Kaki Wari sore itu pada Wayan Idep.
“Bapa tenang saja dulu. dokter akan merawat hingga Bapa cukup sehat untuk pulang.” Idep mencoba menjelaskan.
Kaki Wari hanya menarik nafas dalam-dalam. Ruangan VIP rumah sakit yang cukup luas itu tampak lengang, hanya Idep yang menunggu disana.
“Apa adikmu Jineng akan kemari?”
“Ya nanti dia pasti kemari” Kata Idep setelah diam dengan wajah bingung untuk beberapa saat. Nada suaranya terdengar gelagapan dan penuh keraguan.
“Suruh dia kemari agar kita bisa bicara, kapan lagi kita bisa berkumpul seperti ini?” suara Kaki Wari terdengar lemah dan kurang jelas pengucapannya.
“Tentu saja, saya akan menelpon agar dia segera kemari.” Idep bangkit dari duduknya dan melangkah keluar dari ruang perawatan menuju ruang depan yang menjadi bagian dari ruang perawatan VIP tersebut.
* * *
Hari berganti hari, Kaki Wari masih dirawat di ruangan yang sama. tidak ada perubahan yang mendasar pada kondisinya. Tidak ada gerakan tubuh, dia tampak lemah tanpa daya.
“Mana Jineng, kenapa dia tidak kunjung datang? Apa kau sudah menelponnya? Apa katanya?” pertanyaan itu terus mengalir dari kerongkongan Kaki Wari setiap Idep memasuki ruangan itu tanpa membawa Jineng serta, sehingga Idep tidak punya jawaban lain lagi.
“Bapa sabar, Jineng pasti segera datang.”
Pertanyaan dan jawaban itu selalu silih berganti terdengar, hingga hari ke tujuh, Jineng muncul di ruang perawatan Kaki Wari, wajahnya kusam dan tidak bergairah.
“Kenapa baru datang Jineng, apa kau sakit? Apa anak-anakmu sehat dan keluargamu baik-baik saja? Bapa khawatir terjadi apa-apa pada kalian.”
Jineng tidak sanggup berucap, dia menggeleng dan mengangguk pelan berulang kali, wajahnya tertunduk menghujam ujung kakinya yang kokoh menancap ke lantai, agar sanggup menopang tubuhnya. Tidak ada kata-kata lagi, sunyi diantara mereka yang dibiarkan berdua saja dalam ruanggan itu. Mata tua Kaki Wari bermain sendiri, menyiratkan penantian akan apa yang telah lama diharapkannya. Tapi Jineng tetap membisu, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Jineng, hingga dua orang berseragam warna abu-abu gelap masuk dan mendekatinya. Seorang dari mereka membisikkan sesuatu di telinga Jineng, kemudian mereka pergi meninggalkan ruang perawatan tersebut. Jineng berjalan diapit oleh dua orang laki-laki berseragam abu-abu.
Mata Kaki Wari tertutup perlahan, bibirnya menyiratkan senyum tenang penuh kedamaian.
* * *
Satu minggu setelah kunjungannya ke ruang perawatan Kaki Wari, Jineng dinyatakan bebas dari tuduhan sebagai pelaku sekaligus penadah aksi penebangan liar hutan jati di kawasan utara, setelah menyerahkan sejumlah uang jaminan sehingga memiliki kesempatan mengikuti prosesi upacara pengabenan ayahnya.
Setelah berpuluh-tahun bergelut dengan ketulusan dan keyakinannya terhadap Ibu Pertiwi, kini Kaki Wari telah mencapai titik tertinggi pengabdiannya, di mana dia telah kembali ke dalam serat-serat inti alam semesta.
Denpasar, Agustus 2008
Pernah Cetak Denpost
[1] Kakek
[2] Pedati
[3] Petani penggarap dengan sistem bagi hasil
[4] Organisasi yang mengatur sistem pengairan/irigasi di Bali
[5] Bapak
[6] Saya
[7] Nenek