Dongeng gagak dan sepotong daging menggambarkan sikap angkuh yang mecelakai diri sendiri. Keangkuhan dan kesomobongan dapat membuat kita tidak mawas diri dari niat-niat jahat yang mungkin ditujukan pada kita. Sikap angkuh, suka dipuji-puji berlebihan merupakan jalan masuk dari kejahatan. Mabuk sanjungan menjadikan kita lemah dan mudah terjerumus pada jebakan atau jalan yang sesat.
Simaklah Dongeng gagak ini. Bagaimana ia kehilangan harta berharganya hanya karena kata-kata rubah yang memabukan rasa ingin disanjung dan dipuja. Dongeng ini menarik untuk dibaca dan disimak, agar kita mendapat cerminan cara bersikap menghadapi pujian-pujian kosong.
Dikisahkan, pada suatu hari yang sangat cerah, Gagak baru saja mendapatkan sepotong daging dan membawanya terbang melintasi pohon-pohon di hutan. Rubah yang sedang berkeliaran mencari makan, mengendus bau daging lezat lezat yang dibawa oleh Gagak. Segera saja, Rubah berlari mengejar Gagak, sambil bersembunyi di atara bayangan-bayangan pohon, agar tidak diketahui Gagak.
"Hem, Gagak hinggap di dahan pohon besar itu. Tapi bagaimana caraku merebut daging yang dibawanya?" gumam Rubah dari balik pohon. Rubah ingin memanjat ke pohon itu. Tapi tentu saja kalau Gagak tahu, ia akan segera terbang menjauh dan mencari pohon yang lebih tinggi, atau dia akan pergi sejauh-jauhnya. Rubah berpikir dan mencari akal.
"Hai Gagak ratu dari para burung, betapa cantik engkau kulihat dari bawah sini. Maukah engkau turun dan berbicara denganku? Marilah kita bersahabat." sapa Rubah dengan kata-kata manis. Dengan harapan, Gagak mau menyahut dan daging itu akan terlepas dari paruhnya.
Namun, gagak diam saja. Ia hanya menyeringai dan menatap sesaat ke bawah, di mana Rubah duduk. Kemudian Gagak memalingkan wajah dan membusungkan dada, agar kelihatan tambah gagah dan anggun.
"Oh, Gagak, aku sangat kagum dengan bulu-bulu sayapmu yang halus mengkilat. Bolehkah aku melihatnya dari dekat? Atau kalau diijinkan, aku ingin sekali membelainya." ucap Rubah lagi, dengan suara yang merayu.
Gagak masih tetap diam tidak bersuara, mendengar sanjungan Rubah. Gagak merengangkan sayapnya, kelihatannya ingin memamerkan bulu halus legamnya, lalu mengepak beberapa kali, kemudian membalik tubuh membelakangi Rubah.
"Hai, Gagak sahabatku. Kenapa engkau diam? Katakan sesuatu, ingin sekali aku mendengar suaramu yang nyaring dan dipercaya sebagai pesan dari nirwana. Ayo, bersuaralah!" ujar Rubah dengan suara yang makin keras dan tidak sabar, tetapi tetap saja Gagak tak memedulikannya.
"Hei gagak yang sombong. Ku akui bulu sayapmu indah, Tapi Kau tak pantas menjadi pembawa pesan nirwana, karena Kau hanya Gagak Gagu yang bisu, tak sanggup berkata apapun. Tiadakan sudi aku menganggapmu ratu para burung, karena engkau ternyata burung yang angkuh dan tinggi hati!" seru Rubah dengan nada suara mengejek.
Mendengar kata-kata ejekan Rubah, Gagak marah dan segera terbang meluncur menyambar Rubah, sambil berteriak keras. "Gaaak! Gaaak!" Karena diliputi kemarahan, tanpa disadarinya, daging yang berada di paruhnya terlepas dan jatuh. Dan Rubah menangkap dengan sigap rejeki nomplok, berupa potongan daging yang lezat itu.
Rubah segera berlari membawa daging itu. Dia menghindar ke balik semak-semak dan segera mencari tempat persembunyian di gua-gua batu di hutan itu. Gagak yang telah berusha mengejar, akhirnya pasrah dan hinggap di dahan pohon yang cukup tinggi, dengan hati kesal dan perut lapat.