Dongeng Keong dan Kijang Balapan Lari

Dongeng Keong dan Kijang ini saya tulis berdasarkan dongeng ingatan masa kecil, dimana saya sering mendengarkan dongeng yang dituturkan nenek dan kumpi (ibunya nenek) saya. Waktu itu, dongeng ini dituturkan dalam bahasa Bali dengan judul I Kakul lan I Kidang. Selamat menikmati.

Dongeng Keong dan Kijang

Di sebuah sungai yang melintasi hutan belantara, hiduplah I Kakul, seekor keong hitam, bersama keluarga besar yang jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan, berumah di antara batu-batu di sepanjang sungai itu.

I Kakul memiliki sahabat bernama I Kidang, seekor kijang muda yang energik dan selalu datang untuk minum di dekat batu yang menjadi rumah tinggal I Kakul. Setiap siang, mereka menghabiskan waktu untuk saling bertukar cerita, dan yang paling mereka suka adalah berteka-teki. Namun sayangnya, I Kidang selalu kalah dalam setiap permainan tebak-tebakan itu. Hingga pada suatu siang dia merasa kesal karena lagi-lagi, teka-tekinya dapat ditebak dengan mudah, akhirnya dia mengeluarkan tantangan. “Eh kamu Kakul, benarlah aku tiadakan pernah menang dalam permainan teka-teki melawanmu. Sekarang, aku menantangmu untuk berlomba lari melawanku. Siapapun yang menang, maka haruslah diakui sebagai yang paling hebat dan kuat di hutan ini!”

Dengan lesu, I Kakul menerima tantangan itu. Sedangkan I Kidang segera melonjak gembira karena yakin akan bisa menang. “Bagus, besok siang adalah waktunya. Kita akan beradu lari dari sini hingga ke hulu sungai. Siap-siaplah untuk kalah, wahai sahabatku Kakul.” kata I Kidang sambil tertawa nyaring dan berlari meninggalkan sungai.

I Kakul kemudian mengumpulkan saudara-saudaranya dan mencari cara untuk bisa melawan kecepatan lari I Kidang. Menjelang malam, mereka menemukan cara dan segera menyampaikannya kepada keluarganya, bahwa mereka harus membuat barisan di sepanjang sungai hingga ke hulu untuk membantu I Kakul memenangkan pertandingan.

Di hari yang ditentukan, tepat tengah hari I Kidang sudah muncul. Setelah minum beberapa teguk air, mereka pun bersiap-siap. “Iih Kakul, aku tentu tidak dapat melihatmu di dalam air saat berlari, bagaimanakah caraku mengetahui keberadaanmu?” tanya I Kidang. I Kakul menyahut, “Iih Kidang, kalau kau ingin mengetahui keberadaanku, panggillah dan aku akan menyahut. Marilah kita mulai.” Mereka kemudian bersiap dan I Kidang yang memberi aba-aba. “Bersiap!, mulai!” teriak I Kidang dan kemudian dia melesat berlari di antara pohon-pohon di pinggir sungai.

Beberapa saat kemudian. “Hei Kakul?!” panggil Kidang. “Ya, aku di sini!” sahut Kakul. Mendengar suara kakul di depannya, I Kidang mempercepat larinya. Ketika hampir setengah perjalanan, dengan napas terengah-engah I Kidang memanggil I Kakul. “Hei Kakul!” teriaknya. “Ya, aku di sini!” jawab Kakul jauh di depan. Demikian terus, setiap dipanggil I Kakul selalu terdengar sahutannya semakin jauh di depan, I Kidang terus berusaha berlari sekencang-kencangnya.

Mendekati hulu sungai, I Kidang mulai kelelahan dan sempoyongan. Larinya pun semakin lambat. “Hei Kakul….” panggil I Kidang dengan suara pelan ketika tiba di hulu sungai dengan kaki gemetar dan tidak sanggup untuk berdiri lagi. “Ya, aku di sini?” jawab kakul tegas dari dalam air.

Berhari-hari setelah perlombaan itu, I Kakul kebingungan dan bertanya-tanya, kenapa I Kidang tidak pernah muncul untuk minum, apa yang terjadi? Apakah dia sakit atau dia marah karena dia kalah? Hingga suatu siang, I Kidang muncul dengan langkah terpincang-pincang. “Hei Kakul, kau memang hebat, kaulah yang terhebat di belantara ini.” kata Kidang pelan ketika kakinya menyentuh air. “Kidang, ketahuilah, kau adalah yang tercepat di belantara ini. Kau tahu, yang menjawab panggilanmu saat berlari bukanlah aku, tapi keponakanku, sepupuku, bibiku, pamanku, nenekku, kakekku, hingga buyutku yang tinggal di hulu sungai itu. Aku hanya I Kakul si lambat, dan kau I Kidang si pelari cepat.”

Sejak saat itu, mereka kembali menjadi sahabat yang saling bertukar pengalaman, cerita dan teka-teki.

 

ilustrasi: Yurika Dewi