Pementasan Bali Eksperimental Teater, Pan Balang Tamak Reborn Yang Ngawur

Bulan November 2019 saat belum ada November rain di Denpasar. Waktu itu tanggal 6, saya bersama keluarga menyaksikan pementasa BET (Bali Eksperimental Teater) untuk pertama kali dalam hidup saya, kendati masa kecil saya bertetangga dengan mereka. Kesan pertama yang saya bisa katakan dalam dua kata pada pandangan pertama menyaksikan BET adalah, “Mereka ngawur!”

Sebelum pementasan dimulai, saya sempat bertegur sapa dengan penulis dan sutradara pementasan yang berjudul Pan Balang Tamak Reborn ini, Nanoq Da Kansas. Wajahnya kelihatan tegang, entah karena gugup, menjaga wibawa atau sedang akting grogi. Dia berlalu-lalang di antara remaja putri yang sedang berias, memperhatikan salah seorang pemain yang sedang mengenakan pakaian penari, melihat sepintas putranya; Elang, yang sedang dibantu mengenakan pakaian yang terbuat dari karton. Tidak lupa mereka berfoto bersama.

Bali Eksperimental Teater di Bali Jani

BET dalam Festival Bali Jani yang berlangsung di Taman Werdhi Budaya – Denpasar, mendapat kapling panggung di depan Gedung Kriya. Kengawuran itu mulai terasa ketika waktu pementasan sudah tiba. Seorang pembawa acara mengarahkan penonton untuk naik ke atas panggung, panggung yang disiapkan oleh panitia dengan karpet merah itu. Suara merdu pembawa acara yang menggema dari empat titik pengeras suara, mengatakan bahwa BET akan menggunakan areal halaman di pinggir sungai, sebagai ruang pentas mereka.

Setelah saya dan penonton lain duduk di panggung, belasan muda-mudi berlarian ke penjuru halaman rumput di pinggir sungai, mengambil bungkusan tas kresek dan mengeluarkan isinya, daun-daunan. Mereka menebar daun-daun itu di halaman beton di depan panggung, menyiapkan seting pementasan. Di bagian ini saya agak kesal, karena melihat bahwa mereka sama-sekali tidak siap dengan pementasan, bahkan ketika pembawa acara telah mengumumkan bahwa pementasan telah mulai. Ya, terasa ngawur!

Belasan muda-mudi itu kemudian duduk, mereka hanya mengenakan kamben dan kaos bebas berwarna gelap, persis seperti muda-mudi banjar yang sedang ikut sangkep di balai banjar. Saat tokoh klian banjar memasuki kalangan itu, saya mulai menyadari, pementasan memang benar-benar telah dimulai. Apa yang mereka lakukan sejak awal adalah bagian dari skenario pementasan.

Tapi ada satu skenario yang diubah karena kendala teknis. Saya bocorkan di sini. Sampai tanggal 3 November, sang sutradara masih memiliki ide menggunakan layar lebar untuk menayangkan beberapa potongan video yang viral di jagat televisi dan maya negeri ini, sebagai pembuka. Untunglah ide itu gagal. Karena tanpa layar itu, latar pementasan terasa organik. Lampu-lampu dari pedangang yang mangkal dan gedung di seberang sungai seakan lampu kota di kejauhan. Artistik.

Kejelataan Pan Balang Tamak Reborn

Bali-Eksperimental-Teater

Pan Balang Tamak Reborn, kisah warga kerajaan BET yang dianggap licik penuh intrik dalam menghadapi segala situasi. Dalam pementasan BET, dikisahkan bagaimana Pan Balang Tamak berkelit mencari pembenaran untuk membela diri saat terlambat menghadiri kerja bakti. Di tampilkan pula, bagaimana Pan Balang Tamak menciptakan trik kemenangan menghadapi persaingan pentas busana anak-anak. Hingga akhirnya dia berhasil mengecoh raja dengan memanipulasi kematiannya sendiri.

Batang tubuh cerita masa kecil saya tentang Pan Balang Tamak ditikam dan dikoyak dengan nuansa teror; yang pernah terjadi, sedang terjadi, bahkan mungkin masih akan terjadi di negara kita tercinta ini. Teror ini bukan hanya terjadi di Negara – Bali, di mana asal BET. Tapi juga terjadi di Negara Indonesia, bahkan juga di negara api dan negara air, udara, tanah dan seandainya ada juga yang lain-lainnya.

Kembali lagi ke bagian awal yang ngawur, di mana panggung berkarpet merah diserahkan kepada penonton. Sementara itu, Pan Balang Tamak Reborn dipentaskan lesehan di halaman rumput dan beton. Saya merasa BET sedang menyuguhkan keripik renyah dengan tingkat pedas di atas level 10. Pan Balang Tamak yang menjadi representasi rakyat jelata, melata dengan nasib kehidupan mereka hanya menjadi sebuah tontonan bagi mereka yang ada di panggung berkarpet merah itu. Ya memang, ini hanya sebuah tontonan.

Kejelataan kembali ditampilkan dalam koreografi sederhana. Saya kira tidaklah dibutuhkan sutradara hebat, karena anak TK sering mementaskannya di acara perpisahan mereka. Tari menanam jagung, di mana remaja lelaki bergaya bapak tani yang mengayunkan cangkul dan remaja perempuan menggoyangkan pinggul berlaga jadi ibu tani yang menanam benih jagung. Namun tentu ini permainan orang dewasa, karena menanam jagung versi BET kini bukan lagi di kebun kita, tapi di beton kita; seperti itu yang saya dengar dari nyanyian Anak Badai yang menjadi pengiring pementasan. Sekali lagi ya, ini hanya sebuah tontonan.

Mungkin karena perubakan lingkungan, sosial kemasyarakatan dan hawa politik, warga masyarakat di desa Pan Balang Tamak tidak bisa mengapresiasi muda-mudi yang menyuguhkan kreatifitas. Bukannya saling mendukung, mereka malah saling ejek dan saling menjatuhkan antar mereka. Namun ketika anak Pan Balang Tamak muncul menyanyikan lagu Bongkar karya Iwan Fals, menawarkan raskin, bansos, subsidi, dan sebagainya; masyarakat menjadi beringas. Berlomba-lomba saling sikut mencari koneksi, mengajukan proposal agar mendapat komisi.

Tingkah yang lebih modern dalam masyarakat negara yang dipanggungkan BET, tampak saat kabar kematian Pan Balang Tamak mulai tersiar. Informasi menyebar dari gadget ke gadget, menghasilkan sinyal yang grengsut menghabiskan lebar frekwensi. Semua berbicara, semua memberitakan; “Pan Balang Tamak mati!”

Kok rasanya tidak ada yang berusaha mengklarifikasi dan mengkonfirmasi kesahihan beritanya. Hingga pengawal raja datang membawa berita, “Pan Balang tamak masih hidup!”

Lagi-lagi tidak ada konfirmasi sumber berita, bahkan oleh seorang raja sekalipun. Malah sang raja langsung main percaya saja dan segera mengambil keputusan. Matilah sang raja karena keputusannya sendiri, dan hoax membuatnya tamat.

Pementasan usai, penonton yang duduk di atas karpet mereh itupun senang dan bertepuk tangan, karena mendapatkan apa yang mereka harapkan. Pan Balang Tamak menang dalam kematiannya.

BET Bertukar Panggung

Bali-Eksperimental-Teater

Pementasan BET (Bali Eksperimental Teater) dengan lakon Pan Balang Tamak Reborn, membuka mata saya bahwa panggung tidak melulu literal. Tempat yang disediakan, tetap dan kaku. Dengan membalik keadaan, bertukar tempat dengan penonton, saya merasa BET berhasil menempatkan Balang Tamak sebagai kita, rakyat jelata.

Saya duga, ini adalah kebiasaan BET yang jarang menggunakan panggung mewah. Hal ini terkonfirmasi dari pernyataan Nanoq Da Kansas dalam sebuah artikel yang ditulis Ketut Syahruwardi Abbas dalam blognya.

”Kami telah melakukannya di Negara (Jembrana) sejak tahun 90-an. Sejak saya dan kawan-kawan di Negara masih aktif di Teater Kene dan berlanjut dengan BET. Hal ini bahkan sempat kami lakukan secara berkesinambungan dalam kurun waktu 5 atau 6 tahunan (1993-1998),”

”Kami memanfaatkan teras atau halaman rumah, ditonton oleh kawan-kawan sendiri dan warga sekitar rumah. Bahkan di lingkungan tempat kontrakan saya dulu, di Banjar Satria, Negara, para ibu-ibu rumah tangga saat itu menjadi terbiasa membujuk anak-anak mereka untuk segera mandi dengan iming-iming mengizinkan anak-anak itu menonton pementasan kami pada malam harinya,”

__Karena Panggung Memakai ”Style Bali” (2012)

Saya rasa BET itu gila, dengan cara ngawur berhasil membuat kami bahagia, dan membuat anak saya yang berumur 8 tahun bertanya, "Kapan lagi ada acara yang seperti ini?" Kami sekeluarga menunggu pementasan selanjutnya.

Sumber kutipan: Karena Panggung Memakai ”Style Bali” | ketutwardi.wordpress.com

Made Birus

Pencerita yang suka berbagi melalui tulisan, foto, tarot dan film yang terus didalami dan dinikmati. Tahun 2019 mengeluarkan buku kumpulan cerpen Politk Kasur, Dengkur dan Kubur. Beraktivitas bersama Minikino, Film Sarad, Mipmap dan Bali Tersenyum.