mengapa kita masih juga bercakap
hari hampir gelap
menyekap beribu kata diantara karangan bunga
di ruang semakin maya, dunia purnama
sampai tak ada yang sempat bertanya
mengapa musim tiba-tiba reda
kita di mana. waktu seorang bertahan di sini
di luar para pengiring jenazah menanti
1967
berjalan di belakang jenazah angina pun reda
jam mengerdip
tak terduga betapa lekas
siang menepi, melapangkan jalan dunia
di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala
di atas: matahari kita, matahari itu juga
jam mengambang di antaranya
tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya
1967
hujan turun sepanjang jalan
hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan
kembali bernama sunyi
kita pandang: pohon-pohon di luar basah kembali
tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba
atas pesan yang rahasia
tatkala angina basah tak ada bermuat debu
tatkala tak ada yang merasa diburu-buru
1967
kita saksikan burung-burung lintas di udara
kita saksikan awan-awan kecil di langit utara
waktu cuaca pun senyap seketika
sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya
di antara hari buruk dan dunia maya
kita pun kembali mengenalnya
kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata
saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia
1967
waktu lonceng berbunyi
percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti
kau berbisik: siapa lagi akan tiba
siapa lagi menjemputmu berangkat berduka
di ruangan ini kita gaib dalam gema. di luar malam hari
mengendap, kekal dalam rahasia
kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi
1967
kupandang ke sana: Isyarat-isyarat dalam cahaya
kupandang semesta
ketika Engkau seketika memijar dalam Kata
terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara
kemudian daun bertahan pada tangkainya
ketika hujan tiba. Kudengar bumi sedia kala
tiada apa pun diantara Kita: dingin
semakin membara sewaktu berembus angina
1968
saat tiada pun tiada
aku berjalan (tiada –
gerakan, serasa
isyarat) Kita pun bertemu
sepasang Tiada
tersuling (tiadagerakan,
serasa
nikmat): Sepi meninggi
1968
jejak-jejak Bunga selalu; betapa tergoda
kita untuk berburu, terjun
di antara raung warna
sebelum musim menanggalkan daun-daun
akan tersesat di mana kita
(terbujuk jejak-jejak Bunga) nantinya: atau
terjebak juga baying-bayang Cahaya
dalam nafsu kita yang risau
1967
GERIMIS KECIL
DI JALAN JAKARTA, MALANG
seperti engkau berbicara di ujung jalan
(waktu dingin, sepi gerimis tiba-tiba
seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu
untuk kembali berduka)
untuk kembali kepada rindu
panjang dan cemas
seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu
supaya menyahutmu, Mu
1968
KARTU POS BERGAMBAR:
TAMAN UMUM, NEW YORK
Di sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnya
duduk di bangku panjang, berkisah
dengan beberapa ekor merpati. Tapi tak disahutnya
anggukmu; tak dikenalnya sopan-santun itu.
New York yang senjakala, yang Hitam panggilannya,
membayangkan diriny turun dari kereta
dari Selatan nun jauh. Beberapa bunga ceri jatuh
di atas koran hari ini. Lonceng menggoreskan akhir musim semi.
1971