Sendiri Membunuh Sepi: Remote mana?

Pada masa jaya Elias Pical dan Icuk Sugiarto, kami dan para tetangga berbondong-bondong menonton tv dirumah tetangga kami, Dewa Aji Komang. Dia satu-satunya penduduk terdekat yang memiliki tv, yang waktu itu dicatu dengan tenaga aki dan warnanya baru dua, hitam dan putih. Semua orang bersuka-cita mendukung pahlawan-pahlawan olah raga yang mengharumkan nama Indonesia. Mengagumi penyanyi dan artis-artis televisi, semuanya tampak begitu cantik, sempurna dan indah.

Kotak ajaib bernama tv itu baru merambah rumah kami sehari setelah pemilu tahun 1992. Yakinlah bahwa ini bukan hasil sumbangan caleg. Warna gambarnya masih dua, hitam dan putih, karena harga tv berwarna tentu saja tidak terjangkau oleh kantong ayah kami yang seorang Guru biasa. Tapi bukan warnanya yang kami persoalkan, tapi rasa bangga yang kami nikmati ketika bisa duduk di depan tv, dalam rumah kami sendiri.

Setiap perubahan berpangkal dari buah pikiran manusia. Tidak ada pilihan ya atau tidak untuk perubahan, karena ia mengalir. Ketika hitam putih menjadi berwarna, tabung cembung menjadi datar, tabung CRT menjadi LCD, analog menjadi digital, semua ada harga yang harus dibayar oleh manusia.

Berangsur hari berangsur tahun, tv hitam putih kami rusak. Dua kali masuk bengkel sebelum akhirnya harus pensiun untuk teronggok di sudut halaman. Dalam kurun enam tahun, ia tergantikan oleh dua generasi baru tv berwarna lengkap. Demikian pula dengan para tetangga, nyaris setiap rumah sudah menikmati tv sebagai hiburan utama kala melepas kepenatan.

Setiap orang telah disentuh oleh kemewahan kecil bernama tv yang semakin penuh warna, dengan pilihan stasiun dan program acara kesenangan masing-masing, tinggal pencet remote. Ketika tv mengisi setiap ruang tamu, ruang keluarga, kamar tidur, dapur, bahkan tidak ada celah dalam rumah yang tidak dilengkapi dengan tv, suasana menonton jadi berbeda dalam kamar-kamar itu. Tidak ada lagi lampu senter yang berkedip di kegelapan malam menelusuri jalan setapak, untuk menyaksikan perhelatan tinju, bulutangkis, drama gong atau sepak bola. Tidak ada lagi kemeriahan seperti dulu.

Kehidupan sepertinya bergerak terbalik. Ketika tv hanya memiliki dua warna, hitam dan putih, ia memiliki penonton yang begitu banyak dan meriah. Namun ketika warna tv hadir lengkap dan tampak semakin indah, suasana menjadi sunyi tanpa gairah. TV sepertinya hanya sebuah pelarian untuk membunuh sepi, menemani kesendirian, menghilangkan kejenuhan, karena tidak ada teman bicara.

Saat ini bukan soal mahal harga tv atau banyaknya kanal, namun harga dari imbas perubahan itu yang menjadi soal, saat manusia merindukan suasana menonton, bukan tontonannya. Ketika kami duduk berdesakan di depan tv hitam putih ukuran empat belas inci di rumah tetangga, kami tidak membayar harga apapun selain ucapan terima kasih.

Suasana menonton kini sudah menjadi komoditi pasar hiburan di café, restaurant, club menonton, yang menyediakan tayangan layar lebar. Penonton yang datang adalah orang-orang yang bersedia membayar harganya. Namun di antara mereka selalu ada jarak, dibatasi oleh uang dan ego yang membawa mereka kembali ke dalam diri mereka sendiri yang kesepian.

Selalu ada harga yang harus dibayar ketika kita menginginkannya, bahkan ketika kita menolaknya.

Made Birus

Pencerita yang suka berbagi melalui tulisan, foto, tarot dan film yang terus didalami dan dinikmati. Tahun 2019 mengeluarkan buku kumpulan cerpen Politk Kasur, Dengkur dan Kubur. Beraktivitas bersama Minikino, Film Sarad, Mipmap dan Bali Tersenyum.