Membaca satu judul cerpen dari seorang penulis memberikan saya gambaran yang kuat akan gagasan dari penulis tersebtu. Namun, akan berbeda sensasinya ketika membaca beberapa judul cerpen yang telah dipilih menjadi satu buku. Selain sensasi aroma kertas dan tinta yang semerbak ketika membuka buku pertama kali, dari sebuah rangkaian cerpen dalam satu buku, saya bisa membaca ruang hidup dan rentang waktu pemikiran serta kegelisahan yang mengganggu jiwa si penulis, hingga tertumpah ke dalam cerpen-cerpen itu.

Cerpen Lelaki Garam karya Made Adnyana Ole, saya baca pertama kali tahun 2017 ketika diterbitkan di koran Kompas, dan ternyata juga menjadi salah satu cerpen yang masuk dalam buku cerpen pilihan Kompas 2017, Kasur Tanah. Setelah membaca, kepala saya berusaha menguliti isi kepala Ole. Apa yang masih tersembunyi di balik cerita itu, selain kisah pertemuan asam pegunungan dan garam laut di sebuah belanga yang kemudian melahirkan Jenawi? Bahkan sampai akhir cerita, Ole dengan kejam tetap meyembunyikan kenyataan itu pada Jenawi, yang begitu merindukan uap garam dari masa kecilnya. Dalam tubuh Jenawi, Ole menitipkan kerinduannya pada masa lalu; keperawanan alam yang tidak terjamah, romantisme yang selalu berusaha dipertahankan, dan gambaran ideal pemudi desa yang bersekolah ke kota kemudian pulang membangun desa. Di sisi lain, Ole menanam kegeraman hatinya dan kobaran asa perlawanan terhadap serangan atas nama kemajuan dan pembangunan, pada sosok lelaki bernama Ripah, yang ternyata juga memendam rindu menggila dalam dirinya.

Kemudian Lelaki Garam kembali saya temukan bersama delapan cerpen lain karya Made Adnyana Ole, dalam buku kumpulan cerpen berjudul Gadis Suci Melukis Tanda Suci Di Tempat Suci. Buku tersebut baru terbeli di pameran buku Festival Bali Jani pada November 2019, walaupun buku itu sudah saya taksir di acara May May Komunitas Mahima pada bulan Mei 2019, namun otak saya agak waras bersepakat dengan lambung dan memilih membeli siobak.

Setelah melahap sembilan cerita bersama menu alakadarnya yang kami punya di meja makan, atau kadang menghabiskan sedikit uang di warung pinggir jalan, saya merasa Ole berhasil membuat saya bahagia secara utuh dari awal; cerita pertama, hingga cerita terakhir. Saya sangat menyarankan untuk jangan sekali-kali melompati satu judulpun, karena nuansa yang didapatkan pasti akan berbeda. Tapi kalau mau-mau sendiri mulai dari cerpen manapun, dan mengakhirinya pada judul yang manapun, itu tetap sah dan meyakinkan bahwa kalian telah menyukseskan program ayo membaca, dan kalian pasti bahagia seperti saya.

Kenapa saya menekankan untuk membaca secara berurutan? Jadi begini. Saat memegang sebuah buku, otak saya membacanya sebagai sebuah keutuhan, setiap judul adalah bab dari sebuah cerita panjang. Benang merahnya adalah gagasan dan kegelisahan penulisnya, yang tentu saja akan bergantung pada sudut pandang personal saya sebagai pembaca.

Ketika membaca cerpen pertama, Terumbu Tulang Istri, saya telah bisa dikecoh dan dibawa masuk dalam suasana depresif dari tokoh lelaki bernama Kayan, yang sialnya namanya sama dengan tokoh dalam cerpen saya. Suasana depresif masih terbawa ketika memasuki kisah kedua, namun Gede Juta mulai memberi harapan, mewakili semangat perlawanan, seorang pahlawan rasanya sudah akan segera muncul, namun ternyata bukan Gede Juta. Dia tidak segagah yang saya kira, seperti Gundala atau Si Buta Dari Gua Hantu.

Sosok pahlawan baru muncul pada cerpen berikutnya, Siat Wengi dan Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci. Tapi sungguh, bukan seperti Superman atau Catwoman yang sejak awal sudah jelas adalah pahlawan. Dalam dua cerpen ini, tokoh utama yang begitu menggebu ingin menjadi pahlawan bagi komunitas ataupun bagi nafsu balas dendam, kemudian letoi, dan membiarkan tokoh lain yang menyelesaikan persoalan itu.

Sampai cerpen keempat, saya masih diaduk dan dibawa ke puncak, namun kemudian diredam dan terasa sekali penurunan tensi ketika membaca cerpen Kerapu Macan dan Men Suka. Membaca Kerapu Macan, lebih seperti membaca esai ringan, kemudian ada twist yang tidak terlalu mengejutkan. Walaupun tetap ada kesenjangan sosial yang berusaha dipotret, saya merasa Ole mungkin sedang lelah, kemudian memutuskan makan enak agar dapat inspirasi lagi. Sedangkan cerpen Men Suka, memberi rasa gamang, tidak berdaya dan sudah tidak ada lagi perlawanan, hanya diam. Namun itulah cara satu-satunya mengobati luka dalam yang dihadapi Men Suka, dengan harapan akan mengering dan rasa sakitnya ikut menguap bersama waktu. Tokoh anak Men Suka, yang berusaha menjadi tim pencari fakta untuk mengungkap teka-teki akhirnya menyerah, dan terjadilah rekonsiliasi semu.

Luka-luka yang berusaha diobati dengan kepedihan dan keterasingan, digambarkan akan sangat mungkin kambuh pada hari-hari raya kenegaraan, seperti digambarkan dalam cerpen Darah Pembasuh Luka. Luka kambuhan pada lutut kiri Tantri, sangat halus dimasukan sebagai simbol paham yang selalu dijadikan kambing hitam saat dibutuhkan, guna menebar rasa takut.

Pada nyaris di ujung rangkaian gerbong cerita ini, di sanalah muncul Lelaki Garam yang menyimpan atau sengaja menyembunyikan kisahnya dari generasi keturunanya, yang tidak pernah diketahuinya akan menimbulkan kekacauan dan kerumitan. Ketika selesai membaca cerpen ini, kalian akan mengetahui betapa kerumitan itu akan terjadi oleh kenyataan yang ditutup-tutupi, dimanipulasi dan dikorupsi.

Di penghujung cerita, Ole mengambil peran dan membayar kesalahan Lelaki Garam yang penuh rahasia. Cerpen 4 Dari 100 Lelucon Politik, mengambarkan seorang Ayah yang berusaha membawa cerita dari masa lalu kepada anaknya yang menjadi simbol masa mendatang, sehingga anak-anak kita memiliki bekal untuk memecahkan sedikit kekacauan dan kerumitan kehidupan yang sering kusut tak berujung. Paling tidak, dalam kisah ini seorang Ayah berusaha untuk menjadi berguna di depan anak perempuannya, dengan menjadi sedikit lucu. Saraf di tengkuk saya kembali lentur dan rilek setelah Ole menyudahi ceritanya dan Putik pergi tidur.

Ingin sekali menelisik dan mengulas lebih dalam satu persatu cerpen-cerpen dalam buku ini. Namun kalau dipaksakan sekarang tentu saja tidak akan terlalu lucu lagi. Yang pasti, buku ini sangat layak untuk dinikmati secara utuh sebagai serampai kisah, yang ingin dijaga oleh penulisnya sebagai sebuah pengingat dan penanda, sebuah tanda suci, bahwa hari itu pernah ada. Bahwa kenyataan memang kadang pahit.

Judul: Gadis Suci Melukis Tanda Suci di Tempat Suci
Pengarang: Made Adnyana Ole
Terbit: 2018
ISBN : 9-786026-106360
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Mahima Institute Indonesia
Jenis Buku: Kumpulan Cerita Pendek

Membaca cerpen-cerpen Made Suarbawa kadang terasa seperti menonton film pendek. Detil, rinci, tapi ketat dan padat. Penilaian saya mungkin saja dipengaruhi oleh pengetahuan utama saya tentang sosok penulisnya yang selama ini memang lebih banyak bergiat di Minikino, sebuah organisasi festival film pendek yang berkedudukan di Denpasar dan memiliki jaringan kerja amat luas di dunia internasional. Tapi, soal rinci dan detil, sepertinya bukanlah penilaian berlebihan.

Sejumlah tokoh dalam cerpen-cerpen ini dilukiskan dengan begitu teliti, sebagaimana seorang juru kamera dalam proses penggarapan film, yang dengan upaya keras mengarahkan moncong kamera ke seluruh tubuh pemain. Bagaimana wujud tokohnya, apa saja aksesorisnya, bagaimana tokoh itu bergerak, dilukiskan dengan penuh perhitungan, bahkan kadang terkesan amat lengkap. Seperti juga dalam sebuah film di mana kamera tak bisa merekam perasaan tokoh-tokohnya hingga ke dalam hati, Made Suarbawa tampak berupaya keras melukiskan perasaan tokoh-tokoh dalam cerpennya —sedih, cemas atau sakit hati— dengan hanya menarasikan gerak tubuh dan mimik sang tokoh. Pada bagain inilah salah satu letak kelebihan cerpen-cerpen Made Suarbawa.

Meski cerpen-cerpennya belum banyak dikenal pembaca karena memang belum banyak disiarkan di media massa atau media sosial, bisa diduga Made Suarbawa punya pengalaman menulis yang panjang. Ini tampak dari kematangannya mengatur strategi bercerita untuk mengaduk-aduk perasaan pembacanya. Strategi penceritaan yang cukup berani dilakukan pada cerpen “Kisah Peniup Seruling”. Cerita yang sesungguhnya sederhana ini diramu dengan dialog tanya-jawab yang terkesan monoton, namun penulisnya cukup lihai menyusun tanya-jawab itu sehingga pembaca menjadi penasaran dan membacanya hingga usai.

Meski sejumlah ceritanya memiliki tema sederhana, bahkan kadang klise, misalnya soal diskriminasi anak perempuan dalam keluarga di Bali, namun Made Suarbawa punya teknik penyelesaian yang tak tertebak. Saat sepasang suami-istri berbahagia atas kelahiran anak pertamanya yang perempuan, dan di sisi lain anak perempuan tak membuat keluarga besar mereka bahagia, Made Suarbawa menyelesaikan cerpen itu dengan amat datar, santai, tapi menimbulkan keharuan dan pesan terselubung yang cukup mendalam.

Akhirnya, selamat membaca.

Singaraja, September 2019
Made Adnyana Ole, editor

Note: Buku Kumpulan Cerpen Politik Kasur, Dengkur dan Kubur diterbitkan oleh Mahima Institute Indonesia - Singaraja (ISBN 978-623-7220-15-2). Bila ingin memiliki buku ini, dapat mengontak penerbit @bukumahima atau penulisnya @madebirus (IG).

Judul: Politik Kasur, Dengkur dan Kubur
Pengarang: I Made Suarbawa
Terbit: 30 Oktober 2019
ISBN : 978-623-7220-15-2
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Mahima Institute Indonesia
Jenis Buku: Kumpulan Cerita Pendek