Adakah dari pembaca adalah orang tua yang suka mejadi “juri” gambar untuk anak-anaknya, yang bahkan sebelum gambar itu selesai sudah memberi komentar nyinyir? “Warnanya jelek, gak rapi, kok gunung warnanya merah, kok gini, kok gitu, harusnya gini, harusnya gitu, gak punya rasa seni!”.
Dalam Cerita Rasa pada Sabtu 30 Juli 2022 yang dicita-citakan menjadi Village Festival di Jembrana, sesi melukis bersama tidak menyediakan juri yang akan menghakimi hasil karya anak-anak. Kami hanya menyediakan ruang dan lebih mendorong sebuah kegiatan bersama.
Melukis bersama diikuti oleh anak-anak tetangga Rumah Baca Bali Tersenyum di Desa Tukadaya, Melaya, Jembrana. Bayangan awal kami, paling banyak akan mampu mengumpulkan 10 - 20 orang anak. Namun pada kenyataannya, lebih dar 35 orang anak berkumpul untuk melukis bersama.
Dalam sesi ini, kami mengundang perupa muda asal desa Tukadaya, Wayan Wasudewa, yang banyak bermain-main di ranah mural dan tato. Kehadiran Wayan yang dikenal dengan sign WSDW menjadi sebuah gambaran tentang jalan berkesenian.
Secara tidak langsung, kehadiran orang dewasa yang melukis bersama anak-anak menjadi role model bagi mereka, yang selama ini hanya mengetahui menggambar adalah sempilan pelajaran di sekolahnya. Bahwa seni juga bisa menjadi profesi, dan ada sekolahannya hingga perguruan tinggi. Ada juga orang yang memilih berkesenian sebagai jalan hidupnya.
Semua lukisan anak-anak yang dibuat dengan pastel di atas kertas, kemudian dipajang di salah satu bidang dinding rumah. Ini adalah pameran karya mereka setelah sekitar dua jam bersenang-senang dengan imajinasi dan warna.
Untuk mengakomodir keinginan anak-anak agar ada “pemenang” dalam menggambar yang mereka anggap adalah lomba, kami membiarkan mereka menjadi juri bersama pengunjung lain. Setiap anak berhak memilih tiga karya yang mereka sukai, termasuk salah satunya gambar mereka sendiri.
Dalam proses “penjurian ini”, ada anak yang tenang-tenang saja menyaksikan gambarnya dijuri. Sementara ada anak lain yang sangat berambisi mendapat vote terbanyak, dengan berkampanye bahwa gambarnya layak untuk dipilih. Ada pula anak yang sengaja menggambar piala dengan tulisan “pemenang”, dengan harapan dialah yang akan menang. Dan ternyata afirmasi ini berhasil, gambar piala itu memancing anak-anak untuk memilih.
Sebagai penyemangat, kami mengumumkan tiga karya dengan pemilih terbanyak di sela-sela program Pentas Cerita dan Menonton Film Pendek. Penerima bingkisan tesebut adalah, Geta dengan raihan 10 pemilih, Satria “penggambar piala” dengan 11 pemilih dan Nanda dengan raihan 21 pemilih.
Dari 35+ karya yang dihasilkan, yang cukup mendominasi adalah gambar gunung kembar beserta pohon dan sawahnya. Mungkin terinspirasi dari pemandangan desa kami yang sangat indah, yang menampilkan jajaran bukit dan gunung di sisi utara, dari Gunung Sondoh hingga Gunung Agung. Sementarai di sisi Barat, tampak Bukit Kelatakan, dan saat hari cerah, pegunungan Jawa Timur juga tampak jelas terlihat.
Inspirasi gunung kembar ini memang sudah turun-temurun diwariskan. Dari jaman saya SD tahun 86, template gambar itu masih ada hingga sekarang. Tidak ada yang salah dengan model gambar seperti itu. Namun yang menjadi pemikiran adalah, kenapa ketika kelas 2 SD menggambar pola tersebut dan saat sudah SMP juga masih menggambar hal yang sama?
Saya melihat, setiap anak memiliki cara untuk menemukan inspirasi karyanya. Imajinasi mereka tumbuh dari apa yang pernah mereka lihat atau tonton, bayangkan atau apa yang ada di sekitar mereka saat itu. Kalau mereka masih berkutat pada pola gunung kembar, artinya mereka butuh bantuan, bagaimana cara menemukan inspirasi untuk dituangkan dalam gambarnya.
Ada yang menggambar setting adegan film kesukaan mereka, ada yang meniru gambar yang ada di dinding rumah, ada juga yang meniru gambar teman di sebelahnya, sebagai sebuah dampak dari berkegiatan bersama.
Kalau diamati, setiap anak memiliki ide dan imajinasi sendiri. Namun kemudian terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Bisa jadi karena teman di sebelahnya menggambar sangat bagus sehingga menjadi inspirasi, atau memang dia tidak tau cara memvisualisasikan apa yang diinginkannya.
Ada perbedaan cukup mencolok yang dialami anak-anak yang lebih tua, dibandingkan mereka yang masih TK, SD awal, atau yang belum sekolah. Anak lebih kecil, tampak lebih ekspresif dan bebas dalam menuangkan ide dan terasa sekali kebebasan tangan dan pikiran mereka di atas kertas. Sementara mereka yang lebih tua, antara kelas 4 SD hingga SMP, mereka mengalami mental block. Mereka berasa tidak bisa, malu menunjukan gambarnya, takut gambarnya dibilang seperti gambar anak TK, bahkan bisa mengatakan tidak punya bakat menggambar.
Dari mana datangnya mental block itu? Tentu tidak bisa kita pungkiri, bahwa tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. Mereka merekam apapun yang mereka lihat, dengar dan rasakan. Dan sayangnya, tidak disediakan penghapus atau tombol reset dalam kehidupan ini. Yang bisa dilakukan adalah, memberi ruang menemukan pengalaman baru yang membatu mereka bertumbuh dengan lebih baik.
Saya meyakini, apapun pilihan di masa depan yang akan diambil anak-anak adalah dimulai hari ini. Maka beri ruang mencoba semua hal dengan gembira, mencicipi semua rasa, mencoba semua warna. Tidak peduli itu hasilnya bagus atau bagus banget. Melukis bersama di Cerita Rasa adalah ruang mengungkapkan cerita dan rasa yang mengendap dalam diri kalian, ke dalam visual dan warna. Sapai jumpa lagi.
sebelumnya diterbitkan di tatkala.co
Dalam catatan benak saya, Covid-19 yang merebak di Indonesia awal tahun 2020 menjadi hantaman paling telak bagi sektor pariwisata Bali, setelah kejadian bom tahun 2002 yang menelan korban jiwa 202 orang. Btw, saya tidak akan membahas fenomena angka 2 dan 0.
Namun demikian situasinya, di tahun 2021, usaha wisata masih menjadi impian besar. Sebuah gambaran indah untuk meraup untung dari upaya memenuhi hasrat berlibur, melepas penat dari rutinitas, menikmati keindahan alam, menambah pengetahuan atau sekedar piknik keluarga dan swafoto dari para pelancong.
Saat usaha wisata terjatuh ke titik bawah, beberapa titik daya tarik wisata malah terus dikembangkan oleh Pokdarwis di Kabupaten Jembrana. Sebut saja kawasan Karang Impian yang mulai aktif, Munduk Nangka yang cukup ramai dikunjungi, Belimbing Sari, Ambenan Ijogading Loloan Timur, Pokdarwis Gumrih juga menggeliat, wisata mangrove di Prancak dan Budeng juga mulai berpromosi di tahun 2020.
Kelompok sadar wisata atau Pokdarwis, terdengar aneh di telinga Ibu saya. Setelah obrolan sore bersama beberapa kawan, dia bertanya. "Siapa itu Pak Darwis, kenapa ngobrolnya tentang Pak Darwis dan Pak Merkus?" Hem, mau ngakak takut dosa, karena katanya surga ada di bawah telapak kaki Ibu.
Pak Darwis hanya fenomena salah dengar sebagai kosakata baru bagi Ibu saya. Namun pak Merkus, adalah fenomena yang terkait hutan, sawah dan petani di desa kami. Tapi maaf saya akan bahas tentang Pak Merkus lain kali saja.
Kembali ke Pokdarwis. Karena obrolan sore itu, saya ikut sadar karena ada kesadaran baru tentang wisata, dan ada kesediaan untuk berdiskusi, menumpahkan gagasan dan mimpi.
Pada dasarnya Pokdarwis dibentuk dan dijalankan sebagai penyangga aktivitas kewisataan yang ada di sebuah desa atau kawasan. Pokdarwis menjadi gerakan swakarsa yang diharapkan dapat menjamin kesadaran masyarakat akan keutuhan destinasi dan usaha-usaha wisata di kawasan tersebut, yang mengacu pada konsep sapta pesona.
Lalu bagaimana jika kesadaran Pokdarwis muncul di desa yang belum memiliki objek daya tarik wisata? Maka kelompok yang menghimpun diri akan menjadi pembuka jalan menuju kemunculan sebuah daya tarik wisata. Tentu ini menjadi tantangan tersendiri. Bagaimana impian dapat terjadi dan menapak ke tanah, bukan menjadi impian yang melayang di awang-awang dengan ingin menciptakan Ubud baru, Kuta yang lain, Tegalalang yang baru atau dan atau.
Kalau kita lihat; Kuta, Ubud, Tegalalang, awalnya hadir seperti apa adanya, hingga kapital mengupgrade mereka menjadi seperti sekarang dengan segala perhiasan dan lipstiknya yang membuat kecantikan aslinya tergerus; atau mereka memang mulai menua.
Dengan membaca kebutuhan wisata adalah lebih utama untuk memenuhi hasrat kesenangan, maka sesuatu yang menua dan membosankan akan segera ditinggalkan. Saya rasa kita butuh gerakan membangun wisata anti-aging, agar gerakan Pokdarwis baru, nantinya akan terhindar dari penuaan dini dan terjadinya ejakulasi dini yang membuat semangat mereka letoi di tengah jalan.
Pokdarwis di Jembrana hadir untuk memberikan solusi bagi pengembangan potensi desa secara mandiri, sekaligus sebagai jawaban atas kesadaran dan kebutuhan berwisata dari masyarakat lokal.
Perlu disadari pula bahwa kebutuhan berwisata adalah kebutuhan tersier, yang artinya merupakan keputusan ke sekian dari berbagai hal yang harus diputuskan terlebih dahulu. Misalnya antara mencoba mengendarai ATV dibandingkan beli beras.
Pembangunan sektor wisata hendaknya memikirkan tingkat kebutuhan masyarakat yang penting, lebih penting, sangat penting dan mendesak. Jangan sampai membangun ketika ada janji pundi-pundi dari wisata. Menjaga kebersihan hanya karena agar wisatawan terhibur, jalan baru diperbaiki ketika ada investor buka sarana wisata, eksploitasi seni dan budaya hanya untuk wisata.
Setelah program sadar wisata, perlu dikembangkan program wisata sadar; baik itu oleh pemangku kebijakan, pemerintah desa dan masyarakat. Kembangkanlah sadar merawat pertanian, sadar memelihara hutan, sadar kebersihan dan kesehatan lingkungan, sadar melakoni seni dan budaya serta sadar-sadar lainnya, yang bukan hanya selogan kampanye belaka.
Sebagai contoh; ketika kesadaran memelihara hutan terjadi maka air kita terjaga, pertanian terairi, pangan kita aman, anak kita bisa sekolah, dan hutan lestari akan menjadi kawasan wisata yang menarik; mulai dari penjelajahan alam, kemping, pengamatan satwa, permainan luar ruang dan sebagainya.
Sadar bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk diri kita, maka kita akan senang dan aura positif akan menyebar, sehingga orang akan datang untuk bersenang-senang bersama kita. Itulah wisata.
1995, selepas SMP saya meninggalkan Desa Tukadaya untuk bersekolah di STM Negeri di kota Singaraja. Tiga tahun di Buleleng saya gagal mendapatkan ijasah STM, kemudian pulang untuk selanjutnya mengadu nasib berbekal ijasah SMK, ke Gumi Badung dan Denpasar hingga tahun 2020 sekarang ini, dan mungkin serialnya masih bersambung. Itu artinya saya hanya menghabiskan hidup saya selama 15 tahun menetap di Desa Tukadaya sejak umur 0. Dalam kurun 25 tahun terakhir, saya hanya pulang ke Tukadaya untuk berbagai urusan kependudukan, adat dan keluarga, dengan waktu tinggal rata-rata menginap 2 – 4 malam saja.
Banyak perubahan di Tukadaya yang tidak saya sadari, atau mungkin saya sedang tidak punya kepentingan untuk mencari tau. Misalnya tentang banjar yang dulu saya hafalkan berdasarkan lokasi Sekolah Dasar (SD). Ada lima banjar dan lima SD di Desa Tukadaya; SDN 1 di Banjar Munduk Ranti, SDN 2 di Banjar Sarikuning, SDN 3 di Banjar Berawantangi, SDN 4 di Banjar Sombang dan SDN 5 di Banjar Pangkung Jajang. Namun ternyata dari lima banjar, sekarang telah menjadi delapan Banjar Dinas.
Banjar Berawantangi, saya tau prosesnya ketika menjadi dua banjar; Banjar Berawantangi dan Banjar Berawantangi Taman, karena alamat KTP saya ada di banjar tersebut. Banjar lain yang dimekarkan adalah Banjar Sombang menjadi Banjar Sombang dan Banjar Kembangsari, Banjar Sarikuning mekar menjadi Banjar Sarikuning dan Banjar Sarikuning Tulungagung. Nama asli dari banjar-banjar tersebut masih tetap dipertahankan.
Berbicara nama, Tukadaya sesungguhnya terdiri dari dua kata; Tukad dan Aya, yang diambil dari nama sungai yang membatasi sebagian wilayah Desa Tukadaya dengan desa di sisi timur dan selatan. Tukad berarti sungai, Aya berarti besar atau bukan main. Tukad Aya sebagai sungai adalah sungai besar, yang merupakan kesatuan dari beberapa sungai, dengan cerita keganasannya ketika mengalami banjir bandang di musim hujan. Sungguh, ini hanya otak-atik cocoklogi saya saja, karena tidak pernah mendengar mengenai sejarah nama maupun bagaimana Desa Tukadaya ini terbentuk. Pun jika belum tertulis, semoga suatu hari terlahir buku yang menuliskan sejarah Desa Tukadaya.
Ditarik ke jaman sekarang, tahun 2020 yang katanya sudah ada di jaman 4.0, saya melakukan pencarian menggunakan google. Saya menggunakan kata kunci Tukadaya, Sejarah Tukadaya, Desa Tukadaya, Kerajinan Tukadaya dan Seni Tukadaya; namun tidak menemukan artikel yang terlalu menarik, selain dari portal-portal berita lokal yang menjadi basi ketika momennya sudah lewat. Sialnya, ketika mengetik kata kunci Seni Tukadaya, kemunculan informasi dari Desa Tukadaya tertutupi oleh artikel mengenai kesenian dari Desa Dangin Tukadaya.
Dari situasi tersebut, perlahan saya mundur dari dunia online, karena ingat cerita seseorang yang berusaha meretas jaringan komputer sebuah kantor polisi untuk menghapus data penangkapan kawan mereka, namun gagal total karena semua file kantor polisi tersebut tidak online, alias masih di atas kertas menggunakan mesin ketik. Saya kemudian mengingat-ingat dan mulai bertemu beberapa orang kawan dan tetangga, bicara-bicara kangin-kauh. Dari beberapa obrolan, saya kemudian tau, ada beberapa sekaha dan pengerajin rindik yang sangat aktif dan produktif, beberapa sekaha jegog yang mati suri, ada pengerajin ingka, ada pembuat kripik, banyak peminat sekar alit hingga sekar agung yang bertalenta dan informasi lain sebagainya. Mereka tidak online, walau ada satu-dua yang muncul alamatnya jika dicari di google map.
Pertanyaannya kemudian, perlukah mereka media online, perlukah mereka dionlinkan? Menurut saya, memang tidak perlu dipaksakan, toh mereka bertumbuh dengan alami. Tapi di sisi lain, paling tidak ada yang bersedia menulis tentang talenta dan produk mereka dengan baik, agar tercatat dalam sejarah, yang mungkin tidak akan menjadi bagian kurikulum pelajaran sejarah manapun, tetapi tercatat bahwa mereka ada dan hidup, aktif dan produktif. Memang tidak bisa dipungkiri, di jaman ketika orang mencari sesuatu sekarang lebih suka menggunakan media internet, maka kitapun harus masuk ke dunia itu jika ingin ditemukan, tercatat secara online jika ingin dikenal, terutama oleh orang di luar lingkungan pergaulan offline kita (face to face).
Kondisi ini saya kira dialami juga oleh desa lain, yang bukan objek berita, objek wisata atau objek penelitian yang menarik. Desa-desa yang tidak punya kontribusi besar pada sejarah Bali, Pariwisata Bali, mungkin juga APBD Bali, hanya akan tercatat di website badan statistik, dinas kependudukan dan wikipedia. Maaf, jika kelihatannya saya mulai mengeluh. Tapi begini, saya ingin menulis sesuatu tentang desa saya, dan saya menantang siapapun yang bersedia untuk balapan menulis sesuatu tentang desanya, ayo menulis. Maksudnya agar saya tetap semangat menulis, karena ada tamannya.