1995, selepas SMP saya meninggalkan Desa Tukadaya untuk bersekolah di STM Negeri di kota Singaraja. Tiga tahun di Buleleng saya gagal mendapatkan ijasah STM, kemudian pulang untuk selanjutnya mengadu nasib berbekal ijasah SMK, ke Gumi Badung dan Denpasar hingga tahun 2020 sekarang ini, dan mungkin serialnya masih bersambung. Itu artinya saya hanya menghabiskan hidup saya selama 15 tahun menetap di Desa Tukadaya sejak umur 0. Dalam kurun 25 tahun terakhir, saya hanya pulang ke Tukadaya untuk berbagai urusan kependudukan, adat dan keluarga, dengan waktu tinggal rata-rata menginap 2 – 4 malam saja.
Banyak perubahan di Tukadaya yang tidak saya sadari, atau mungkin saya sedang tidak punya kepentingan untuk mencari tau. Misalnya tentang banjar yang dulu saya hafalkan berdasarkan lokasi Sekolah Dasar (SD). Ada lima banjar dan lima SD di Desa Tukadaya; SDN 1 di Banjar Munduk Ranti, SDN 2 di Banjar Sarikuning, SDN 3 di Banjar Berawantangi, SDN 4 di Banjar Sombang dan SDN 5 di Banjar Pangkung Jajang. Namun ternyata dari lima banjar, sekarang telah menjadi delapan Banjar Dinas.
Banjar Berawantangi, saya tau prosesnya ketika menjadi dua banjar; Banjar Berawantangi dan Banjar Berawantangi Taman, karena alamat KTP saya ada di banjar tersebut. Banjar lain yang dimekarkan adalah Banjar Sombang menjadi Banjar Sombang dan Banjar Kembangsari, Banjar Sarikuning mekar menjadi Banjar Sarikuning dan Banjar Sarikuning Tulungagung. Nama asli dari banjar-banjar tersebut masih tetap dipertahankan.
Berbicara nama, Tukadaya sesungguhnya terdiri dari dua kata; Tukad dan Aya, yang diambil dari nama sungai yang membatasi sebagian wilayah Desa Tukadaya dengan desa di sisi timur dan selatan. Tukad berarti sungai, Aya berarti besar atau bukan main. Tukad Aya sebagai sungai adalah sungai besar, yang merupakan kesatuan dari beberapa sungai, dengan cerita keganasannya ketika mengalami banjir bandang di musim hujan. Sungguh, ini hanya otak-atik cocoklogi saya saja, karena tidak pernah mendengar mengenai sejarah nama maupun bagaimana Desa Tukadaya ini terbentuk. Pun jika belum tertulis, semoga suatu hari terlahir buku yang menuliskan sejarah Desa Tukadaya.
Ditarik ke jaman sekarang, tahun 2020 yang katanya sudah ada di jaman 4.0, saya melakukan pencarian menggunakan google. Saya menggunakan kata kunci Tukadaya, Sejarah Tukadaya, Desa Tukadaya, Kerajinan Tukadaya dan Seni Tukadaya; namun tidak menemukan artikel yang terlalu menarik, selain dari portal-portal berita lokal yang menjadi basi ketika momennya sudah lewat. Sialnya, ketika mengetik kata kunci Seni Tukadaya, kemunculan informasi dari Desa Tukadaya tertutupi oleh artikel mengenai kesenian dari Desa Dangin Tukadaya.
Dari situasi tersebut, perlahan saya mundur dari dunia online, karena ingat cerita seseorang yang berusaha meretas jaringan komputer sebuah kantor polisi untuk menghapus data penangkapan kawan mereka, namun gagal total karena semua file kantor polisi tersebut tidak online, alias masih di atas kertas menggunakan mesin ketik. Saya kemudian mengingat-ingat dan mulai bertemu beberapa orang kawan dan tetangga, bicara-bicara kangin-kauh. Dari beberapa obrolan, saya kemudian tau, ada beberapa sekaha dan pengerajin rindik yang sangat aktif dan produktif, beberapa sekaha jegog yang mati suri, ada pengerajin ingka, ada pembuat kripik, banyak peminat sekar alit hingga sekar agung yang bertalenta dan informasi lain sebagainya. Mereka tidak online, walau ada satu-dua yang muncul alamatnya jika dicari di google map.
Pertanyaannya kemudian, perlukah mereka media online, perlukah mereka dionlinkan? Menurut saya, memang tidak perlu dipaksakan, toh mereka bertumbuh dengan alami. Tapi di sisi lain, paling tidak ada yang bersedia menulis tentang talenta dan produk mereka dengan baik, agar tercatat dalam sejarah, yang mungkin tidak akan menjadi bagian kurikulum pelajaran sejarah manapun, tetapi tercatat bahwa mereka ada dan hidup, aktif dan produktif. Memang tidak bisa dipungkiri, di jaman ketika orang mencari sesuatu sekarang lebih suka menggunakan media internet, maka kitapun harus masuk ke dunia itu jika ingin ditemukan, tercatat secara online jika ingin dikenal, terutama oleh orang di luar lingkungan pergaulan offline kita (face to face).
Kondisi ini saya kira dialami juga oleh desa lain, yang bukan objek berita, objek wisata atau objek penelitian yang menarik. Desa-desa yang tidak punya kontribusi besar pada sejarah Bali, Pariwisata Bali, mungkin juga APBD Bali, hanya akan tercatat di website badan statistik, dinas kependudukan dan wikipedia. Maaf, jika kelihatannya saya mulai mengeluh. Tapi begini, saya ingin menulis sesuatu tentang desa saya, dan saya menantang siapapun yang bersedia untuk balapan menulis sesuatu tentang desanya, ayo menulis. Maksudnya agar saya tetap semangat menulis, karena ada tamannya.