Urban Farming: Mari Menanam Sayur di Kota

Jika berbicara tentang pertanian sayur, barang tentu akan membayangkan daerah pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kota. Namun, apakah itu artinya tidak ada kemungkinan untuk menanam sayur di daerah perkotaan? Jawabannya kemudian ada dalam konsep urban farming. Sesuai dengan namanya, urban farming merupakan sebuah alternatif untuk dapat bertani di perkotaan. 

Urban Farming 'Cuma' Butuh Niat

Eko Martono adalah salah satu petani yang telah menjalankan konsep tersebut. Bersama istrinya, saat ini ia mengelola sebidang tanah seluas 20 are di Jalan Hang Tuah, Sanur yang juga dikenal orang dengan nama “Uma Nini”. Berada ditengah perkotaan, lahan tersebut dulunya merupakan lahan ‘tidur’ dengan kondisi tanah yang tidak memungkinkan untuk ditanami. 

“Saya pun menawarkan untuk mencoba menanam sayur di lahan ini. Awalnya jelas banyak yang meragukan dengan berbagai alasan. Pokoknya mengatakan tidak mungkin bisa. Struktur tanahnya saja pada waktu dikatakan tanah semen, karena keras sekali,” ujarnya. 

Tapi, dengan pengalamannya, Eko meyakinkan bahwa kondisi tersebut bisa dikelola sampai memungkinkan untuk ditanami sayur. “Memang bakal capek diawal dulu. Saya dibantu beberapa mahasiswa dari Mataram butuh waktu sekitar tiga bulan sampai tanah tersebut siap ditanami,” lanjutnya.

Dalam mengolah tanah yang keras tersebut, Eko menggunakan campuran kompos, arang sekam, dan dolomit untuk dijadikan lapisan top soil. Fungsinya yakni untuk menetralkan keasaman tanah. Dengan demikian, tanah yang tadinya dikatakan telah ‘mati’ itu bisa kembali subur. Setelah itu, mulailah di Uma Nini menanam berbagai jenis sayur, seperti bayam, kangkung, hingga selada yang nyatanya semua bisa tumbuh dengan baik. 

“Bukan hal yang mustahil untuk menjalankan urban farming di daerah Denpasar dan Badung. Coba deh cari dan data, ada berapa banyak lahan ‘tidur’ di daerah Denpasar saja. Sesempit apa pun lahannya, kenapa tidak coba saja ditanami sayur,” kata Eko.

Pada akhirnya, menurut Eko, konsep urban farming ini tentu dapat membawa keuntungan tersendiri bagi masyarakat perkotaan. Sebab kebutuhan masyarakat kota akan sayur sehat dan segar bisa semakin terjangkau. Bahkan jika urban farming ini dikelola dengan baik, maka dapat memberikan sensasi petik langsung dari kebun sebagaimana halnya yang dilakukan di tempat wisata petik buah. 

“Malah bisa juga memberikan edukasi kepada pelanggan. Di Uma Nini sudah banyak juga pelanggan yang ikut menanam sendiri dan memelihara sayur sampai bisa dipanen,” imbuh Eko. 

Nilai Ekonomi Urban Farming

Dalam mengelola urban farming agar mendatangkan nilai ekonomis, ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu kualitas, kontinu, dan kuantitas. Eko menyarankan, yang wajib diutamakan lebih dulu adalah kualitas dan kontinu. Menyusul kemudian, barulah kuantitas. Agar ketiga hal tersebut dapat berjalan dengan baik, diperlukan manajemen pengolahan lahan.

Secara garis besar, manajemen pengolahan lahan berfungsi untuk menghindari panen serentak yang berpotensi menyebabkan kerugian. Maka, Eko menyarankan untuk menggunakan sistem tanam berseri dan paralel. Dalam sistem tersebut, masing-masing komoditas ditanam secara berangsur sehingga memiliki waktu panen yang berbeda-beda. 

“Contohnya, saya minggu ini saya menanam bayam dan kangkung masing-masing satu bedeng. Minggu berikutnya, baru saya tanam satu bedeng lagi dan begitu seterusnya sampai kira-kira ada 5-6 bedeng per komoditas. Nah, ketika sudah menanam di bedeng ke-lima, bedeng yang pertama tadi sudah bisa di panen. Jadi tiap minggunya bisa terus ada stok. Kira-kira seperti itu konsepnya. Jadi tidak langsung panen lalu habis sehingga mesti menunggu masa panen berikutnya,” terang Eko. 

Berkaca pada pengalamannya di Uma Nini, Eko yakin konsep urban farming dapat dihidupkan di Denpasar dan Badung yang bernotabene daerah perkotaan. Segala persoalan bisa dicari solusinya, termasuk masalah sewa dan bagi hasil dengan pemilik lahan. “Ada hitungannya agar bisa tetap untung. Tapi sebenarnya simpel saja, kalau mau coba urban farming ‘kan tidak perlu lahan yang luas. Punya lahan kecil di pekarangan rumah juga bisa. Kalau banyak rumah yang menerapkan, ‘kan nilainya besar juga,” tandas Eko.

Nurafida

Introvert yang bergelar sarjana Ilmu Komunikasi. Pernah jadi wartawan dan penulis lepas.