Cerita Wayan Martino dan Dunia Fotografi

Delapan tahun yang lalu, di rumah seorang kawan di daerah Sanur saya menulis beberapa mimpi di sebuah kertas. Salah satunya saya menulis berkeinginan menjadi fotografer. Waktu itu saya belum memiliki kamera, memotret hanya menggunakan HP, kalau ada suatu acara misalnya, biasanya teman meminjamkan saya kamera digital miliknya lalu meminta saya bantu mendokumentasikan. Ini menyenangkan, saya selalu antusias ketika sedang memegang kamera.

Saya punya ketertarikan dengan orang-orang yang menekuni dunia fotografi, entah mengapa saya selalu penasaran dengan ide dan cara mereka bertutur dengan media foto. Sepertinya keren jika bisa melakukan hal yang serupa, bercerita dari sudut pandang sendiri menggunakan medium visual.

Lanjut cerita, kertas yang saya telah tulis dengan beberapa mimpi itu saya simpan di tempat yang tersembunyi dan sulit bisa dilihat orang. Saya melipat kertas itu menjadi sangat kecil lalu memasukkannya di tembok yang berlubang karena retak. Hal yang saya lakukan tersebut terinspirasi dari beberapa buku tentang teori-teori Law of Attraction. Lambat laun saya tak lagi mengindahkan apa hal itu, sampai lupa dengan apa yang saya lakukan itu.

Pelajaran Dari Kamera Pertama

Kemudian awal tahun 2016 saya memiliki kamera pertama, yang saya beli dalam kondisi bekas lewat OLX. Karena saya pikir harus dapat cepat, saya meminjam uang teman untuk memiliki kamera tersebut, Nikon D5200 dalam kondisi bekas, kala itu harganya 4,5 juta termasuk lensa Kit 18-55mm. Kamera ini baru dibeli oleh pemilik pertama tidak lebih dari sebulan, kondisinya seperti baru dan masih memiliki garansi.

Kemudian saya mempelajari tentang kamera dan lensa lewat internet, dan menemukan ada lensa bagus dengan harga yang masih terjangkau, lensa yang katanya mumpuni untuk belajar foto portrait. Lensa Nikkor AF-S 50mm dengan bukaan F1,8, saya memilikinya setelah beberapa bulan. Lensa yang membuat saya sering memotret orang-orang dan lingkungannya, kemanapun saya selalu memasukkan kamera dalam tas, membawanya baik saat kerja ataupun di jalanan. Kala itu saya masih bekerja di Mitra Bali Fair Trade, perusahaan ekspor kerajinan yang mempraktekkan prinsip-prinsip perdagangan adil.

Sampai saat ini pun Lensa Nikkor 50mm saya selalu pakai, meski kamera pertama itu telah diganti dengan kamera yang memiliki sensor lebih lebar menjelang akhir tahun 2016, setelah mendapat saran dari teman, Vifick Bolang. Saya masih ingat kata Vifick, kira-kira seperti ini "jika kamu ingin secara profesional bekerja di bidang fotografi sebaiknya upgrade kamera mu Mar, dengan kamera Full Frame." Saat itu kami mengobrol bertiga, Vifick, Dodik dan Saya. Dan kamera kedua itu saya dapatkan setelah menggadaikan BPKB motor di Koperasi sebalah barat rumah.

Kembali ke cerita awal 2016, beberapa minggu setelah memiliki kamera pertama, sangat kebetulan saya melihat ada informasi workshop photo di instagram yang diadakan oleh Denpasar Film Festival bekerjasama dengan Bali Photo Forum. Mereka mengadakan workshop "Bertutur Visual" dengan tema Air dan Kehidupan, yang juga merupakan lanjutan dari Project 88, kalau tidak salah waktu itu adalah tahun yang ke-tiga. Fasilitatornya adalah Anggara Mahendra, Vifick, Agung Parameswara dari Bali Photo Forum kemudian pesertanya ada 5 orang. Dodik Cahyendra, Pande Parwata, Wira Sathya, Ote Tatsuya dan saya.

Belajar Dari 10,000 Foto Pertama

Pengalaman ini membuat saya belajar sangat banyak, dari tehnik sampai pada penerapannya agar bisa menghasilkan karya essay photo. Saat itu saya baru mengenal dan belajar tentang exposure, Diafragma dan ISO, lalu bagaimana hubungan ketiga ini. Rasanya kala itu saya yang paling awam soal fotografi, karena dasar segitiga exposure saya masih belum paham, bahkan tidak tahu. Namun Vifick sangat fokus memfasilitasi saya dan Dodik, memberikan kami banyak referensi dari buku-buku foto dan link di internet. Workshop dibagi menjadi tiga kelompok. Peserta bebas menentukan siapa fasilitator yang mereka inginkan.

Cerita yang saya angkat pada workshop tentang aktivitas penambangan Batu Paras yang dilakukan di Sungai Petanu, Gianyar. Berawal dari mendapati adanya sesuatu yang rasanya agak bertentangan antara ide dan kenyataan, dimana penghargaan orang Bali sangat tinggi kepada Dewa Wisnu yang dipercaya sebagai Dewa Pemelihara sekaligus sebagai Dewa Penguasa Air. Orang-orang membuat tempat sembahyang, candi-candi dan patung sebagai caranya untuk untuk menghormati Dewa Wisnu, juga Dewa lainnya. Namun bahan-bahan yang dipakai sebagiannya berasal dari penambangan Batu Paras dari Sungai Petanu, yang berpengaruh terhadap rusaknya ekosistem air di sepanjang aliran sungai Petanu.

Saya sangat ingat pada proses belajar itu saya mengambil lebih dari 10,000 foto dan dipilih hanya 8 foto untuk dipresentasikan. Kemudian pada akhir workshop dilakukan pameran bersama untuk karya-karya kami, pada 16 Agustus 2016. Momen pameran ini sekaligus membangkitkan semangat saya untuk terus berkarya dan menekuni lebih dalam tentang essay photo.

Saya Martino, Saya Seorang Fotografer

Dari apresiasi teman-teman yang datang, kunjungan orang-orang lain yang tidak saya kenal, telah memberikan semangat dan mendorong saya menuju dunia baru yaitu fotografi.

Proses yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, mengalir begitu saja yang kemudian menjadi awal saya sampai saat ini menekuni fotografi, dan membuat saya memiliki kepercayaan diri untuk bilang "saya seorang fotografer" ketika berkenalan dengan orang baru.

foto by Baskara Putra

Wayan Martino

Fotografer yang menulis kalau kebetulan ada waktu saja.