Kopi Kintamani sudah dikenal luas, terutama dikalangan pecinta kopi. Saya sebagai bukan pengopi, tidak memiliki ketertarikan khusus dengan kopi, namun selalu tertarik mendengar dan belajar jika punya kesempatan. Dan kesempatan itu datang, ketika ada tawaran kepada kami di Minikino untuk ikut program melali ke Kintamani dari Bale Bengong. “Yes, saya meu melali!” jawab saya ketika diminta mewakili Minikino. Saya pikir melali ke Kintamani, lihat kebun kopi, ketemu petani kopi dan minum kopi, pasti akan menyenangkan dan menemukan banyak pembelajaran.
Buat saya sendiri, melali ke Desa bukan sesuatu yang asing, karena pada dasarnya saya orang desa yang melalinya di pangkung, sungai, kebun, sawah dan sekitarnya. Namun tentu saja memali saya adalah keniscayaan dalam hidup anak desa, tanpa konsep yang jelas selain melali itu sendiri, juga tanpa analisa dan simpulan. Di Minikino kami juga memiliki kegiatan ke desa-desa melalui program layar tancap dan workshop. Desa yang menjadi rekan berlayar tancap menjadi tujuan melali bagi tamu-tamu festival.
4 Desember 2022, saya menuju markas Bale Bengong di Peguyangan Kaja, Denpasar Utara. Ini menjadi kali pertama berkunjung ke kantor mereka, sebuah tempat yang hijau dan terasa sejuk di pagi itu. Setelah diajak tour keliling dan naik turun bangunan yang menarik tersebut, saya tidak tau menyebutnya apa. Tapu ya, secara arsitektur bangunan ini sangat membuat saya senang, banyak angina, banyak cahaya, dengan struktur yang terasa unik. Tempat yang tenang di titik yang cukup sintru di pinggir Tukad Ayung.
“Hai halo apa kabar, jumpa lagi kita. Hi salam kenal, saya Birus dari Minikino. Halo saya asli Jembrana, Bali Barat”. Begitu kira-kira sapa-sapa saya bertemu teman lama dan baru di teras kantor Bale Bengong yang sangat rumahan itu. Sambil menunggu bus yang akan mengangkut, kami menikmati kudapan pagi, teh kopi dan secercah terang penjelasan mengenai program melali kita hari itu, dari Luh De Suriyani the mother of melali kita, dan ada juga Iin dan Juni yang kelihatannya sibuk mengatur segala sesuatunya.
Kami kemudian berjalan menuju titik temu dengan bus, yang sopirnya khawatir jalannya terlalu sempit untuk kendaraannya yang agak bongsor. Kami dengan riang memulai perjalanan itu. Saya lupa apakah ada sesi menyanyi bersama sehingga kami begitu gembira dalam bus tersebut. Yang teringat, bahwa kami dipandu untuk memperkenalkan diri lebih jauh, tentang siapa dan apa aktivitas masing-masing. Saya jadi tau, dalam perjalanan itu saya bersama dosen, pegiat lingkungan, fotografer, pengusaha perjalanan, pebisnis kuliner dan ya, rame lah ya.
Perjalanan kami agak tersendat di Petang - Badung, kurang lebih lima kilometer sebelum mencapai jembatan Tukad Bangkung, karen tidak satupun POM Bensin yang memiliki stok solar untuk mengisi bus kami. Saya berpikir, seandainya bus itu bisa hybrid, bisa isi solar tapi juga bisa isi bensin atau kalau semua bahan bakar langka bisa dengan listrik. Sambil duduk menonton rombongan pesepeda yang melintas di jalan, saya merenung, “Berharap ada stok solar di POM Bensin itu adalah kesalahan. Mungkin mereka hanya khusus jual bensin. Tapi bensin juga tidak ada, sudah ganti perta”.
Akhirnya perjalanan kami berhasil dilanjutkan dengan berganti kendaraan, dan mulailah perkenalan saya dengan Dek Pong yang datang menjemput kami. Dia adalah tokoh utama dalam program melali ke desa Mengani – Kintamani. Seorang petnai muda yang memiliki dedikasi pada kopi Kintamani, mulai dari menanam hingga memasarkan hasil olahan siap konsumsi.
Beberapa kali ke Kintamai tujuan saya bertemu petani jeruk dan sekali pernah bermalam di dekat danau bersama petani tomat dan bawang. Kali ini menjadi pengalaman pertama bertemu kebun kopi kintamani yang sudah begitu sering saya dengar. Kenangan tentang kebun kopi bagi saya adalah kebun kopi Kumpi di Tukadaya – Jembrana. Kebun seluas sekitar 10 are di pinggir Tukad Brangbang, yang hari ini telah berganti dengan pohon jati dan sengon.
Di Mengani kami disambut hidangan bubuh nasi dengan lawar nangka dan kuah ayam kampung bumbu Bali. Dihangatkan matahari pagi dalam sejuk angina Kintamani, kami menikmati sarapan sambil berkenalan lebih lanjut dengan tim Mengani yang akan memandu kami melali-lali di desa mereka. Tim kecil tersebut, terdiri dari anak-anak muda desa yang merupakan alumni program pelatihan jurnalisme warga oleh Bale Bengong. Melihat suasana hari itu, saya mendapat validasi bahwa jurnalisme warga bukan sekedar soal memberitakan oleh warga biasa, tapi memiliki fungsi pemberdayaan yang sangat kuat.
Dari titik sarapan di jaba sisi Pura Desa/Pusah Mengani, kami berjalan menuju tempat persemaian kopi. Berpapasan dengan beberapa perempuan yang mengusung keranjang penuh pupuk kandang. Di persemaian kami menyaksikan deretean bibit kopi yang beberapa minggu lagi siap ditanam di kebun. Pembibitan ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan petani Kopi Mengani, tetapi merupakan sebuah unit usaha pembibitan yang memasok kebutuhan bibit unggul Kopi Kintamani.
Berpindah ke kebun. Ternyata kebun milik Dek Pong tidak hanya ditanami kopi, namun tumpang sari dengan jeruk dan ada pula pohon durian. “Biar ada hasil lain. Kalau hanya kopi kan kita tidak dapat hasil sepanjang tahun.” Kata Dek Pong mengomentasi konsep tumpang sari di kebunnya. Dia juga menjelaskan bahwa hasil kopi dari kebunnya telah diolah dan dijual langsung pada konsumen baik di Indonesia dan di luar negeri. Namun persoalannya kemudian adalah, jumlah produksi kebunnya yang terbatas sehingga tidak mampu memasok secara konsisten sepanjang tahun.
Setelah makan siang dikebun kopi, kami kemudian menuju “pabrik kopi” milik Dek Pong di rumahnya. Di tempat itu tampak sarana penjemuran kopi yang mengalami kerusakan Karena diterjang angina. Di dalam rumah, ada pulah mesin sangria, penggilingan dan alat packing. Hari ini Dek Pong dan Istrinya mempresentasikan proses penggilingan kopi dan kami diberi kesempatan untuk ikut dalam proses pengemasan bubuk kopi.
Merujuk pada website DGIP Dirjen (https://ig.dgip.go.id/detail-ig/5#karakteristik ) Kekayaan Intelektual Kemkumham, karakteristik Kopi Kintamani adalah jenis Arabica yang ditanam di dataran tinggi Kitamani pada ketinggian di atas 900 m dpl atau lebih tinggi.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Biji kopi Kintamani Bali mutu 1 adalah biji dengan nilai cacat fisik kurang dari 5 per 30 gr. Sedangkan berdasarkan Standar Coffee of America (SCAA) adalah diukur dari kadar air biji kopi maksimum 12 %, dengan biji kopi berwarna hijau keabu-abuan, diameter 16 mm atau lebih besar. Profil cita rasa Kopi Kintamani adalah bebas dari cacat cita rasa, rasa asam bersih dari tingkat sedang sampai tinggi , rasa pahit yang yang tidak terdeteksi, mutu dan intensitas aroma yang kuat, kadang ada rasa buah khususnya jeruk peras.
Kendati namanya adalah Kopi Kintamani, berdasarkan Indentifikasi Geografis, Kopi Kintamani tidak hanya kopi yang ditanam di kawasan Kintamani, Kabupaten Bangli. Batas wilayah identifikasi ini mecakup kawasan yang terletak diantara gunung Batur dan Gunung Catur. Secara administratif kawasan ini mencakup 16 desa di Kecamatan Kintamani, Kubutambahan, Sawan dan Petang yang masuk dalam wilayah tiga kabupaten yaitu Bangli, Buleleng dan Badung.