Saya bukan penggemar masakan pedas sejenis mie-miean yang pedasnya berlevel-level itu. Tapi sebagai anak yang lahir berlidah akrab dengan ‘basa genep’, rasa pedas adalah wajib dalam tiap sentuhan rasa makanan lauk-pauk. Kalau tidak ada rasa pedas, makanan ibarat menu diet rumah sakit yang serba hambar. Rasa pedas bisa datang dari merica dan cabe kalau dalam ramuan ‘basa genep’. Yang paling dikenal dan banyak diaplikasikan dalam berbagai jenis masakan tentu saja cabe.
Seorang teman berkewarganegaraan Amerika – sebut saja John – pernah bertanya tentang mie level-levelan saat kami berkegiatan di sebuah apotik di dekat warung mie itu di daerah Batubulan, Gianyar. “Is it level 15 too spicy?” dan teman saya menjawab dengan santai, “No. People prefer level 48.” Sekitar satu jam kemudian, John kembali dengan wajah merah padam dengan keringat mengucur deras dan desis yang tidak henti-henti keluar dari mulutnya. “Do you want to kill me hah? Why did you recommend me level 48. My mouth is burning.” Lalu mereka berdebat tentang tata bahasa yang kacau, dan mereka menggila.
Cabe memang gila dan membuat orang tergila-gila. Harganya pernah membumbung tinggi segila-gilanya, menembus sepuluh kali lipat harga beras. Artinya, beli satu kilogram cabe, setara dengan harga beras sepuluh kilogram. Kalau keluarga kecil yang tidak gagal KB Nasional, sepuluh kilogram beras cukup untuk sepuluh hari. Tapi kalau di balik, petani cabe hanya butuh menjual satu kilogram cabe untuk menghidupi keluarganya selama seminggu.
Kalau peribahasa mengatakan “Banyak makan asam garam”, saya akan mengatakan saya sudah banyak makan garam cabe (uyah tabia). Paling tidak sejak kelas 4 SD, saya sudah berani menikmati makan nasi hangat dengan uyah tabia, yang sebelumnya hanya makan nasi uyah lengis (garam dan minyak kelapa).
Di dapur Ibu saya, selalu ada uyah tabia karena jarang memasak dengan level pedas yang tinggi, mengingat masakan disediakan untuk semua level usia kami yang memiliki keterbatasan dalam menikmati level pedas. Menu uyah tabia dengan nasi anget itu menjadi rutin beberapa hari sebulan ketika masih ngekos jaman sekolah atau masa masih lajang. Uyah tabia dengan kerupuk itu disyukuri, dengan tahu itu mewah, apa lagi tambah kecap manis cap anu.
Dalam masakan Bali, selain bumbu dasar suna cekuh (bawang putih dan kencur), ada juga kombinasi dasar bawang suna tabia (bawang merah, bawang putih dan cabe). Apapun kombinasi dasarnya, cabe selalu masuk sebagai jejaton bumbu bali. Sulit mencari padanan kata jejaton, yang bisa diartikan sesuatu yang penting, wajib ada, mendasar, atau pakem yang akan aneh kalau tidak ada.
Ketika cabe menjadi jejaton masakan di dapur-dapur Bali, maka bisa dihitung berapa buah cabe yang dimasak setiap hari. Sebagai jejaton saja dibutuhkan 2 – 3 buah cabe setiap hari, 60 – 90 buah dalam sebulan atau 720 – 1080 buah dalam satu tahun. Artinya, kalau di banjar saya ada 160 KK (dapur) kebutuhan cabe dalam setahun minimal 115.200 – 172.800 buah. Inilah fungsi pelajaran matematika bagi seorang penulis, karena ini bukan data statistik BPS.
Waktu dapur Ibu saya masih dapur lama yang berdinding ‘setengan badan’, setengah dinding bawahnya bata, dan setengan ke atas dipasang gedeg bambu, lantainya dari bata yang direkatkan dengan tanah campur pasir, sering kali pohon cabe tumbuh di sela-sela lantai bata depan dapur. Biji cabe yang berhasil tumbuh adalah pemenang dari ribuan biji cabe yang dibuang dari dapur, disapu keluar untuk dilupakan. Namun biji-biji itu menolak lupa, dia tumbuh dan memberi tanpa pamrih seperti sang surya menyinari dunia.
Mungkin karena melihat keteguhan biji-biji cabe yang selalu menolak dilupakan, Ibu saya menyimpan tiap biji cabe yang tidak dikehendakinya dalam masakannya. Biji-biji cabe itu dijemur hingga kering agar tidak jamuran dan pada saat yang tepat, biji-biji itu kemudian disemai.
Di rumah kami, bukan hanya cabe yang menolak dilupakan dari dapur, tapi juga biji-biji pare pahit, labu kuning, labu blonceng, buangit, bayam, tomat, kemangi; yang tumbuh dan pada saatnya menjadi lumbung bagi dapur keluarga kami.
Sejak dua minggu lalu saya tinggal di rumah kami di desa, rumah orang tua saya yang sehari-hari hanya dihuni Ibu dan Adik saya. Sebelum hari Nyepi, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mempersiapkan pengerupukan dan lain-lain. Namun setelah hari Raya Nyepi berlalu, sementara kebijakan social distancing corona (covid-19) #DirumahAja masih berlaku, nyaris tidak ada apapun yang saya jadwalkan untuk dilakukan, selain memasak, mencuci dan makan minum. Tidur siang tidak termasuk karena kepala masih sibuk berpikir tentang desah nafas ekonomi keluarga dalam situasi ini.
Setelah menarik nafas dalam-dalam, akhirnya saya melibatkan diri dengan suasana rumah secara lebih dalam. Membuat beberapa foto pencitraan mengenai kehidupan desa dan memposting beberapa status di media sosial termasuk tentang cabe ini.
Kemarin pagi setelah sarapan, kami membicarakan cabe-cabe di penyemaian yang telah tumbuh tidak merata dengan ketinggian 3 – 15 cm. Kata Ibu saya, bibit cabe itu sudah layak untuk ditanam dan menugaskan saya untuk menyiapkannya. Sebelum ditanam di lahan sesungguhnya, bibit-bibit itu dicabut dari penyemaian dan dibuatkan bola-bola tanah untuk membungkus akarnya sehinga masih bisa disimpan di daerah yang terlindung dari sinar terik matahari. Ini adalah teknik koker yang pernah saya lihat saat syuting aktivitas petani cabe di daerah Badung dan saya perkuat dengan membaca beberapa artikel di internet yang lelet.
Di musim nganggur ini, Ibu saya sudah memberikan jadwal yang padat; hari Senin kami harus menanam ubi-ubian, hari Selasa adalah jadwal menanam tanaman berdaun (dimanfaatkan daunnya), Rabu menanam bunga, Kamis menanam biji-bijian, Jumat menanam tanaman yang berbuah, Sabtu menanam tanaman merambat dan Minggu menanam yang berruas atau berbuku. “Kapan liburnya?” Tanya saya. “Nanti kalau sudah tidak ada sejengkal tanahpun yang tersisa. Itu artinya saatnya menunggu panen tiba.” Jawab ibu saya.