Mendengarkan dongeng sebelum tidur menjadi pengalaman sepiritual saya dari masa kanak-kanak, dan menjadi rekaman penting dalam perjalanan hidup saya hingga saat ini. Malam-malam musim liburan sekolah di rumah Kumpi (Ibu dari Nenek), adalah malam-malam penuh kisah-kisah ajaib yang diceritakan olehnya. Setelah menghabiskan makan malam di bawah lampu minyak, saya bersama beberapa sepupu yang tinggal satu natah dengan Kumpi, berkumpul di Jineng. Namun, sebelum dongeng pengantar tidur kami diceritakan malam itu, kami harus memijat kaki dan tangan Kumpi. Ada empat cucu yang setiap malam mendapat giliran mengerubutinya. Masing-masing mendapat bagian memijat sebelah tangan atau kaki. Demikianlah setiap malam sepanjang musim liburan sekolah.
Gaya penceritaan Kumpi selalu memikat dan melekat di ingatan. Kadang lucu, kadang sedih, kadang kala juga mengejutkan. Kumpi seringkali menyisipkan tembang, peparikan ataupun cecimpedan yang menguatkan cerita, yang sering masih teringat dan kami ucapkan atau yanyikan ketika bermain keesokan harinya.
Setelah bertahun-tahun kemudian, ketika Kumpi sudah menjadi Dewa Pitara. Dadong dan Kiang juga sudah pulang ke Gumi Wayah. Dan rumah Kumpi kini sudah tidak ditempati lagi, dongeng pengantar tidur masa kecil itu masih melekat dalam ingatan. Masing-masing dari cucu-cucu Kumpi memiliki favorit ingatannya sendiri. Ada yang menyukai dongeng Men Sepur, Pan Cubling, Sang Landean atau I Siap Selem. Namun yang ada di urutan pertama tetap Pan Balang Tamak yang pandir, lucu dan satir, serta dongeng Cupak Grantang yang begitu epik.
Marilah saya tuliskan sebuah dongeng sebelum tidur yang masih saya ingat. Di sini saya tulis ulang dongeng dalam verisi bahasa Indonesia. Sementara dongeng Kumpi, semuanya dituturkan dalam bahasa Bali. Alih bahasa cerita dan memindahkan dari bahasa tutur ke bahasa tulisan, yang paling mengkhawatirkan rasanya adalah menerjemahkan kelucuan, dengan akar yang berbeda dan tentunya ekspresi bunyi yang juga berbeda. Saya kira juga, ketika membacakan dongeng, sangat penting melakukan improvisasi pada pilihan kata atau peristiwa yang lebih dekat dengan pendengar. Misalnya anak-anak, hendaknya disesuaikan dengan usianya. Adapun lokasi kejadian, bisa disesuaikan dengan alam dan nama-nama tempat di sekitar kita, atau yang dikenal oleh pendengar.
Dongeng I Kakul lan I Kidang yang paling pertama muncul diingatan. Kemudian saya tulis dengan cukup singkat varsi saya. Yang mungkin berbeda dengan versi yang pernah kalian dengar atau baca ditempat lain. Semoga berkenan.
Di sebuah sungai yang melintasi hutang belantara, hiduplah I Kakul, seekor keong hitam, bersama keluarga besar yang jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan ribuan, berumah di antara batu-batu di sepanjang sungai itu.
Baca selengkapnya di mipmap.id/dongeng