Sawah: Cerita Dalam Tiga Babak

/1/
Ini adalah jalan yang saya lalui setiap pagi selama enam tahun masa di sekolah dasar. Masih di pagi yang serupa; kabut tipis, embun, sawah dan udara seger.

Foto ini saya ambil 23 tahun semenjak pagi terakhir saya menyusuri jalan itu menuju bangku sekolah dasar. Masih jalan lurus yang sama. Hanya sekarang dia berbatu, tapi masih dengan kubangan air dan lumpur yang sama.

Walaupun dia menawarkan arah yang sama, tapi kini tujuanku telah berbeda. Melaluinya hanya karena ingin menikmati sebuah perjalanan kecil, yang selama enam tahun itu, terlalu tergesa, terlalu berat, tidak nikmat sama sekali, hanya melintas untuk tiba di tujuan tepat waktu karena tidak punya posisi tawar selain ikut aturan. Ya, ke sekolah.

/2/

sawah

Ini adalah sawah yang sama yang aku lihat selama enam tahun masa aku melintas menuju sekolah. Sawah basah berlumpur, padi subur terhampar hijau untuk kemudian kuning keemasan pada saatnya, kemudian tengkulak tersenyum di antara keluh kesah petani.

Sawah ini mengajarkan aku banyak hal. Cara menerbangkan layang-layang, menangkap capung, berburu burung dan telurnya, memancing belut dan disenget lintah. Segala sesuatu yang tidak diajarkan di sekolah.

Sawah ini ternyata sudah tidak sama lagi. Pengairanya kadang disedot dari perut bumi dengan pompa besar, agar pada musim kemarau petani bisa bercocok tanam. Pasti mereka lelah sekali karena kurang istirahat.

Tidak ada lagi anak yang petantang-petenteng membawa ketapel di pematang sawah berburu burung. Tidak ada lagi yang berkubang lumpur menangkap belut dan keong. Karena berburu dan memancing sudah didigitize, pake Android saja.

/3/

sawah

Saya percaya, sawah dapat dilihat untuk menakar kehidupan di sekitarnya.

Seberapa luas sawah yang tersisa, sedemikianlah adanya warisan tradisi dan budaya agraris itu akan diwariskan. Sedemikian juga jumlah orang yang bersedia menua sebagai petani.

Seberapa banyak sampah plastik yang hanyut dan masuk area pertanian, sedemikianlah kenyataan kontaminasi plastik dalam kehidupan masyarakat.

Apa rupa gambar baju orang-orangan sawah (lelakut) dan seberapa banyak warna kober (bendera) untuk mengusir burung, menunjukan afiliasi politik di masyarakat setempat.

Made Birus

Pencerita yang suka berbagi melalui tulisan, foto, tarot dan film yang terus didalami dan dinikmati. Tahun 2019 mengeluarkan buku kumpulan cerpen Politk Kasur, Dengkur dan Kubur. Beraktivitas bersama Minikino, Film Sarad, Mipmap dan Bali Tersenyum.